Jumat, 31 Desember 2010

Aplikasi Penghitung Waris At-Tashil


Download Aplikasi penghitung waris At-Tas-hil,

At-Tas-hil, sebuah aplikasi penghitung waris berdasarkan syariat Islam. Aplikasi ini dibuat untuk membantu umat Islam dalam menghitung bagian waris berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah. Software yang dikembangkan oleh KaisanSOFT dengan bahasa Python ini dibuat untuk mempermudah umat Islam untuk menerapkan salah satu hukum Islam, yaitu pembagian harta waris sesuai syariat yang sudah banyak ditinggalkan di masa ini.

Software ini terdiri dari 3 modul, diantaranya adalah Bagan Ahli Waris, Perincian, dan Ringkasan Ilmu Waris. Modul Bagan Ahli Waris digunakan untuk memasukkan daftar dan jumlah ahli waris yang masih hidup. Hasilnya dapat anda lihat pada modul Perincian. Didalam modul Ringkasan Ilmu Waris anda dapat melihat hukum-hukum waris yang disebutkan dalam Al-Quran surat An-Nissa ayat 11, 12 dan 176
Software ini masih dalam tahap evaluasi. Silahkan download dan diperiksa, bilamana terdapat bugs dan errors dalam software ini, anda dapat berbagi dengan pengembangnya melalui email waris@kaisansoft.com atau diskusikan melalui forum di situs kaisansoft.com.
Berikut ini beberapa screenshot:
Tampilan Halaman Awal
Tampilan Halaman Pembagian Waris

Tampilan Ringkasan Ilmu Waris
Tampilan Tab Pengaturan
Halaman Pengaturan


Link Download
Dipublish ulang oleh muslim.or.id

Selasa, 28 Desember 2010

Sudahkah Kita Berbakti Pada Orang Tua?

Alloh yang Maha Bijaksana telah mewajibkan setiap anak untuk berbakti kepada orang tuanya. Bahkan perintah untuk berbuat baik kepada orang tua dalam Al Qur’an digandengkan dengan perintah untuk bertauhid sebagaimana firman-Nya, “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: ‘Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.’” (Al Isro’: 23)


Arti Penting dan Kedudukan Berbakti Pada Orang Tua
Berbakti kepada kedua orang tua merupakan salah satu amal sholih yang mulia bahkan disebutkan berkali-kali dalam Al Quran tentang keutamaan berbakti pada orang tua. Alloh Ta’ala berfirman: “Sembahlah Alloh dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak.” (An Nisa: 36). Di dalam ayat ini perintah berbakti kepada dua orang tua disandingkan dengan amal yang paling utama yaitu tauhid, maka ini menunjukkan bahwa amal ini pun sangat utama di sisi Alloh ‘Azza wa Jalla. Begitu besarnya martabat mereka dipandang dari kacamata syari’at. Nabi mengutamakan bakti mereka atas jihad fi sabilillah, Ibnu Mas’ud berkata: “Aku pernah bertanya kepada Rosululloh, ‘Amalan apakah yang paling dicintai Alloh?’ Beliau menjawab, ‘mendirikan sholat pada waktunya,’ Aku bertanya kembali, ‘Kemudian apa?’ Jawab Beliau, ‘berbakti kepada orang tua,’ lanjut Beliau. Aku bertanya lagi, ‘Kemudian?’ Beliau menjawab, ‘Jihad di jalan Alloh.’” (HR. Al Bukhori no. 5970). Demikian agungnya kedudukan berbakti pada orang tua, bahkan di atas jihad fi sabililllah, padahal jihad memiliki keutamaan yang sangat besar pula.
Ancaman Durhaka Kepada Orang Tua
Wahai saudaraku, Rosululloh menghubungkan kedurhakaan kepada kedua orang tua dengan berbuat syirik kepada Alloh. Dalam hadits Abi Bakrah, beliau bersabda: “Maukah kalian aku beritahukan dosa yang paling besar ?” para sahabat menjawab, “Tentu.” Nabi bersabda, “(Yaitu) berbuat syirik, duraka kepada kedua orang tua.” (HR. Al Bukhori)
Membuat menangis orang tua juga terhitung sebagaa perbuatan durhaka, tangisan mereka berarti terkoyaknya hati, oleh polah tingkah sang anak. Ibnu ‘Umar menegaskan: “Tangisan kedua orang tua termasuk kedurhakaan yang besar.” (HR. Bukhari, Adabul Mufrod hlm 31. Lihat Silsilah Al Ahaadits Ash Shohihah karya Al Imam Al Albani, 2.898)
Alloh pun menegaskan dalam surat Al Isro’ bahwa perkataan “uh” atau “ah” terhadap orang tua saja dilarang apalagi yang lebih dari itu. Dalam ayat itu pula dijelaskan perintah untuk berbuat baik pada orang tua.
Sekarang kita ketahui bersama apa arti penting dan keutamaan berbakti pada orang tua. Kita ingat kembali, betapa sering kita membuat marah dan menangisnya orang tua? Betapa sering kita tidak melaksanakan perintahnya? Memang tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Alloh, akan tetapi bagaimana sikap kita dalam menolak itupun harus dengan cara yang baik tidak serampangan. Bersegeralah kita meminta maaf pada keduanya, ridho Alloh tergantung pada ridho kedua orangtua.
(Disadur dari majalah As Sunnah Edisi 11/VII/1425 H/2005)
***
Artikel www.muslim.or.id

