Senin, 30 Agustus 2010

Hikmah: Allah Telah Menjadikan Kunci Bagi Segala Sesuatu

Al-Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata:
“Sesungguhnya Allah telah menjadikan bagi segala sesuatu kunci untuk membukanya, Allah menjadikan kunci pembuka shalat adalah bersuci sebagaiman sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘Kunci shalat adalah bersuci’, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kunci pembuka haji adalah ihram, kunci kebajikan adalah kejujuran, kunci surga adalah tauhid, kunci ilmu adalah bagusnya bertanya dan mendengarkan, kunci kemenangan adalah kesabaran, kunci ditambahnya nikmat adalah syukur, kunci kewalian adalah mahabbah dan dzikir, kunci keberuntungan adalah takwa, kunci taufik adalah harap dan cemas kepada Allah ‘Azza wa Jalla, kunci dikabulkan adalah doa, kunci keinginan terhadap akhirat adalah zuhud di dunia, kunci keimanan adalah tafakkur pada hal yang diperintahkan Allah, keselamatan bagi-Nya, serta keikhlasan terhadap-Nya di dalam kecintaan, kebencian, melakukan, dan meninggalkan, kunci hidupnya  hati adalah tadabbur al-Qur’an, beribadah di waktu sahur, dan meninggalkan dosa-dosa, kunci didapatkannya rahmat adalah ihsan di dalam peribadatan terhadap Khaliq dan berupaya memberi manfaat kepada para hamba-Nya, kunci rezeki adalah usaha bersama istighfar dan takwa, kunci kemuliaan adalah ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, kunci persiapan untuk akhirat adalah pendeknya angan-angan, kunci semua kebaikan adalah keinginan terhadap Allah dan kampung akhirat,  kunci semua kejelekan adalah cinta dunia dan panjangnya angan-angan.


“Ini adalah bab yang agung dari bab-bab ilmu yang paling bermanfaat, yaitu mengetahui pintu-pintu kebaikan dan kejelekan, tidaklah diberi taufik untuk mengetahuinya dan memperhatikannya kecuali seorang yang memiliki bagian dan taufik yang agung, karena sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan kunci bagi setiap kebaikan dan kejelekan, kunci dan pintu untuk masuk kepadanya sebagaimana Allah jadikan kesyirikan, kesombongan, berpaling dari apa yang disampaikan Allah kepada Rasul-Nya, dan lalai dari dzikir terhadap-Nya dan melaksanakan hak-Nya sebagai kunci ke neraka, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala jadikan khamr sebagai kunci segala dosa. Dia jadikan nyanyian sebagai kunci perzinaan, Dia jadikan melepaskan pandangan pada gamba-gambar sebagai kunci kegelisahan dan kegandrungan, Dia jadikan kemalasan dan kesantaian sebagai kunci kerugian dan luputnya segala sesuatu, Dia jadikan kemaksiatan-kemaksiatan sebagai kunci kekufuran, Dia jadikan dusta sebagai kunci kenifakan (kemunafikan -ed), Dia jadikan kekikiran dan ketamakan sebagai kunci kebakhilan, memutus silaturahim, serta mengambil harta dengan cara yang tidak halal dan Dia jadikan berpaling dari apa yang dibawa Rasul sebagai kunci segala kebid’ahan dan kesesatan.
“Perkara-perkara ini tidaklah membenarkannya kecuali setiap orang yang memiliki ilmu yang shahih dan akal yang bisa mengetahui dengannya apa yang ada dalam dirinya dan apa yang berwujud dari kebaikan dan kejelekan. Maka sepantasnya seorang hamba memperhatikan dengan sebaik-baiknya ilmu terhadap kunci-kunci ini dan kunci-kunci yang dijadikan untuknya.” (Hadil Arwah 1/48-49)

***
Artikel www.muslimah.or.id

Minggu, 29 Agustus 2010

Wanita Penghuni Surga Itu…

Dari Atha bin Abi Rabah, ia berkata, Ibnu Abbas berkata padaku,
“Maukah aku tunjukkan seorang wanita penghuni surga?”
Aku menjawab, “Ya”
Ia berkata, “Wanita hitam itulah yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, ‘Aku menderita penyakit ayan (epilepsi) dan auratku tersingkap (saat penyakitku kambuh). Doakanlah untukku agar Allah Menyembuhkannya.’
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Jika engkau mau, engkau bersabar dan bagimu surga, dan jika engkau mau, aku akan mendoakanmu agar Allah Menyembuhkanmu.’
Wanita itu menjawab, ‘Aku pilih bersabar.’ Lalu ia melanjutkan perkataannya, ‘Tatkala penyakit ayan menimpaku, auratku terbuka, doakanlah agar auratku tidak tersingkap.’
Maka Nabi pun mendoakannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)


Betapa rindunya hati ini kepada surga-Nya yang begitu indah. Yang luasnya seluas langit dan bumi. Betapa besarnya harapan ini untuk menjadi salah satu penghuni surga-Nya. Dan subhanallah! Ada seorang wanita yang berhasil meraih kedudukan mulia tersebut. Bahkan ia dipersaksikan sebagai salah seorang penghuni surga di kala nafasnya masih dihembuskan. Sedangkan jantungnya masih berdetak. Kakinya pun masih menapak di permukaan bumi.
Sebagaimana perkataan Ibnu Abbas kepada muridnya, Atha bin Abi Rabah, “Maukah aku tunjukkan seorang wanita penghuni surga?” Aku menjawab, “Ya”
Ibnu Abbas berkata, “Wanita hitam itulah….dst”
Wahai saudariku, tidakkah engkau iri dengan kedudukan mulia yang berhasil diraih wanita itu? Dan tidakkah engkau ingin tahu, apakah gerangan amal yang mengantarkannya menjadi seorang wanita penghuni surga?
Apakah karena ia adalah wanita yang cantik jelita dan berparas elok? Ataukah karena ia wanita yang berkulit putih bak batu pualam?
Tidak. Bahkan Ibnu Abbas menyebutnya sebagai wanita yang berkulit hitam.
Wanita hitam itu, yang mungkin tidak ada harganya dalam pandangan masyarakat. Akan tetapi ia memiliki kedudukan mulia menurut pandangan Allah dan Rasul-nya. Inilah bukti bahwa kecantikan fisik bukanlah tolak ukur kemuliaan seorang wanita. Kecuali kecantikan fisik yang digunakan dalam koridor yang syar’i. Yaitu yang hanya diperlihatkan kepada suaminya dan orang-orang yang halal baginya.