Sabtu, 25 Desember 2010

Mengapa Sarjana Menganggur ?


Pastinya dalam benak kita akan muncul pertanyaan , mengapa ? Mengapa banyak Sarjan yang menganggur ?Apakah karena secara ideologi dunia pendidikan sudah menjadi agen kapitalis atau menganut faham neoliberalisme?Apakah karena kurangnya sarana dan prasarana pendidikan yang sekarang ini banyak dikeluhkan?Apakah karena sistem (politik) pendidikan yang tidak benar?Ataukah karena sistem belajar mengajar yang tidak beres?Jawaban dari semua pertanyaan tersebut adalah mungkin.
Dan ada banyak factor yang menyebabkan sarjana menganggur , antara lain :
1.        mereka tidak memiliki keterampilan yang memadai
2.       tidak menguasai bidang yang digelutinya
3.       tidak memiliki wawasan yang luas
4.       tidak mampu membaca peluang apalagi menciptakan pekerjaan
Nah , dari beberapa factor tesebut bisa kita simpulkan bahwa mereka semua ( sarjana ) tidak memiliki ilmu pengetahuan yang memadai pada saat menamatkan pendidikannya .
            Keadaan tersebut terjadi karena sejak awal memasuki perguruan tinggi mereka memiliki motivasi yang keliru yaitu kuliah dengan tujuan hanya sekedar untuk mendapatkan selembar ijazah atau gelar kesarjanaan bukan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Atau mereka tidak diberikan pembekalan bagaimana seharusnya studi di perguruan tinggi, karena perkuliahan hanyalah salah satu agenda yang harus dijalani tapi bukan satu-satunya. Untuk mencapai IPK yang bagus sebetulnya tidak terlalu sulit, asalkan rajin mempelajari modul atau pelajaran yang diberikan oleh dosen pasti nilainya akan bagus. Tapi di dunia nyata IPK hanya sebagian kecil saja untuk meraih tangga kesuksesan. Kadang-kadang IPK juga tidak identik dengan luasnya ilmu pengetahuan yang dimiliki atau keterampilan yang dikuasai.
Sebetulnya bekal kesuksesan yang sudah pasti adalah banyaknya ilmu serta luasnya wawasan seseorang dan salah satu cara termudah dan paling fundamental untuk memperolehnya adalah dengan rajin membaca. Sebenarnya yang menjadi pemicu terjadinya tragedi pendidikan dan bencana pengangguran adalah malas membaca . Diperparah lagi dengan tidak adanya rangsangan dan dorongan dari lingkungan perguruan tinggi yang dapat membangkitkan minat dan kebiasaan membaca baik untuk mahasiswa maupun dosennya.
Ada sebuah pepatah mengatakan buku adalah gudang ilmu dan membaca adalah kuncinya. “Kunci” inilah yang sekarang ini hilang dalam tradisi pendidikan kita sehingga banyak orang yang melarat dan kelaparan padahal ada di depan gudang. Sebenarnya semua permasalahan atau masalah pendidikan bisa diselesaikan dengan membaca. Karena membaca adalah esensi pendidikan. Secara ekstrim mungkin dapat dikatakan lebih baik tidak sekolah atau kuliah tapi memiliki kegemaran membaca yang tinggi, daripada menjadi orang kuliahan tapi tidak memiliki tradisi membaca yang baik. Sejarah telah memberikan bukti kepada kita bahwa banyak orang yang sukses walaupun bermasalah dalam sekolahnya, misalnya novelis Agatha Christie, ratu reality show dan ratu baca Oprah Wimfrey, ilmuwan Michael Faraday, ahli debat Ahmad Deedat, entrepreneur Microsoft Bill Gates, dll. Di tanah air pun kita mengenal budayawan yang hidup tanpa ijazah seperti Ajip Rosidi dan Emha Aiun Nadjib yang oleh teman-temannya sering dijuluki “perpustakaan berjalan”. Mereka semua sukses karena membaca bukan karena sekolahan.
Sekarang ini, tanpa dibarengi dengan tradisi membaca yang baik, institusi pendidikan tinggi tidak dapat dijadikan jaminan untuk menjadi orang sukses dikemudian hari. Malah boleh dikatakan bahwa institusi yang paling banyak memproduksi pengangguran adalah institusi pendidikan. Dalam sejarah belum pernah ditemukan ada orang yang banyak ilmu atau pandai tapi menganggur. Sebenarnya para pengangguran tamatan perguruan tinggi yang ada sekarang ini adalah mereka yang memiliki permasalahan dengan minat membacanya atau minat membacanya rendah. Padahal memiliki kegemaran membaca merupakan conditio sine quanon untuk menjadi seorang intelektual maupun orang sukses.
Solusi
Maka solusi untuk mengatasi permasalahan ini adalah dengan memberikan kepada mereka semua bekal ilmu pengetahuan yang banyak dengan cara rajin membaca. Sesungguhnya problematikan pendidikan dan pengangguran bisa diatasi dengan membaca. Namun di sini akan mucul pertanyaan lagi , mengapa mereka tidak mau membaca? Pertama, karena tidak ada sarana untuk membaca. Jawaban ini adalah jawaban klise tapi paling banyak dipakai. Bagaimana mau menumbuhkan minat baca apabila bahan bacaannya tidak ada. Dengan anggapan seperti ini maka baik pemerintah maupun masyarakat berusaha untuk membuat perpustakaan atau taman bacaan dimana-mana. Memang harus diakui sarana pendidikan yang paling diabaikan oleh sekolah adalah perpustakaan. Perpustakaan juga tidak dijadikan salah satu faktor atau indikator untuk penilaian akreditasi. Banyak lembaga pendidikan terutama sekolah yang mendaptkan akreditasi “A” tetapi tidak memiliki perpustakaan. Sampai saat ini banyak dinas pendidikan yang tidak memiliki data perpustakaan sekolah yang ada didaerahnya, sebuah indikator ketidakpedulian terhadap perpustakaan. Profesor Sulistyo Basuki mengatakan bawa baru sepuluh persen sekolah di Indoneisa yang memiliki sarana perpustakaan memadai. Dalam dunia pendidikan sudah disepakati bahwa perpustakaan merupakan jantung pendidikan. Bisa kita bayangkan apa yang terjadi apabila seseorang memiliki jantung yang sakit, bahkan bagaimana mungkin tubuh tidak memiliki jantung? Maka dapat dipastikan dunia pendidikan akan senantiasa bermasalah apabila tidak membenahi perpustakaannya.
 Kedua adalah dengan menumbuhkan kesadaran pentingnya membaca untuk memperbaiki kualitas hidup. Salah satu penyebab tidak mau membaca adalah karena tidak ada kesadaran pentingnya membaca dalam diri seseorang. Menyediakan sarana memang penting tetapi bukan satu-satunya cara untuk merangsang minat baca masyarakat. Pada zaman sekarang ini, apalagi yang hidup di perkotaan, sebenarnya tidak terlalu sulit untuk mendapatkan bahan bacaan. Tetapi tetap saja mereka enggan ke perpustakaan atau membeli buku alias tidak memiliki kebiasaan membaca. Perpustakaan yang sudah dibuat di perguruan tinggi kalah menarik dengan kantin-kantin yang tumbuh subur di sekitar kampus, taman bacaan masyarakat yang bertebaran dimana-mana tetap saja sepi pengunjung. Ini adalah sebuah indikator bahwa kesadaran membaca masyarakat belum tumbuh.
Menumbuhkan atau menanamkan kesadaran membaca sebenarnya tidak terlalu sulit dilakukan. Ibarat membangunkan seseorang yang sedang tidur kemudian tersadar kembali. Metode yang digunakannya pun sangat simpel yaitu dengan pelatihan selama sehari penuh. Dengan mempelajari tradisi membaca orang-orang besar atau orang-orang sukses baik tingkat dunia maupun nasional, pelatihan ini telah berhasil menumbuhkan kesadaran pentingnya membaca bagi mereka yang belum pernah datang ke perpustakaan sekalipun.
Nah untuk mahasiswa sendiri pelatihan menumbuhkan kesadaran pentingnya membaca bisa dilakukan pada saat menjalani perkuliahaannya, atau paling bagus adalah saat orientasi studi mahasiswa baru. Pelatihan ini bersifat andragogis atau diperuntukan bagi remaja dan orang dewasa. Mengingat budaya masyarakat yang selalu menginginkan semuanya dapat dilakukan serba cepat atau instant, metode ini merupakan metode yang sangat efektif, karena tidak memerlukan waktu lama dan dapat dilakukan secara massif.
Saya solusi yang paling jitu untuk menanggulangi pengangguran, juga dapat dijadikan program nasional untuk mensejahterakan rakyat Indonesia adalah beternak “kutu buku” secara massif dan simultan.