Kecantikan iman yang terpancar dari hatinyalah yang mengantarkan seorang wanita ke kedudukan yang mulia. Dengan ketaqwaannya, keimanannya, keindahan akhlaqnya, amalan-amalan shalihnya, seorang wanita yang buruk rupa di mata manusia pun akan menjelma menjadi secantik bidadari surga.
Bagaimanakah dengan wanita zaman sekarang yang sibuk memakai kosmetik ini-itu demi mendapatkan kulit yang putih tetapi enggan memutihkan hatinya? Mereka begitu khawatir akan segala hal yang bisa merusak kecantikkannya, tetapi tak khawatir bila iman dan hatinya yang bersih ternoda oleh noda-noda hitam kemaksiatan – semoga Allah Memberi mereka petunjuk -.
Kecantikan fisik bukanlah segalanya. Betapa banyak kecantikan fisik yang justru mengantarkan pemiliknya pada kemudahan dalam bermaksiat. Maka saudariku, seperti apapun rupamu, seperti apapun fisikmu, janganlah engkau merasa rendah diri. Syukurilah sebagai nikmat Allah yang sangat berharga. Cantikkanlah imanmu. Cantikkanlah hati dan akhlakmu.
Wahai saudariku, wanita hitam itu menderita penyakit ayan sehingga ia datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meminta beliau agar berdoa kepada Allah untuk kesembuhannya. Seorang muslim boleh berusaha demi kesembuhan dari penyakit yang dideritanya. Asalkan cara yang dilakukannya tidak melanggar syariat.
Saudariku, penyakit ayan bukanlah penyakit yang ringan. Terlebih penyakit itu diderita oleh seorang wanita. Betapa besar rasa malu yang sering ditanggung para penderita penyakit ayan karena banyak anggota masyarakat yang masih menganggap penyakit ini sebagai penyakit yang menjijikkan.
Tapi, lihatlah perkataannya. Apakah engkau lihat satu kata saja yang menunjukkan bahwa ia benci terhadap takdir yang menimpanya? Apakah ia mengeluhkan betapa menderitanya ia? Betapa malunya ia karena menderita penyakit ayan? Tidak, bukan itu yang ia keluhkan. Justru ia mengeluhkan auratnya yang tersingkap saat penyakitnya kambuh.
Subhanallah. Ia adalah seorang wanita yang sangat khawatir bila auratnya tersingkap. Ia tahu betul akan kewajiban seorang wanita menutup auratnya dan ia berusaha melaksanakannya meski dalam keadaan sakit. Inilah salah satu ciri wanita shalihah, calon penghuni surga. Yaitu mempunyai sifat malu dan senantiasa berusaha menjaga kehormatannya dengan menutup auratnya. Bagaimana dengan wanita zaman sekarang yang di saat sehat pun dengan rela hati membuka auratnya???
Saudariku, dalam hadits di atas terdapat pula dalil atas keutamaan sabar. Dan kesabaran merupakan salah satu sebab seseorang masuk ke dalam surga. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Jika engkau mau, engkau bersabar dan bagimu surga, dan jika engkau mau, aku akan mendoakanmu agar Allah Menyembuhkanmu.” Wanita itu menjawab, “Aku pilih bersabar.”
Wanita itu lebih memilih bersabar walaupun harus menderita penyakit ayan agar bisa menjadi penghuni surga. Salah satu ciri wanita shalihah yang ditunjukkan oleh wanita itu lagi, bersabar menghadapi cobaan dengan kesabaran yang baik.
Saudariku, terkadang seorang hamba tidak mampu mencapai kedudukan kedudukan mulia di sisi Allah dengan seluruh amalan perbuatannya. Maka, Allah akan terus memberikan cobaan kepada hamba tersebut dengan suatu hal yang tidak disukainya. Kemudian Allah Memberi kesabaran kepadanya untuk menghadapi cobaan tersebut. Sehingga, dengan kesabarannya dalam menghadapi cobaan, sang hamba mencapai kedudukan mulia yang sebelumnya ia tidak dapat mencapainya dengan amalannya.
Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika datang suatu kedudukan mulia dari Allah untuk seorang hamba yang mana ia belum mencapainya dengan amalannya, maka Allah akan memberinya musibah pada tubuhnya atau hartanya atau anaknya, lalu Allah akan menyabarkannya hingga mencapai kedudukan mulia yang datang kepadanya.” (HR. Imam Ahmad. Dan hadits ini terdapat dalam silsilah Al-Haadits Ash-shahihah 2599)
Maka, saat cobaan menimpa, berusahalah untuk bersabar. Kita berharap, dengan kesabaran kita dalam menghadapi cobaan Allah akan Mengampuni dosa-dosa kita dan mengangkat kita ke kedudukan mulia di sisi-Nya.
Lalu wanita itu melanjutkan perkataannya, “Tatkala penyakit ayan menimpaku, auratku terbuka, doakanlah agar auratku tidak tersingkap.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berdoa kepada Allah agar auratnya tidak tersingkap. Wanita itu tetap menderita ayan akan tetapi auratnya tidak tersingkap.
Wahai saudariku, seorang wanita yang ingatannya sedang dalam keadaan tidak sadar, kemudian auratnya tak sengaja terbuka, maka tak ada dosa baginya. Karena hal ini di luar kemampuannya. Akan tetapi, lihatlah wanita tersebut. Bahkan di saat sakitnya, ia ingin auratnya tetap tertutup. Di saat ia sedang tak sadar disebabkan penyakitnya, ia ingin kehormatannya sebagai muslimah tetap terjaga. Bagaimana dengan wanita zaman sekarang yang secara sadar justru membuka auratnya dan sama sekali tak merasa malu bila ada lelaki yang melihatnya? Maka, masihkah tersisa kehormatannya sebagai seorang muslimah?
Saudariku, semoga kita bisa belajar dan mengambil manfaat dari wanita penghuni surga tersebut. Wallahu Ta’ala a’lam.

***
Artikel muslimah.or.id

Sabtu, 28 Agustus 2010

Mulia Dengan Membela Sunnah


Pernahkah kita membayangkan akan datangnya suatu masa dimana Islam mulai terpinggirkan, Al-Qur’an dan As-Sunnah mulai ditinggalkan? Ketika kita membuka mata dan melihat ke sekeliling kita, mungkin kita akan menyadari bahwa masa itu telah terbentang di hadapan kita.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda yang artinya:
“Sesungguhnya Islam dimulai dengan keterasingan dan akan kembali asing sebagaimana awalnya, maka beruntunglah orang-orang yang asing (Al-Ghuraba’)” (Diriwayatkan oleh Muslim 2/175-176 -An-Nawawiy)

Marilah kita tengok sejenak dan perhatikan berapa banyak orang yang menjadikan syari’at ini sebagai bahan perdebatan ataupun bahan olok-olokan? Contoh yang sederhana, masih terjadi di berbagai tempat seperti di kampus, masih banyak orang yang menertawakan muslimah yang mengenakan cadar atau berjilbab besar dengan mengatainya sebagai “ninja” atau “kelelawar”. Terkadang seorang muslim yang komit dengan agamanya pun tak luput dari bahan tertawaan, mereka yang celananya di atas mata kaki seringkali diolok-olok, “Kebanjiran”. Lihatlah wahai Saudariku, betapa ringannya orang menentang atau mengolok-olok syari’at yang lurus ini. Betapa mudahnya mereka menertawakan sunnah tanpa beban. Semua itu tidak terjadi melainkan disebabkan kebodohan akan agamanya sendiri, atau karena keengganan untuk melakukan syari’at ini. Banyak di antara umat Islam di negeri ini yang masih belum mengetahui bahwa mengolok-olok syari’at ini yaitu sunnah merupakan salah satu pembatal keislaman. Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab Al-Washaby rahimahullahu Ta’ala menyebutkan dalam kitabnya Al-Qaul Al-Mufid fii Adillati At-Tauhid, bahwa mengolok-olok sesuatu yang merupakan bagian dari agama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengolok-olok pahala dari pengamalan agama atau siksa karena meninggalkan kewajiban agama, merupakan salah satu dari pembatal keislaman.

“Orang-orang munafiq itu takut akan diturunkan terhadap mereka suatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi di dalam hati mereka. Katakanlah kepada mereka, ‘Teruskanlah ejekan-ejekanmu (terhadap Allah dan Rasul-Nya)’ Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti. Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab, ’sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja.’ Katakanlah, ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?’ “ (At-Taubah : 64-65)
Dalam menghadapi fenomena tersebut, wajib bagi seorang muslim untuk meluruskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi terhadap sunnah. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya:
“Sesungguhnya jika manusia melihat kedzaliman lalu tidak mau mencegahnya, maka segera saja Allah akan menurunkan adzab bagi mereka semua.” (HR. Abu Dawud [no, 4338], at-Tirmidzi [no.2168 dan 3057], Ahmad [no. 1, 16, 29, 53] dan lain-lain)
Dengan demikian, meluruskan penyimpangan terhadap syari’at adalah merupakan pembelaan terhadap sunnah dan merupakan amar ma’ruf nahi munkar yang sangat mulia. Sangat berat terasa untuk tetap berjalan di atas kebenaran, sebagaimana beratnya langkah yang harus dilalui ketika kita menyerukan sebuah kebenaran. Mungkin kita pernah mendengar sebagian umat Islam mengatakan bahwa kita wajib menjaga persatuan umat, sehingga kita harus bertoleransi terhadap kesalahan yang dilakukan oleh saudara kita. Mereka berkata bahwa mengungkapkan kebenaran dan meluruskan kesalahan yang dilakukan oleh saudara kita hanya akan merusak persatuan dan menyebabkan perpecahan. Maka pada masa sekarang ini, banyak firqah atau kelompok dari kaum muslimin yang berdakwah dengan cara merangkul semua golongan yang ada tanpa memperdulikan tentang perbedaan manhaj (metode dalam beragama) bahkan perbedaan aqidah. Padahal persatuan yang benar adalah persatuan di atas aqidah yang bersih dan manhaj beragama yang lurus, yaitu manhaj Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat. Persatuan di atas berbagai manhaj beragama dan aqidah bagaikan segelas air susu, yang partikelnya terlihat bersatu, namun ketika dibiarkan dia akan mengendap di dasar gelas. Sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya:
“Kamu kira mereka itu bersatu, sedang hati mereka berpecah-pelah. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka itu adalah kaum yang tidak mengerti.” (QS. Al-Hasyr: 14)

Artikel www.muslimah.or.id

Jumat, 27 Agustus 2010

Kapankah Nuzul Quran?

nuzul

Benarkah Nuzul Al-Qur’an itu pada 17 Ramadhan seperti yang disambut dan dirayakan oleh Masyarakat Umum ?
Jawabannya adalah tidak benar!!

bahkan bertentangan dengan banyak riwayat yang sahih dan bahkan Al-Qur’an itu sendiri menyebut secara jelas bahwa turunnya Al-Qur’an itu ialah pada malam al-Qadr dan hal ini bertepatan dengan riwayat yang sahih yang mengatakan berlakunya Al-Qadar ( lailatul qadar ) itu pada sepuluh malam yang terakhir bukan 17 Ramadhan.

"Bulan Ramadhan yang padanya diturunkan Al-Qur’an pertunjuk kepada manusia..” (Al-Baqarah : 185).

Dikeluarkan oleh Ibn Jarir dan Abi Hatim dan juga Baihaqi dan lain-lain mengenai pertanyaan Athiyah ibn Aswad kepada Ibn Abbas radhiallahu'anhu berkenaan penurunan Al-Qur’an yang disebut berlaku pada malam lailatul qadar dalam Bulan ramadhan maka dijawab oleh Ibn Abbas ra dengan mengatakan : 
" (Al-Qur’an) diturunkan sekaligus pada malam lailatul qadar dalam bulan Ramadhan dan juga dalam riwayat lain Ibn Abbas mengatakan ianya (Al-Qur’an) diturunkan secara jumlah keseluruhannya pada malam 24 Ramadhan ke Baitul Izzah di langit dunia dan kemudiannya Jibrail alaihissalam  menurunkannya kepada rasulullah sedikit demi sedikit "(Sahih riwayat Tibrani no. 12243 dan Disahihkan oleh Hakim dan disepakati Adz-zahabi, Baihaqi dan Ibn Jarir).