Perlunya Mata Kuliah Ilmu Sosial Dasar Bagi Calon Pendidik

Perlu kita ketahui terlebih dahulu apa itu Kompetensi social . Pakar psikologi pendidikan Gadner (1983) menyebut kompetensi sosial itu sebagai social intellegence atau kecerdasan sosial. Sedangkan kompetensi social adalah kemampuan seseorang berkomunikasi, bergaul, bekerja sama, dan memberi kepada orang lain. Kompetensi sosial ialah kemampuan seorang guru dan dosen untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, guru, orang tua, dan masyarakat sekitar.
Itulah kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh seorang pendidik yang diamanatkan oleh UU Guru dan Dosen, yang pada gilirannya harus dapat ditularkan kepada anak-anak didiknya.
Untuk mengembangkan kompetensi social seorang pendidik , ada 15 dimensi yang perlu kita ketahui , yaitu :
  • kerja tim,
  • melihat peluang,
  • peran dalam kegiatan kelompok,
  • tanggung jawab sebagai warga,
  • kepemimpinan,
  • relawan sosial,
  • kedewasaan dalam berelasi,
  • berbagi,
  • berempati,
  • kepedulian kepada sesama,
  • toleransi,
  • solusi konflik,
  • menerima perbedaan,
  • kerja sama,
  • komunikasi.
Kelima belas kecerdasansosial  ini dapat dijadikan topik silabus dalam pembelajaran dan pengembangan kompetensi sosial bagi calon pendidik. Oleh karena itu , topik-topik ini dapat dikembangkan menjadi materi ajar yang dikaitkan dengan kasus-kasus yang aktual dan relevan atau kontekstual dengan kehidupan masyarakat kita.
Cara mengemas kompetensi social ini harus memerhatikan karakteristik masing – masing , baik yang berkaitan dengan aspek psikologis maupun sistemnya .
Untuk para mahasiswa sendiri , khususnya calon guru, dapat dimasukkan ke dalam mata kuliah dasar, seperti ”ilmu sosial dasar” yang sejajar dengan mata kuliah ”ilmu budaya dasar” dan ”ilmu sains dasar” dengan perubahan paradigma. Kalau sebelumnya ilmu sosial dasar berorientasi kepada penyampaian pengetahuan, dalam paradigma baru ini perlu ditambah dan ditekankan pada penanaman nilai-nilai atau kearifan-kearifan sosial.
Harapan yang dapat dinantikan dari adanya ilmu social dasar sebagai mata kuliah adalah :
1.    Calon guru ketika sudah lulus kemudian terjun ke masyarakat dirinya mampu beradaptasi dengan lingkungan tempat bekerja dalam rangka meningkatkan efektivitas sebagai pendidik.
2.       Dapat melaksanakan berbagai program dalam lingkungan kerja untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas pendidikan di daerah yang bersangkutan.
Dari poin tersebut maksudnya yaitu seorang guru bersedia ditempatkan dan ditugaskan dimanapun dia berada. Selain itu, seorang guru diharapkan pula mampu beradaptasi dengan lingkungan tempat ia ditugaskan.