Secara sahih penurunan Al-Qur’an sekaligus keseluruhannya berlaku pada malam Lailatul Qadar dalam bulan Ramadhan dan hal itu jelas disepakati namun apakah Lailatul Qadar itu yang berlakunya penurunan Al-Qur’an tersebut dari sisi Allah ke langit dunia di Baitul Izzah ialah pada malam ke 17 Ramadhan maka ini tiada dalil yang jelas dan lain-lain waktu seperti yang mengatakan pada malam sekian dan sekian kerana lailatul Qadar itu berbeda-beda pada setiap tahun menurut kehendak Allah dan juga pada lailatul Qadar yang manakah terjadinya penurunan Al-Qur’an itu pun hanya diketahui oleh Allah subhanaahuwata'ala.

Demikianlah hal yang berlaku dalam masyarakat umum yaitu asyik dalam menyambut peringatan apa pun macam orang Hindu saja tanpa tahu asal usul dan kebenarannya. Ini karena dalam masalah nuzul al-qur’an ianya tidak dapat dipastikan bilakah diturunkan Al-Qur’an itu, tanggal berapa, pada hari ke berapa dan malam ke berapa, apakah tanggal 17 apakah 18 dan apakah malam 19 Ramadhan.

Wallohu a'lam bisshowab

Rabu, 25 Agustus 2010

Ayat Cinta

Dalam Al-Qur`an, Allah telah menceritakan mengenai Dzat-Nya yang Maha Agung, Maha Indah dan Maha Sempurna. Tiada cacat sedikit pun pada-Nya. Allah memiliki nama-nama yang baik yang mengandung sifat-sifat yang luhur yang lazim disebut asmaul husna.
    Dari sinilah, seorang Muslim kudu paham bahwa ia wajib mencintai Allah, Dzat yang memiliki kesempurnaan dan keagungan mutlak. Kalau dalam keseharian, biasanya kita lebih menyukai orang-orang yang mempunyai sifat-sifat yang baik. Nah bagaimana dengan Allah yang mempunyai sifat-sifat yang baik, sempurna dan agung secara mutlak. Pastilah kita wajib mencintai-Nya di atas segala sesuatu.  

Ayat penguji cinta 

    Inilah yang menjadi persoalan di tengah masyarakat. Karena ternyata banyak orang yang mendekatkan diri kepada Allah untuk meraih cinta-Nya, menempuh cara berbagai macam. Kalau yang mereka pakai adalah petunjuk Nabi atau lazim disebut cara syar’i, nothing to worry. Karena itulah jalan menuju pencapaian cinta Allah. Tapi, kalau mereka pake cara sendiri-sendiri. Bibir mereka sih berteriak 'aku cinta Allah'. Tapi jauh panggang dari apinya.
    Coba kita perhatikan ayat di bawah ini. Para ulama menamakannya ayat mihnah alias penguji cinta seseorang kepada Allah, original pa palsu. Allah Ta'ala berfirman:

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللهُ غَفُورُُ رَّحِيمُُ  

“Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu". Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Ali Imraan: 31)

    Jelas-jelas, ayat ini menjadi barometer kebenaran cinta seseorang Muslim kepada Allah l . Apakah ia mengikuti jalan petunjuk Rasulullah dalam keyakinan, ibadah, dan masalah-masalah lain yang panduannya telah jelas dari beliau?. Atau sebaliknya, malahan punya kreasi dan inisiatif sendiri (berbuat bid'ah) dalam ibadah, akidah, dan urusan-urusan lain yang telah dibahas syariat Islam?. Yang kedua inilah yang bermasalah besar. Sok tahu akan jalan kebenaran dan jalur menuju teraihnya cinta Allah.

    Imam Ibnu Katsir berkata tentang ayat di atas, “Ayat ini adalah penentu bagi siapa saja yang mengklaim dirinya mencintai Allah, akan tetapi tidak berjalan di atas jalan Rasulullah, bahwa ia telah berdusta dalam pernyataannya. Sampai ia mau mengikuti syariat dan agama yang dibawa Nabi Muhammad dalam segala ucapan, perbuatan dan kondisi" (Tafsir Ibnu Katsir 2/32 Daar Thaybah)

    Bila benar-benar berjalan di atas petunjuk Rasulullah, niscaya balasannya gedhe banget. Yakni, Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosanya. Maukan?. (Siapa yang tidak mau dicintai Allah dan dosa-dosanya terampuni). Inilah garis besar dalam meraih cinta Allah Ta'ala.   

***
Sumber : Majalah Elfata

Menjadi Generasi Pecinta Quran

Konser musik x berjalan sangat meriah. Penonton yang kebanyakan adalah kawula muda histeris menyaksikan pujaannya yang menggebrak panggung. Bersama dengan sang bintang, mereka melantunkan lagu dengan penuh penghayatan.

Kecintaaan pada lagu dan sang bintang tak berhenti pada saat menghadiri konser musik, saat tidak menghadap panggung pun banyak yang ingat pada lagu-lagu sang bintang. Sekadar mengisi waktu luang, begadang, atau sambil berjalan mulut mereka tak segan  melantunkan lagu. Kenapa ini bisa terjadi? Tak lain karena saking cintanya pada alunan lagu yang begitu merdu. Dimana-mana lagu dan musik menjadi hal yang digandrungi oleh anak-anak muda. Terlebih lagu-lagu cinta yang menggelorakan perasaan hampa tanpa kehadiran lawan jenis. Lagu seakan menjadi dzikir harian yang selalu disimak dan dialunkan. Sementara dzikir yang hakiki, yaitu mengingat Allah, menyebut asma-Nya, mengagungkan-Nya, berdoa kepada-Nya dan mentadabburi firman-Nya menjadi hal yang terlupa.

Ada yang Lebih Layak
Sebenarnya ada sesuatu yang lebih layak untuk dicintai dan dipergauli dengan baik dibandingkan lagu atau yang selainnya. Itulah Al Quran yang merupakan kalam Allah. Ia adalah sebuah kitab suci yang merupakan firman Allah, diturunkan kepada Nabi Muhammad, aktivitas membacanya merupakan sebentuk ibadah yang mendatangkan pahala. Kitab suci tersebut dibuka dengan surat Al Fatihah dan ditutup dengan surat An Nass. Al Quran inilah yang layak untuk dicintai setiap orang. Kenapa demikian? Karena Al Quran berisi semua hal yang membawa manfaat dan membangkitkan kebahagiaan bagi kita. Bukankah setiap kita ingin bahagia? Tentu saja, karena segala sesuatu yang kita lakukan di dunia ini tak jauh-jauh dari keinginan untuk meraih kebahagiaan. Sesuatu yang membawa kepada kebahagiaan itulah yang paling layak untuk dicintai. Begitu juga, Al Quran menunjukkan jalan yang lempang bagi kehidupan kita. Orang yang mau mengikuti petunjuk Al Quran pasti tak akan sesat dalam berkehidupan. Bila kita mau merenungi dan memahami Al Quran, maka hal tersebut akan membersihkan hati sekaligus mengobatinya. Ia pun akan menumpas segala keragu-raguan dan kerancuan pemikiran yang ditiupkan oleh manusia atau jin.

****
Sumber : Majalah Elfata

Selasa, 24 Agustus 2010

Pacaran Dalam Kacamata Islam

Sebuah fitnah besar menimpa pemuda pemudi pada zaman sekarang. Mereka terbiasa melakukan perbuatan yang dianggap wajar padahal termasuk maksiat di sisi Alloh subhanahu wa ta’ala. Perbuatan tersebut adalah “pacaran”, yaitu hubungan pranikah antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahrom. Biasanya hal ini dilakukan oleh sesama teman sekelas atau sesama rekan kerja atau yang lainnya. Sangat disayangkan, perbuatan keji ini telah menjamur di masyarakat kita. Apalagi sebagian besar stasiun televisi banyak menayangkan sinetron tentang pacaran di sekolah maupun di kantor. Tentu hal ini sangat merusak moral kaum muslimin. Namun, anehnya, orang tua merasa bangga kalau anak perempuannya memiliki seorang pacar yang sering mengajak kencan. Ada juga yang melakukan pacaran beralasan untuk ta’aruf (berkenalan). Padahal perbuatan ini merupakan dosa dan amat buruk akibatnya. Oleh sebab itu, mengingat perbuatan haram ini sudah begitu memasyarakat, kami memandang perlu untuk membahasnya pada kesempatan ini. 