Pada kurikulum KTSP, dijelaskan bahwa kurikulum tersebut menekankan pada pengembangan kemampuan peserta didik, sehingga dengan adaptasi yang baik dari seorang guru dimana ia ditugaskan, guru tersebut mampu melihat pola interaksi yang dipakai atau diterapkan dalam lingkungan tersebut, sehingga guru mampu membuat suatu metode yang bersifat inklusif, sehingga anak didik itu mampu menyerap apa yang disampaikan oleh pendidik dengan baik. Karena metode ceramah lebih banyak diterapkan dalam proses belajar mengajar sehari-hari, guru mampu memposisikan diri dengan lingkungan tempat ia mengajar, sehingga tujuan dari proses belajar mengajar itu dapat berhasil dengan metode ceramah terebut.
Dengan penerapan kurikulum KTSP yang menekankan pada sasaran pembelajaran, sehingga guru dapat memilih materi-materi pembelajaran yang efektif dan berguna sesuai dengan kondisi lingkungan dimana ia mengajar.
Namun demikian, banyak guru yang ditugaskan di daerah-daerah terpencil atau pedalaman, merasa tidak betah karena sarana dan prasarana yang tidak memadai seperti dimana tempat ia tinggal sebelumnya. Padahal sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 16 Tahun 2007 mengenai kompetensi sosial pada poin diatas, seharusnya guru bersedia ditempatkan dimanapun dia berada. Guru diharuskan profesional dengan peraturan tersebut. Guru juga diharuskan memiliki kompetensi dalam hal adaptasi dengan lingkungan dimanapun di seluruh Indonesia yang memiliki keragaman sosial dan budaya yang berbeda dengan daerah asalnya.
Guru bukan hanya bertugas di kelas. Guru juga merupakan panutan dan teladan bagi lingkungan. Sehingga, guru diharuskan dapat berkomunikasi juga dengan lingkungan. Dengan hubungan sosial yang baik dengan lingkungannya, guru dapat bekerjasama dengan tokoh masyarakat guna melaksanakan berbagai program dalam lingkungan kerja di sekolahnya untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas pendidikan di daerah yang bersangkutan tersebut. Contohnya, jika guru perempuan dapat aktif di PKK daerah tersebut, maka guru juga dapat mengajarkan ilmu atau keterampilan yang dimilikinya guna diajarkan kepada masyarakat. Jika guru laki-laki, dapat berperan dalam pembinaan karag taruna atau pembinaan terhadap remaja masjid atau mushalla di daerah pedalaman atau terpencil tersebut. Jadi, selain dapat mencerdaskan peserta didiknya, guru juga dapat membina serta bersosialisasi dengan baik terhadap lingkungannya. Dengan demikian, guru dapat memberikan manfaat kepada lingkungan dimana ia ditugaskan serta dapat pula menjalankan tugasnya dengan baik. Apabila guru tersebut telah berdedikasi terhadap lingkungannya, maka guru yang tidak betah tersebut dapat beradaptasi dan bertahan di tempat ia ditugaskan. Maka dari itu , mata kuliah ilmu social dasar sangatlah penting bagi mahasiswa yang mengmbil jurusa keguruan dan ilmu pendidikan.

Bolehkah Seorang Muslim Mengucapkan Selamat Natal?