Pacaran dari Sudut Pandang Islam

Pacaran tidak lepas dari tindakan menerjang larangan larangan Alloh subhanahu wa ta’ala. Fitnah ini bermula dari pandang memandang dengan lawan jenis kemudian timbul rasa cinta di hati—sebab itu, ada istilah “dari mata turun ke hati”— kemudian berusaha ingin memilikinya, entah itu dengan cara kirim SMS atau surat cinta, telepon, atau yang lainnya. Setelah itu, terjadilah saling bertemu dan bertatap muka, menyepi, dan saling bersentuhan sambil mengungkapkan rasa cinta dan sayang. Semua perbuatan tersebut dilarang dalam Islam karena merupakan jembatan dan sarana menuju perbuatan yang lebih keji, yaitu zina. Bahkan, boleh dikatakan, perbuatan itu seluruhnya tidak lepas dari zina. Perhatikanlah sabda Rosululloh shallallahu’alaihi wa sallam:
“Ditetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina, akan diperolehnya hal itu, tidak bisa tidak. Kedua mata itu berzina, zinanya dengan memandang. Kedua telinga itu berzina, zinanya dengan mendengarkan. Lisan itu berzina, zinanya dengan berbicara. Tangan itu berzina, zinanya dengan memegang. Kaki itu berzina, zinanya dengan melangkah. Sementara itu, hati berkeinginan dan beranganangan sedangkan kemaluan yang membenarkan itu semua atau mendustakannya.” (H.R. Muslim: 2657, alBukhori: 6243)
Al Imam an Nawawi rahimahullah berkata: “Makna hadits di atas, pada anak Adam itu ditetapkan bagiannya dari zina. Di antara mereka ada yang melakukan zina secara hakiki dengan memasukkan farji (kemaluan)nya ke dalam farji yang haram. Ada yang zinanya secara majazi (kiasan) dengan memandang wanita yang haram, mendengar perbuatan zina dan perkara yang mengantarkan kepada zina, atau dengan sentuhan tangan di mana tangannya meraba wanita yang bukan mahromnya atau menciumnya, atau kakinya melangkah untuk menuju ke tempat berzina, atau melihat zina, atau menyentuh wanita yang bukan mahromnya, atau melakukan pembicaraan yang haram dengan wanita yang bukan mahromnya dan semisalnya, atau ia memikirkan dalam hatinya. Semuanya ini termasuk zina secara majazi.” (Syarah Shohih Muslim: 16/156157)

Adakah di antara mereka tatkala berpacaran dapat menjaga pandangan mata mereka dari melihat yang haram sedangkan memandang wanita ajnabiyyah (bukan mahrom) atau lak-ilaki ajnabi (bukan mahrom) termasuk perbuatan yang diharamkan?!

Ta’aruf Dengan Pacaran, Bolehkah?

Banyak orang awam beranggapan bahwa pacaran adalah wasilah (sarana) untuk berta’aruf (berkenalan). Kata mereka, dengan berpacaran akan diketahui jati diri kedua ‘calon mempelai’ supaya nanti jika sudah menikah tidak kaget lagi dengan sikap keduanya dan bisa saling memahami karakter masing-masing. Demi Alloh, tidaklah anggapan ini dilontarkan melainkan oleh orang-orang yang terbawa arus budaya Barat dan hatinya sudah terjangkiti bisikan setan.

Tidakkah mereka menyadari bahwa yang namanya pacaran tentu tidak terlepas dari kholwat (berdua-duaan dengan lawan jenis) dan ikhtilath (lakilaki dan perempuan bercampur baur tanpa ada hijab/tabir penghalang)?! Padahal semua itu telah dilarang dalam Islam.

Perhatikanlah tentang larangan tersebut sebagaimana tertuang dalam sabda Rosululloh shallallahu’alaihi wa sallam:
“Sekalikali tidak boleh seorang laki-laki bersepi-sepi dengan seorang wanita kecuali wanita itu bersama mahromnya.” (H.R. alBukhori: 1862, Muslim: 1338)

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolani rahimahullah berkata: “Hadits ini menunjukkan bahwa larangan bercampur baur dengan wanita yang bukan mahrom adalah ijma’ (kesepakatan) para ulama.” (Fathul Bari: 4/100)

Oleh karena itu, kendati telah resmi melamar seorang wanita, seorang lakilaki tetap harus menjaga jangan sampai terjadi fitnah. Dengan diterima pinangannya itu tidak berarti ia bisa bebas berbicara dan bercanda dengan wanita yang akan diperistrinya, bebas surat menyurat, bebas bertelepon, bebas berSMS, bebas chatting, atau bercakap-cakap apa saja. Wanita tersebut

Adakah Pacaran Islami?

Ada lagi pemudapemudi aktivis organisasi Islam—yang katanya punya semangat terhadap Islam—disebabkan dangkalnya ilmu syar’i yang mereka miliki dan terpengaruh dengan budaya Barat yang sudah berkembang, mereka memunculkan istilah “pacaran islami” dalam pergaulan mereka. Mereka hendak tampil beda dengan pacaranpacaran orang awam. Tidak ada saling sentuhan, tidak ada pegangpegangan. Masingmasing menjaga diri. Kalaupun saling berbincang dan bertemu, yang menjadi pembicaraan hanyalah tentang Islam, tentang dakwah, saling mengingatkan untuk beramal, dan berdzikir kepada Alloh serta mengingatkan tentang akhirat, surga, dan neraka. Begitulah katanya!

Ketahuilah, pacaran yang diembelembeli Islam ala mereka tak ubahnya omong kosong belaka. Itu hanyalah makar iblis untuk menjerumuskan orang ke dalam neraka. Adakah mereka dapat menjaga pandangan mata dari melihat yang haram sedangkan memandang wanita ajnabiyyah atau lakilaki ajnabi termasuk perbuatan yang diharamkan?! Camkanlah firman Alloh

“Katakanlah (wahai Muhammad) kepada lakilaki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Alloh Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” Dan katakanlah kepada wanitawanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka” …. (Q.S. anNur [24]: 3031)
Tidak tahukah mereka bahwa wanita merupakan fitnah yang terbesar bagi laki-laki? Rosululloh shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah aku tinggalkan sepeninggalku fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada fitnahnya wanita.” (H.R. al-Bukhori: 5096)
Segeralah Menikah Bila Sudah Mampu

Para pemuda yang sudah berkemampuan lahir dan batin diperintahkan agar segera menikah. Inilah solusi terbaik yang diberikan Islam karena dengan menikah seseorang akan terjaga jiwa dan agamanya. Akan tetapi, jika memang belum mampu maka hendaklah berpuasa, bukan berpacaran. Rosululloh shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Wahai generasi muda, barang siapa di antara kalian telah mampu menikah maka segeralah menikah karena sesungguhnya menikah itu lebih menjaga kemaluan dan memelihara pandangan mata. Barang siapa yang belum mampu maka hendaklah berpuasa karena puasa menjadi benteng (dari gejolak birahi).” (H.R. al-Bukhori: 5066)

Al-Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan: “Yang dimaksud mampu menikah adalah mampu berkumpul dengan istri dan memiliki bekal untuk menikah.” (Fathul Bari: 9/136)

Dengan menikah segala kebaikan akan datang. Itulah pernyataan dari Alloh subhanahu wa ta’ala yang tertuang dalam Q.S. ar-Rum [30]: 21. Islam menjadikan pernikahan sebagai satu-satunya tempat pelepasan hajat birahi manusia terhadap lawan jenisnya. Lebih dari itu, pernikahan sanggup memberikan jaminan dari ancaman kehancuran moral dan sosial. Itulah sebabnya Islam selalu mendorong dan memberikan berbagai kemudahan bagi manusia untuk segera melaksanakan kewajiban suci itu.

Nasihat

Janganlah ikut-ikutan budaya Barat yang sedang marak ini. Sebagai orang tua, jangan biarkan putra-putrimu terjerembab dalam fitnah pacaran ini. Jangan biarkan mereka keluar rumah dalam keadaan membuka aurat, tidak memakai jilbab[1] atau malah memakai baju ketat yang membuat pria terfitnah dengan penampilannya. Perhatikanlah firman Alloh subhanahu wa ta’ala:
"Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Alloh adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Q.S. alAhzab [33]: 59)

Wallohu A’lam.
____________________________________
Sumber: buletin al-Furqon Tahun 3, Vol. 9 no. 3 Bulan Muharram 1430 H

Senin, 23 Agustus 2010

Berzikirlah Sesuai Sunnah

Berdzikir kepada Sang Pemberi Nikmat merupakan perkara yang sangat penting. Sebab kita adalah hamba-Nya, maka kita harus selalu mengingat-Nya dan jangan sampai melalaikan Sang Pemberi Nikmat. Dia-lah Maha Pemberi yang senantiasa memberi nikmat kepada hamba-hamba-Nya walaupun hamba-Nya tersebut bermaksiat kepada-Nya, Dia-lah yang memberi nikmat yang tidak terhitung banyaknya tanpa batasan waktu. Oleh karena itu, berdzikir kepada Maha Pemberi dan mensyukuri karunia-Nya adalah sesuatu yang fitrah bagi seorang hamba.

Makna Dzikir

Imam Nawawi berkata, “Ketahuilah bahwa fadlilah dzikir itu tidak terbatas pada tasbih, tahlil, tahmid dan takbir. Bahkan setiap orang yang melakukan amal ketaatan karena Alloh, maka orang tersebut termasuk berdzikir kepada-Nya”. Dari perkataan beliau dapat kita ambil faidah bahwa makna dzikir sangat luas mencakup seluruh amalan ketaatan yang dilakukan karena Alloh, berbeda dengan sebagian orang yang memahami dzikir hanya sebatas ucapan-ucapan semisal tasbih, tahlil, tahmid dan takbir (disebut dengan wirid-pen). Maka pengertian yang demikian kurang tepat, karena hal tersebut merupakan penyempitan terhadap sesuatu yang luas.


 Adab-adab Berdzikir

Adab dzikir yang paling utama dan mesti diperhatikan tatkala ingin berdzikir adalah hendaknya melandasi niat dengan ikhlas dan senantiasa berdzikir dengan dzikir yang dituntunkan oleh Rasululloh shallallohu ‘alaihi wa sallam.
Adapun adab-adab berdzikir yang lain, maka Allah Ta’alaa telah merangkum hal tersebut dalam firman-Nya (yat), “Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai. (QS.Al A’raaf: 205). Dari ayat ini dapat kita ringkas beberapa adab dalam berdzikir, yaitu:
  • Berdzikir di dalam hati
Maksudnya adalah dengan memahami makna yang diucapkan dengan hatinya. Hal ini akan memudahkan untuk berdzikir dengan ikhlas karena lebih menjauhkan dari riya’ dan akan lebih mudah untuk dikabulkan.
  • Merendahkan diri
Hendaknya dalam berdzikir menghadirkan hati dengan menganggap dirinya hina, dalam keadaan tunduk, mengakui akan kekurangan dirinya karena hal tersebut akan membantu untuk menumbuhkan rasa kehinaan dalam mengingat keagungan Rabbnya.
  • Dengan rasa rakut
Maksudnya adalah takut diadzab karena kurang dalam beramal yang benar, takut amalannya ditolak dan tidak diterima oleh Alloh, sehingga yang demikian itu justru menambah motivasi untuk beramal lebih banyak dan lebih baik. Inilah sifat-sifat orang mukmin sebagaimana yang diterangkan Alloh dalam surat Al Mu’minuun: 60, (yat), “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka. Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya”.
  • Merendahkan suara
Ditekankan untuk merendahkan suara dalam berdzikir karena hal ini akan lebih mendekatkan pada perenungan akan keagungan Rabb yang sempurna. Imam Ibn Katsir berkata, “Oleh karena itu Alloh berfirman, “dengan tidak mengeraskan suara”, demikianlah ketika berdzikir (hendaknya tidak mengeraskan suara-pen), dan dzikir bukanlah berupa sahutan dan suara yang keras” (Tafsirul Qur’anil Azhim).
Pernah para sahabat berdo’a dengan suara yang keras ketika bersafar bersama Rasululloh shallallohu ‘alaihi wa sallam, maka beliau menegur sembari bersabda, “Wahai sekalian manusia, kasihanilah diri kalian (maksudnya janganlah kalian berlebihan-pen). Sesungguhnya kalian tidak berdo’a kepada Dzat yang tuli dan jauh, tapi kalian berdo’a kepada Dzat yang Maha Mendengar dan Dekat yang lebih dekat kepada salah seorang diantara kalian daripada leher tunggangannya” (HR. Bukhori dan Muslim)
Kesalahan sebagian besar kaum muslimin saat ini adalah melakukan dzikir bersama dengan dikomandoi seraya mengucapkan lantunan dzikir dengan suara yang keras. Adapun dzikir mereka dengan suara yang keras telah dijawab dan dalil yang menunjukkan bahwa Nabi dan para sahabat berdzikir dengan suara keras diterangkan oleh para ulama bahwasanya hal itu dimaksudkan untuk mengajari para sahabat yang belum mengetahuinya. Sedangkan tata cara dzikir dengan dikomandoi maka cara ini tidak pernah dituntunkan oleh Rasululloh shallallohu ‘alaihi wa sallam, adapun para pendukung dzikir model ini berdalil dengan dalil-dalil umum yang tidak menunjukkan bahwa tata cara dzikir yang disyariatkan adalah yang seperti mereka lakukan. Cukuplah bagi kita apa yang diriwayatkan dari sahabat Ibnu Mas’ud ra ketika beliau mengingkari orang-orang di zaman beliau tatkala melakukan dzikir dengan model persis seperti orang-orang yang mengagungkan dzikir bersama pada saat ini. (Atsar ini diriwayatkan oleh Ad Darimi, Bahsyali dan selainnya). Agar lebih jelas, kami persilakan pembaca untuk melihat artikel Ustadzuna Muhammad Arifin Badri, Lc, Ma di situs www.muslim .or.id dengan judul “Pandangan Tajam Terhadap Dzikir Bersama”.
  • Berdzikir dengan lisan, bukan dengan hati saja
Hal ini ditunjukkan dalam ayat tersebut pada lafadz, “dengan tidak mengeraskan suara” yang bermakna berbicara dengan mengeluarkan suara yang lirih, sehingga yang dimaksud adalah menggabungkan antara dzikir dengan lisan dan dzikir dengan qolbu,
  • Berdzikir di waktu pagi dan petang
Ayat di atas juga menunjukkan waktu yang afdlol untuk berdzikir kepada-Nya, yakni di waktu pagi dan petang. Hal ini tidak membatasi bahwa dzikir hanya dilakukan pada saat itu saja, akan tetapi ayat itu hanya menekankan pentingnya untuk berdzikir di kedua waktu tersebut karena pada saat itu merupakan waktu lowong yang dapat digunakan untuk beribadah dengan bersungguh-sungguh dan pada saat itu pula amalan seluruh manusia diangkat untuk dihadapkan kepada Alloh.
  • Tidak lalai ketika berdzikir kepada Alloh
Sering kita melihat orang yang berdzikir dengan suara yang keras dan dengan begitu cepatnya, akan tetapi mereka tidak memahami apa yang dia ucapkan. Ini adalah salah satu adab yang jelek, membuat dzikir tersebut tidak bermanfaat bagi pelakunya dan hal ini termasuk salah satu bentuk kelalaian walaupun dia melakukan dzikir. Dzikir itu dapat bermanfaat ketika dipahami, meresap dalam qolbu dan memberi pengaruh bagi ketaatan hamba. Hendaknya dalam berdzikir menghadirkan hati dan tidak tergesa-gesa untuk menyelesaikan dzikir dengan bilangan tertentu.
Demikianlah yang dapat kami hadirkan pada kesempatan kali ini, wahai saudaraku isilah waktu kita dengan senantiasa mengingat Alloh. Rasululloh shallallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah satu waktu berlalu bagi Bani Adam dan (mereka) tidak berdzikir (mengingat) Alloh di dalamnya, melainkan akan membawa penyesalan pada hari kiamat” (HR. Baihaqi dan Abu Nu’aim dihasankan oleh Imam Al Albani dalam Shohihul Jami’).
Sumber: Kumpulan artikel buletin At Tauhid Yogyakarta

Sabtu, 21 Agustus 2010

Bahaya Perdukunan

Sungguh suatu hal yang tidak bisa dipungkiri pada saat ini perdukunan dan sihir makin tumbuh subur dan berkembang pesat bagaikan jamur dimusim hujan tanpa kendali dari pihak manapun. Kita bisa melihat iklan – iklannya baik di media cetak ataupun elektronik semakin terang – terangan mempropagandakan  pertunjukan sihir dan perdukunan bahkan berani dipertontonkan dihadapan masyarakat. 
Muncul juga brosur, buku dan majalah – majalahnya yang mengkampanyekan pratek  perdukunan dan sihir, mereka memanfaatkan era kebebasan ini sebagai pemuas hawa nafsunya guna memperoleh keuntungan duniawi tanpa memperhatikan efek negatifnya terhadap ummat .

Ironisnya, propaganda mereka ini makin laris manis dan disambut dengan gegap gempita oleh ummat yang mayoritas beragama islam. Banyak diantara mereka yang melakukan pengobatan terhadap penyakit dideritannya, meminta dicarikan jodoh dan yang lainnya kepada dukun atau para normal . Mengapa hal ini dapat terjadi di tengah ummat dan para penguasa yang mayoritasnya mereka beragama Islam? makin parahkah aqidah ummat ini ? dimanakah kalian wahai kaum muslimin ? 

    Akhir –akhir ini banyak tukang ramal yang mengaku dirinya sebagai tabib / dokter dan mengobati orang sakit dengan jalan sihir atau perdukunan. Mereka kini banyak tersebar diberbagai negri, orang – orang awam yang tidak mengerti sudah banyak yang menjadi korban pemerasan mereka . Maka sebagai nasehat kepada kaum muslimin kami ingin menjelaskan tentang betapa besarnya bahaya sihir dan perdukunan terhadap islam dan kaum muslimin disebabkan adanya ketergantungan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala  serta bertolak belakang dengan perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasulnya .

    Dengan memohon pertolongan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala  kami katakan bahwa berobat diperbolehkan menurut kesepakatan para ulama, maka hendaklah seorang muslimin didalam berobat berusaha untuk mendatangi dokter yang ahli, baik berkaitan penyakit dalam maupun penyakit luar untuk diperiksa kemudian diobati esuai dengan obat –obat yang dibolehkan oleh syariat sebagaimana yang dikenal dalam kedokteran, oleh sebab itu haram bagi seorang muslim untuk berobat dengan sesuatu yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala , karena Allah Subhanahu wa Ta'ala  tidak menjadikan kesembuhan dari sesuatu yang telah diharamkan kepada mereka.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda ;
        ما أنزل االله من داء الآ أنزل له شفاء ( رواه البخاري )  
Artinya ; Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit melainkan Allah menurunkan obat baginya. ( HR .Muslim )

Dan didalam riwayat yang lainnya Beliaupun barsabda ;
        لكلّ داء دواء  ( رواه مسلم )
 Artinya ; Setiap penyakit itu ada obatnya. ( HR. Muslim )
    Oleh karena itu tidak dibenarkan bagi orang yang sakit, mendatangi dukun – dukun yang mengklaim dirinya mengetahui yang ghaib untuk mengetahui penyakit yang dideritanya dan tidak diboleh pula mempercayainya atau membenarkan apa yang mereka katakan sebagaimana yang dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam  dalam sabdanya ;
    من أتى عرّافا فسأله عن شيء لم تقبل له صلاة أربعين يوما (رواه مسلم )
Artinya ; Barangsiapa mendatangi tukang ramal kemudian menanyakan kepadanya tentang sesuatu maka tidaklah akan diterima baginya sholatnya selama empat puluh hari . ( HR . Muslim )

Kemudian dalam riwayat yang lain beliaupun bersabda ;
    من أتى كاهنا فصدّقه بما يقول فقد كفر بما أنزل على محمد ( رواه أبو داود )
Artinya ; Barangsiapa yang mendatangi dukun kemudian membenarkan apa yang dia katakan maka sungguh dia telah kafir terhadap apa yang ditutunkan terhadap Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam  .