Sudah sering kita mendengar ucapan semacam ini menjelang perayaan Natal yang dilaksanakan oleh orang Nashrani. Mengenai dibolehkannya mengucapkan selamat natal ataukah tidak kepada orang Nashrani, sebagian kaum muslimin masih kabur mengenai hal ini. Sebagian di antara mereka dikaburkan oleh pemikiran sebagian orang yang dikatakan pintar (baca: cendekiawan), sehingga mereka menganggap bahwa mengucapkan selamat natal kepada orang Nashrani tidaklah mengapa (alias ‘boleh-boleh saja’). Bahkan sebagian orang pintar tadi mengatakan bahwa hal ini diperintahkan atau dianjurkan.???? Benarkah Demikian???????
Namun untuk mengetahui manakah yang benar, tentu saja kita harus merujuk pada Al Qur’an dan As Sunnah, juga pada ulama yang mumpuni, yang betul-betul memahami agama ini. Ajaran islam ini janganlah kita ambil dari sembarang orang, walaupun mungkin orang-orang yang diambil ilmunya tersebut dikatakan sebagai cendekiawan. Namun sayang seribu sayang, sumber orang-orang semacam ini kebanyakan merujuk pada perkataan orientalis barat yang ingin menghancurkan agama ini. Mereka berusaha mengutak-atik dalil atau perkataan para ulama yang sesuai dengan hawa nafsunya. Mereka bukan karena ingin mencari kebenaran dari Allah dan Rasul-Nya, namun sekedar mengikuti hawa nafsu. Jika sesuai dengan pikiran mereka yang sudah terkotori dengan paham orientalis, barulah mereka ambil. Namun jika tidak bersesuaian dengan hawa nafsu mereka, mereka akan tolak mentah-mentah. Ya Allah, tunjukilah kami kepada kebenaran dari berbagai jalan yang diperselisihkan –dengan izin-Mu-
Semoga dengan berbagai fatwa dari ulama yang mumpuni, kita mendapat titik terang mengenai permasalahan ini.

Fatwa Pertama: Mengucapkan Selamat Natal dan Merayakan Natal Bersama
Berikut adalah fatwa ulama besar Saudi Arabia, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin rahimahullah, dari kumpulan risalah (tulisan) dan fatwa beliau (Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibnu ‘Utsaimin), 3/28-29, no. 404.
Beliau rahimahullah pernah ditanya,
“Apa hukum mengucapkan selamat natal (Merry Christmas) pada orang kafir (Nashrani) dan bagaimana membalas ucapan mereka? Bolehkah kami menghadiri acara perayaan mereka (perayaan Natal)? Apakah seseorang berdosa jika dia melakukan hal-hal yang dimaksudkan tadi, tanpa maksud apa-apa? Orang tersebut melakukannya karena ingin bersikap ramah, karena malu, karena kondisi tertekan, atau karena berbagai alasan lainnya. Bolehkah kita tasyabbuh (menyerupai) mereka dalam perayaan ini?”
Beliau rahimahullah menjawab:
Memberi ucapan Selamat Natal atau mengucapkan selamat dalam hari raya mereka (dalam agama) yang lainnya pada orang kafir adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan kesepakatan para ulama (baca: ijma’ kaum muslimin), sebagaimana hal ini dikemukakan oleh Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam kitabnya Ahkamu Ahlidz Dzimmah. Beliau rahimahullah mengatakan, “Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin. Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya. Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya. Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut. Orang-orang semacam ini tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia pantas mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.” –Demikian perkataan Ibnul Qoyyim rahimahullah-
Dari penjelasan di atas, maka dapat kita tangkap bahwa mengucapkan selamat pada hari raya orang kafir adalah sesuatu yang diharamkan. Alasannya, ketika mengucapkan seperti ini berarti seseorang itu setuju dan ridho dengan syiar kekufuran yang mereka perbuat. Meskipun mungkin seseorang tidak ridho dengan kekufuran itu sendiri, namun tetap tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk ridho terhadap syiar kekufuran atau memberi ucapan selamat pada syiar kekafiran lainnya karena Allah Ta’ala sendiri tidaklah meridhoi hal tersebut. Allah Ta’ala berfirman,
إِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ وَلَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ
“Jika kamu kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu.” (Qs. Az Zumar [39]: 7)
Allah Ta’ala juga berfirman,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Qs. Al Maidah [5]: 3)