    Hadits –hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam  diatas terdapat larangan untuk mendatangi, bertanya apalagi untuk membenarkan terhadap apa yang mereka katakan karena perkara ini mengandung kemungkaran dan bahaya yang besar. Juga akan berakibat negatif yang sangat besar pula karena mereka orang yang melakukan kedustaan dan dosa .

    Hadits – hadits diatas pula membutuhkan kekufuran para dukun karena mereka mengakui mengetahui perkara yang ghaib. Dan sesungguhnya mereka tidak akan sampai kepada maksud yang diinginkan melainkan dengan cara berbakti,tunduk,taat serta menyembah kepada jin . maka perkara ini merupakan perbuatan kekufuran dan syirik kepada AllahSubhanahu wa Ta'ala , maka orang yang membenarkan mereka atas pengakuannya mengetahui perkara yang ghaib dan meyakininya maka hukumnya sama dengan mereka . Dan setiap orang yang menerima perkara ini dari orang yang melakukannya sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam  berlepas diri dari mereka. Maka setiap muslim tidak boleh baginya untuk percaya terhadap apa yang mereka perbuat walaupun dengan bentuk pratek pengobatan sekalipun semisal tulisan – tulisan, jimat – jimat yang mereka buat ataupun menuangkan cairan berisi rajah – rajah dan yang lainnya, semua ini adalah pratek – pratek perdukunan dan penipuan terhadap manusia . Maka barangsiapa yang rela menerima pratek – prateknya sesunguhnya dia telah mendukung mereka dalam perbuatan kebatilan dan kekufuran . 

    Demikianlah  bahaya kekufuran dan kesesatan yang diakibatkan oleh sihir dan perdukunan. Maka hendaklah kaum muslimin menyadari akan bahaya ini dengan berusaha untuk menjauhinya dan tidak mendatangi praktek – praktek yang diadakan mereka para normal, dukun – dukun dan tukang sihir apapun bentuknya yang mereka adakan . Apakah dalam bentuk pengobatan atau yang lainnya ,karena mendatangi mereka akan mengakibatkan terjerumusnya seeorang kepada kehancuran dan kebinasaan.

Wallahu A`lam Bish Showaab.      

Kamis, 19 Agustus 2010

Hukum Cadar Dalam Islam

Bismillah....
Banyak komentar miring seputar cadar dan Muslimah bercadar. Padahal ia adalah bagian dari syariat Islam dan tidak ada ulama yang mengingkari pensyariatannya. Mereka hanya berbeda pendapat tentang hukumnya; wajib atau sunnah?
Catatan ini hanya akan mengangkat dalil-dalil yang dikemukakan oleh ulama yang mewajibkan cadar, untuk menjawab keheranan Anda terhadap Muslimah bercadar. Anda heran, bagaimana mungkin seorang wanita menutupi keindahan parasnya, ketika hampir semua wanita berlomba-lomba memamerkan kecantikannya?
Berikut ini jawabannya:




1. Firman Allah Subhanahu wata'ala:
"Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka." (QS. An Nur: 31).
Allah Subhanahu wata'ala memerintahkan wanita mukmin untuk memelihara kemaluan mereka. Hal itu juga mencakup perintah melakukan sarana-sarana untuk memelihara kemaluan, karena sarana memiliki hukum tujuan. Bukankah menutup wajah termasuk sarana untuk memelihara kemaluan? Jadi, menutup wajah pun diperintahkan.
2. Firman Allah Subhanahu wata'ala:
"Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka." (QS. An Nur: 31).
Ibnu Mas'ud berkata tentang perhiasan yang (biasa) nampak dari wanita, "(Yaitu) pakaian". Dengan demikian yang boleh nampak dari wanita hanyalah pakaian, karena memang tidak mungkin disembunyikan.
Anda mungkin akan merasa miris, jika pertanyaan "apa yang biasa nampak dari wanita saat ini?" ditanyakan kepada Anda, maka Anda akan malu-malu menjawabnya.
3. Firman Allah Subhanahu wata'ala:
"Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada (dan leher) mereka." (QS. An Nur: 31)
Berdasarkan ayat ini wanita wajib menutupi dada dan lehernya. Maka menutup wajah lebih wajib, karena wajah adalah tempat kecantikan dan godaan. Menurut Anda, mungkinkah agama yang bijaksana ini memerintahkan wanita menutupi dada dan lehernya, tetapi membolehkan membuka wajah?
Perhatikan kembali firman Allah di atas, "...menutupkan kain kudung ke dada (dan leher) mereka."
Sayang sekali, banyak Muslimah yang belum membaca ayat ini dengan saksama, sehingga jilbab mereka hanya melilit leher.
4. Firman Allah Subhanahu wata'ala:
"Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan." (QS. An Nur: 31).
Allah melarang wanita menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang dia sembunyikan, seperti gelang kaki dan sebagainya. Hal ini karena dikhawatirkan laki-laki akan tergoda gara-gara mendengar suara gelang kakinya atau semacamnya. Maka godaan yang ditimbulkan karena memandang wajah wanita cantik, apalagi yang dirias, lebih besar dari pada sekadar mendengar suara gelang kaki wanita. Sehingga wajah wanita lebih pantas untuk ditutup untuk menghindarkan kemaksiatan.
5. Firman Allah Subhanahu wata'ala:
"Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggal-kan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka." (QS. An-Nur: 60).
Ini berarti wanita muda wajib menutupi wajahnya, karena kebanyakan wanita muda yang membuka wajahnya, bermaksud menampakkan perhiasan dan kecantikannya, agar dilihat dan dipuji oleh laki-laki. Wanita yang tidak berkeinginan seperti itu jarang, sedangkan perkara yang jarang tidak dapat dijadikan sandaran hukum.
6. Firman Allah Subhanahu wata'ala:
"Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu'min: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang." (QS. Al Ahzab: 59).
As-Suyuthi berkata, "Ayat hijab ini berlaku bagi seluruh wanita, di dalam ayat ini terdapat dalil kewajiban menutup kepala dan wajah bagi wanita."
Dalam ayat di atas, terkandung perintah mengulurkan jilbab. Ini meliputi menutup wajah berdasarkan beberapa dalil:
1.Makna jilbab dalam bahasa Arab adalah: Pakaian yang luas yang menutupi seluruh badan. Sehingga seorang wanita wajib memakai jilbab itu pada pakaian luarnya dari ujung kepalanya turun sampai menutupi wajahnya, segala perhiasannya dan seluruh badannya sampai menutupi kedua ujung kakinya.
2.Yang biasa nampak pada sebagian wanita jahiliah adalah wajah mereka, lalu Allah perintahkan istri-istri dan anak-anak perempuan Nabi shallallahu alahi wasalam serta istri-istri orang mukmin untuk mengulurkan jilbabnya ke tubuh mereka. Kata idna' (pada ayat tersebut) yang ditambahkan huruf (Úóáóí) mengandung makna mengulurkan dari atas. Maka jilbab itu diulurkan dari atas kepala menutupi wajah dan badan.
3.Menutupi wajah, baju, dan perhiasan dengan jilbab itulah yang dipahami oleh wanita-wanita sahabat.
4.Dalam firman Allah Subhanahu wata'ala, "Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu", merupakan dalil kewajiban hijab dan menutup wajah bagi istri-istri Nabi shallallahu alahi wasalam, tidak ada perselisihan dalam hal ini di antara kaum Muslimin. Sedangkan dalam ayat ini, istri-istri Nabi shallallahu alahi wasalam disebutkan bersama-sama dengan anak-anak perempuan beliau serta istri-istri orang mukmin. Ini berarti hukumnya mengenai seluruh wanita mukmin.
5.Dalam firman Allah shallallahu alahi wasalam, "Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu." Menutup wajah wanita merupakan tanda wanita baik-baik, dengan demikian tidak akan diganggu. Demikian juga jika wanita menutupi wajahnya, maka laki-laki yang rakus tidak akan berkeinginan untuk membuka anggota tubuhnya yang lain. Maka membuka wajah bagi wanita merupakan sasaran gangguan dari laki-laki nakal/jahat. Maka dengan menutupi wajahnya, seorang wanita tidak akan memikat dan menggoda laki-laki iseng sehingga dia tidak akan diganggu.
Dan beberapa dalil lagi dari Al Qur'an yang juga dibawakan oleh ulama yang mewajibkan cadar, namun tidak kami sertakan dalam pembahasan kali ini.
7. 'Aisyah—radhiyallahu 'anha—berkata,
"Para pengendara kendaraan biasa melewati kami, di saat kami (para wanita) berihram bersama-sama Rasulullah shallallahu alahi wasalam. Maka jika mereka mendekati kami, salah seorang di antara kami menurunkan jilbabnya dari kepalanya pada wajahnya. Jika mereka telah melewati kami, kami membuka wajah." (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan lain-lain).
Wanita yang ihram dilarang memakai penutup wajah dan kaos tangan sebagaimana disebutkan di dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Sehingga kebanyakan ulama berpendapat, wanita yang ihram wajib membuka wajah dan tangannya. Sedangkan yang wajib tidak dapat dilawan kecuali dengan yang wajib pula. Maka kalau bukan karena kewajiban menutup wajah bagi wanita, niscaya 'Aisyah dan wanita-wanita yang bersama beliau tidak akan meninggalkan kewajiban membuka wajah bagi wanita yang sedang ihram.
8.Asma' binti Abi Bakar berkata, "Kami menutupi wajah kami dari laki-laki, dan kami menyisiri rambut sebelum itu di saat ihram." (HR. Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim. Al-Hakim berkata: "Shahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim", dan disepakati oleh Adz-Dzahabi)
Ini menunjukkan bahwa menutup wajah wanita sudah merupakan kebiasaan para wanita sahabat.
9. 'Aisyah berkata,
"Mudah-mudahan Allah merahmati wanita-wanita Muhajirin yang pertama-tama, ketika turun ayat ini:
"Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada (dan leher) mereka." (QS. Al Ahzab: 31).
Mereka merobek selimut mereka lalu mereka berkerudung dengannya." (HR. Bukhari, Abu Dawud, Ibnu Jarir, dan lainnya).
Ibnu Hajar—rahimahullah—berkata, "Perkataan: Lalu mereka berkerudung dengannya," maksudnya; mereka menutupi wajah mereka."
10. Sabda Rasulullah shallallahu alahi wasalam,
"Wanita adalah aurat. Jika dia keluar, setan akan menjadikannya indah pada pandangan laki-laki." (HR. Tirmidzi dan lainnya).
Kalau wanita adalah aurat, maka semuanya mesti tertutup, termasuk wajah dan telapak tangannya.
11. Perkataan 'Aisyah dalam peristiwa Haditsatul Ifki:
"Dia (Shawfan bin Al-Mu'athal) dahulu pernah melihatku sebelum diwajibkan hijab atasku, lalu aku terbangun karena perkataannya, "Inna lillaahi..." ketika dia mengenaliku. Maka aku menutupi wajahku dengan jilbabku." (HR. Muslim)
Inilah kebiasaan Ummahatul Mukminin, yaitu menutupi wajah, maka hukumnya meliputi wanita mukmin secara umum sebagaimana dalam masalah hijab.
12. Sabda Nabi shallallahu alahi wasalam,
"Barang siapa menyeret pakaiannya dengan sombong, Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat." Kemudian Ummu Salamah bertanya: "Bagaimana para wanita membuat ujung pakaian mereka?" Beliau menjawab: "Hendaklah mereka menjulurkan sejengkal." Ummu Salamah berkata lagi, "Kalau begitu, telapak kaki mereka akan tersingkap?" Beliau menjawab, "Hendaklah mereka menjulurkan sehasta, mereka tidak boleh melebihkannya." (HR. Tirmidzi, dan lainnya).
Hadits ini menunjukkan kewajiban menutupi telapak kaki wanita, dan hal ini sudah dikenal di kalangan wanita sahabat.
Lalu menurut Anda, apakah terbukanya telapak kaki wanita lebih berbahaya dari pada terbukanya wajah dan tangan mereka? Maka ini menunjukkan wajibnya menutupi wajah dan tangan wanita.
Jadi, cadar bukanlah sekadar trend wanita-wanita Arab atau pun Mesir, tapi bagian dari syariat Islam. Tapi sekadar memakainya tanpa disertai niat ibadah, tentu tidak akan mendapatkan pahala.
Wallahu A'laa wa A'lam

Rabu, 18 Agustus 2010

Fitnah Wanita Terhadap Laki-laki

Semua perasaan condong padanya, perbuatan haram pun terjadi karenanya. Mengundang terjadinya pembunuhan, permusuhan pun disebabkan karenanya. Sekurang-kurangnya ia sebagai insan yang disukai di dunia. Kerusakan mana yang lebih besar daripada ini ? Begitulah Al Imam Al Mubarokfuri –rahimahullah- menjelaskan tentang bentuk bahaya fitnah wanita dalam Al Tuhfah Al Ahwadzi 8/53. 
Jauh sebelumnya Allah menyatakan bahwa fitnah yang paling besar adalah wanita, bahkan ia sebagai sumber syahwat. Allah berfirman:
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita…” (Surah Ali Imran: 14)


Dengan demikian maka Allah dan RasulNya memerintahkan kepada kaum wanita untuk menjauhi perkara-perkara yang akan menyebabkan timbulnya fitnah bagi kaum laki-laki

Pertama :
Syariat memerintahkan wanita untuk tinggal dirumahnya. Allah berfirman:
“Dan hendaklah kalian tetap dirumah kalian…” (Surah Al Ahzab: 33 ).

Sama sekali ini tidak bererti zalim terhadap wanita, atau penjara, ataupun mengurangi kebebasannya. Allah lebih mengetahui kemaslahatan hambaNya. Sesungguhnya dengan tinggalnya para wanita dirumah-rumahnya maka ia dapat mengurusi urusan rumahnya, menunaikan hak-hak suaminya, mendidik anaknya dan memperbanyak melakukan hala-hal baik lainnya.
Adapun keluar rumah maka makahukum asalnya adalah mubah, kecuali jika dalam bermaksiat kepada Allah hukumnya haram.
Kedua:
Syariat melarang mereka bertabaruj, yaitu berhias dihadapan selain mahramnya. Allah berfirman:
“…dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu…”
(Surah Al Ahzab: 33 ).
Ketiga:
Mereka dilarang berbicara dengan suara yang mendayu-dayu yang dapat mengundang fitnah. Allah berfirman :
“…Maka janganlah kamu terlalu lembut dan terlalu lunak dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit di hatinya , dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (Surah Al Ahzab: 32 ).
Keempat:
Mereka dilarang keluar rumah dengan memakai wangi-wangian. Rasulullah bersabda:
“Wanita mana saja yang memakai wangi-wangian kemudian lewat di suatu kaum supaya mereka mendapatkan bau harumnya, maka ia telah berzina.”
(HR Ahmad dari Sahabat Abu Musa Al Asy’ari).

Bahkan dalam riwayat Muslim dari Sahabat Abu Hurairah Rasulullah bersabda:
“Wanita mana saja yang memakai bukhur (sejenis wangi-wangian) tidak diperkenankan untuk solat Isya’ di malam hari bersama kami.” Tidak diragukan lagi bahawa solat berjamaah memiliki keutamaan 27 derajat atas sholat sendirian.Walau demikian Rasulullah melarang para wanita untuk solat Isya’ jika memakai wangi-wangian, menjaga supaya tidak terjadi fitnah.
Kelima:
Mereka dilarang untuk berdua-duaan dengan lelaki yang bukan mahramnya, demikian pula sebaliknya. Rasulullah bersabda :
“Tidak boleh seorang laki-laki berkhalwat (menyendiri, berduaan) dengan seorang wanita kecuali dengan mahramnya.”
(HR Muttafaq alaihi dari Sahabat Ibnu Abbas).
Maka wajib atas kaum wanita menjaga kehormatannya, dan janganlah membalas nikmat Allah dengan kekufuran, wal iyyaudzubillah. Seharusnya bagi seorang muslim atau muslimah untuk tidak memiliki pendapat atau kebebasan setelah tetap hukum Allah dan RasulNya. Kerana sesungguhnya Islam tidak akan tegak pada diri seseorang kecuali dengan tunduk dan patuh. Allah berfirman :
“Dan tidak patut bagi laki-laki mukmin dan tidak pula bagi wanita mukminah, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah da RasulNya maka sungguh dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Surah Al Ahzab: 36).
Wal ilmu indallah.

Selasa, 17 Agustus 2010

Air Mata Penggugur Dosa

Rasulullah (sallallahu alaihi wasalam) bersabda:
” Dua mata yang tidak akan disentuh oleh api neraka, yaitu mata yang menangis kerana takut (azab) Allah dan mata yang berjaga ketika berjihad pada jalan Allah”.
[Hadis Riwayat Tarmidzi]
Dari Abi Hurairah (ra) bahwa Rasulullah (sallallahu alaihi wasalam) bersabda: Ada tujuh golongan yang akan mendapat perlindungan Allah pada hari yang tiada perlindungan kecuali perlindunganNya:
1.       Imam (pemimpin) yang adil.
2.       Pemuda yang taat kepada Allah sejak kecil.
3.       Lelaki yang terpaut hatinya dengan masjid.
4.       Dua orang yang saling kasih-mengasihi kerana Allah.
5.       Lelaki yang diajak oleh wanita yang mempunyai kedudukan dan cantik, lalu ia berkata: “Aku takut kepada Allah”.
6.       Orang yang bersedekah secara sembunyi sehingga tidak mengetahui tangan kirinya apa yang diberi oleh tangan kanannya.
7.       Orang yang bermunajat kepada Allah sambil menggelinangkan airmatanya.

[Hadis Sahih Riwayat Bukhari dan Muslim]

Air Mata..
Gugurlah engkau karena takutku pada yang Esa
Gugurlah engkau
karena takutku pada azab di alam baqa
Gugurlah engkau
karena takutku pada azab neraka
Gugurlah engkau
karena takutku menghadapi dahsyatnya akhirat sana
Gugurlah engkau kala keinsafan di atas segala dosa

Gugurlah engkau kala rasa hinanya diriku di sisi Yang Esa
Gugurlah engkau kala kumemohon diampun dosa dan alpa
Gugurlah engkau kala kumemohon taubatku diterima
Gugurlah engkau kala kumemohon petunjukNya
Gugurlah engkau kala kumemohon bantuanNya


Gugurlah engkau kala ku memohon mati dalam rahmatNya
Gugurlah engkau kala kumemohon menghuni syurgaNya
Gugurlah engkau kala kumengharap redhaNya
Gugurlah engkau kala kumengharap cintaNya


Gugurlah engkau kala kurindu pada Pencipta
Gugurlah engkau kala kurindu hampir padaNya
Gugurlah engkau kala ku rindu pada kekasihNya
Gugurlah engkau kala kusujud pada yang Kuasa
Gugurlah engkau kala kutadabbur Kalam yang Esa
Gugurlah engkau kala zikirku pada Yang Kuasa
Gugurlah engkau
karena Yang Esa

 
kerana kuingin setiap tetesmu menjadi pembelaku
kerana kuingin setiap
tetesmu menjadi saksiku
kerana kuingin setiap
tetesmu menyelamatkan diriku
kerana kungin setiap
tetesmu membawa ku ke syurga idamanku
kerana kuingin setiap
tetesmu kudapat melihat wajah Rabbku..
kerana kuingin setiap
tetesmu bawa bahagia abadi buatku
walau engkau hanya setetes air membasahi pipi


***
http://ummuayman.wordpress.com/

Selasa, 10 Agustus 2010

Bersama Nabi di Bulan Ramadhan

Sesungguhnya kita akan menyambut tamu yang mulia, yang hilang dan tidak datang kepada kita melainkan sekali saja dalam setahun. Ia (tamu yang) jarang mengunjungi kita, hingga kita sangat merindu padanya. Tamu yang membuat hati berdebar-debar karena begitu cinta padanya. Leher-leherpun melongok untuk melihatnya, (demikian juga) mata mengamat-amati untuk melihat hilalnya, dan jiwa-jiwa yang beriman beribadah kepada Rabbnya pada saat itu. 
Wahai hamba Allah, inilah penjelasan sebagian keadaan-keadaan Rasulullah dan petunjuk beliau dalam bulan Ramadhan [Hadits-hadits yang terdapat dalam makalah ini adalah hadits-hadits shahih, sebagian besar terdapat dalam shahih Bukahri dan Muslim, atau salah satu dari keduanya], agar anda dapat meneladaninya sehingga anda memperoleh kecintaan kepadanya dan dikumpulkan bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam kelak.
Berikut ini kami kemukakan beberapa keadaan dan petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam di bulan Ramadhan :
  • Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tidak berpuasa hingga ru’yah (melihat) hilal dengan penglihatan yang pasti, atau dari berita seorang yang adil dalam penentuan awal bulan Ramadhan, atau menyempurnakan bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.
  • Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam merasa cukup dengan persaksian satu orang, ini merupakan hujjah diterimanya khabar ahad. Tersebut dalam hadits shahih bahwa kaum muslimin berpuasa hanya dengan ru’yah yang dilakukan oleh seorang Arab Badui yang datang dari padang pasir, kemudian ia memberitahukan kepada Nabi bahwa ia telah melihat hilal, maka beliau memerintahkan Bilal agar mengumumkan untuk puasa.
  • Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam melarang umatnya untuk mendahului bulan Ramadhan dengan berpuasa sehari atau dua hari (sebelumnya) dengan alasan berhati-hati, kecuali apabila ia merupakan kebiasaan salah seorang diantara kalian, oleh karena itu dilarang berpuasa pada hari yang diragukan.
  • Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berniat puasa pada malam hari sebelum fajar dan memerintahkan kepada umatnya (untuk berniat), dan hukum ini khusus untuk puasa wajib. Adapun puasa nafilah (sunnah) maka tidak wajib.
  • Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tidak menahan dari makan dan minum serta hal-hal yang membatalkan puasa hingga ia melihat fajar shadiq dengan penglihatan yang pasti, sebagai pengimplementasian firman Allah :
 Dan makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam yaitu fajar” (Al Baqarah : 187)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menerangkan pada umatnya bahwa fajar ada dua yaitu shadiq dan kadzib. Selama fajar kadzib, tidak diharamkan makan, minum dan jima’. Rasulullah tidak pernah memberatkan umatnya baik dalam bulan Ramadhan atau selainnya, beliau tidak pernah mensyariatkan apa yang dinamakan oleh kaum muslimin ini sebagai adzan (seruan) imsak.
  • Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur, serta memerintahkan umatnya untuk melaksanakan hal ini. Beliau bersabda :

 Senantiasa umatku selalu selalu dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka”.

  • Jarak antara sahur beliau dan shalat fajar (shubuh) adalah kurang lebih seperti membaca 50 ayat.
  • Adapun tentang akhlak beliau, maka ceritakanlah dan tidak mengapa. Sungguh Rasulullah adalah manusia yang paling baik akhlaknya. Betapa tidak, padahal sungguh akhlak beliau adalah Al-Qur’an, sebagaimana disifatkan oleh Ummul Mu’minin Aisyah radhiyallahu ‘anha. Beliau telah memerintahkan umatnya supaya berakhlak baik, terlebih lagi bagi orang yang sedang berpuasa, beliau bersabda :

 Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan melakukannya, maka Allah tidak memerlukan ia meninggalkan makanan dan minumannya”.

  • Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjaga keluarganya dan memperbaiki cara bergaulnya dengan mereka pada bulan Ramadhan melebihi bulan lainnya.
  • Puasa yang beliau kerjakan tidak menghalanginya mencium istri-istrinya atau menyentuh mereka. Namun beliau adalah seorang yang paling mampu mengendalikan syahwatnya.
  • Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tidak meninggalkan siwak baik pada bulan Ramadhan atau selain bulan Ramadhan, beliau senantiasa mensucikan mulutnya.
  • Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berbekam dalam keadaan berpuasa, dan beliau memberi keringanan bagi orang yang bepuasa untuk berbekam, adapun hadits yang menyelisihi hal ini telah mansukh (terhapus).
  • Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berjihad di bulan Ramadhan, dan memerintahkan sahabatnya untuk berbuka agar kuat dalam menghadapi musuh.
  • Diantara rahmat beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam kepada umatnya, yaitu bagi musafir diberi keringanan untuk tidak berpuasa, demikian juga orang yang sakit, laki-laki dan perempuan tua (jompo), perempuan hamil dan menyusui. Bagi musafir harus mengganti puasanya (dihari lain), sedangkan orang yang sudah lanjut usia, perempuan hamil atau menyusui yang khawatir terhadap diri dan bayinya, maka ia mengganti puasanya dengan memberi makan (fakir miskin).
  • Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersungguh-sungguh dalam ibadah dan shalat malam pada bulan Ramadhan melebihi kesungguhannya pada bulan-bulan lainnya, terutama pada 10 malam terakhir, beliau mencari Lailatul Qodar.
  • Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam beri’tikaf pada bulan Ramadhan, khususnya 10 hari yang terakhir. Pada tahun dimana beliau wafat, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam beri’tikaf selama 20 hari. Beliau tidaklah beri’tikaf melainkan dalam keadaan berpuasa.
  • Adapun dalam hal mengulangi (bacaan) Al-Qur’an, maka tidak ada seorangpun yang memiliki kesungguhan seperti kesungguhan beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Jibril menemui beliau untuk mengulangi Al Qur’an dalam bulan Ramadhan, dikarenakan bulan Ramadhan adalah bulan Al-Qur’an.
  • Adapun kedermawanan beliau dalam bulan Ramadhan tidaklah dapat digambarkan. Beliau seperti angin yang berhembus (membawa kebaikan), sebagaimana keadaan orang yang tidak takut miskin.
  • Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah mujahidin yang paling agung, puasa tidaklah menjadi penghalang baginya dari mengikuti peperangan-peperangan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah mengikuti 6 peperangan dalam 9 tahun, semuanya di bulan Ramadhan. Demikian pula beliau melakukan amalan-amalan yang besar di bulan Ramadhan, diantaranya penghancuran Masjid Dhirar (masjid yang didirikan orang-orang munafik), penghancuran berhala terbesar di Jazirah Arab, menyambut utusan-utusan, menikah dengan Hafshah Ummul Mu’minin, dan membebaskan kota Mekkah (dari kekuasaan musyrikin) pada bulan Ramadhan.
Ringkasan : Bulan Ramadhan adalah bulan kesungguhan, bulan jihad dan bulan pengorbanan bagi kehidupan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Tidak sebagaimana yang difahami oleh mayoritas kaum muslimin pada zaman ini, yang memahami bulan Ramadhan adalah bulan istirahat, bulan bermalas-malasan, kelemahan dan pengangguran.
Ya Allah berilah petunjuk kepada kami untuk mengikuti Nabi-Mu dan hidupkanlah kami di atas sunnahnya, dan wafatkan kami diatas syariatnya Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.

***
(Syaikh Muhammad Musa Nasr dialihbahasakan dari Majalah Al-Ashalah edisi III hal 66-69)
sumber: abusalma.wordpress.com

Arsip Blog