***
Artikel www.muslim.or.id

Rabu, 22 Desember 2010

Saatnya Meninggalkan Musik

Siapa saja yang hidup di akhir zaman, tidak lepas dari lantunan suara musik atau nyanyian. Bahkan mungkin di antara kita –dulunya- adalah orang-orang yang sangat gandrung terhadap lantunan suara seperti itu. Bahkan mendengar lantunan tersebut juga sudah menjadi sarapan tiap harinya. Itulah yang juga terjadi pada sosok si fulan. Hidupnya dulu tidaklah bisa lepas dari gitar dan musik. Namun, sekarang hidupnya jauh berbeda. Setelah Allah mengenalkannya dengan Al haq (penerang dari Al Qur’an dan As Sunnah), dia pun perlahan-lahan menjauhi berbagai nyanyian. Alhamdulillah, dia pun mendapatkan ganti yang lebih baik yaitu dengan kalamullah (Al Qur’an) yang semakin membuat dirinya  mencintai dan merindukan perjumpaan dengan Rabbnya.
Lalu, apa yang menyebabkan hatinya bisa berpaling kepada kalamullah dan meninggalkan nyanyian? Tentu saja, karena taufik Allah kemudian siraman ilmu. Dengan ilmu syar’i yang dia dapati, hatinya mulai tergerak dan mulai sadarkan diri. Dengan mengetahui dalil Al Qur’an dan Hadits yang membicarakan bahaya lantunan yang melalaikan, dia pun mulai meninggalkannya perlahan-lahan. Juga dengan bimbingan perkataan para ulama, dia semakin jelas dengan hukum keharamannya.
Alangkah baiknya jika kita melihat dalil-dalil yang dimaksudkan, beserta perkataan para ulama masa silam mengenai hukum nyanyian karena mungkin di antara kita ada yang masih gandrung dengannya. Maka, dengan ditulisnya risalah ini, semoga Allah membuka hati kita dan memberi hidayah kepada kita seperti yang didapatkan si fulan tadi. Allahumma a’in wa yassir (Ya Allah, tolonglah dan mudahkanlah).
Beberapa Ayat Al Qur’an yang Membicarakan “Nyanyian”
Pertama: Nyanyian dikatakan sebagai “lahwal hadits” (perkataan yang tidak berguna)
Allah Ta’ala berfirman,
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ وَإِذَا تُتْلَى عَلَيْهِ آيَاتُنَا وَلَّى مُسْتَكْبِرًا كَأَنْ لَمْ يَسْمَعْهَا كَأَنَّ فِي أُذُنَيْهِ وَقْرًا فَبَشِّرْهُ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum mendengarnya, seakan-akan ada sumbat di kedua telinganya; maka beri kabar gembiralah padanya dengan azab yang pedih.” (QS. Luqman: 6-7)
Ibnu Jarir Ath Thabariy -rahimahullah- dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa para pakar tafsir berselisih pendapat apa yang dimaksud dengan لَهْوَ الْحَدِيثِlahwal hadits” dalam ayat tersebut. Sebagian mereka mengatakan bahwa yang dimaksudkan adalah nyanyian dan mendengarkannya. Lalu setelah itu Ibnu Jarir menyebutkan beberapa perkataan ulama salaf mengenai tafsir ayat tersebut. Di antaranya adalah dari Abu Ash Shobaa’ Al Bakrirahimahullah-. Beliau mengatakan bahwa dia mendengar Ibnu Mas’ud ditanya mengenai tafsir ayat tersebut, lantas beliau –radhiyallahu ‘anhu- berkata,
الغِنَاءُ، وَالَّذِي لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ، يُرَدِّدُهَا ثَلاَث َمَرَّاتٍ.
Yang dimaksud adalah nyanyian, demi Dzat yang tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak diibadahi selain Dia.” Beliau menyebutkan makna tersebut sebanyak tiga kali.
Penafsiran senada disampaikan oleh Mujahid, Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah, dan Qotadah. Dari Ibnu Abi Najih, Mujahid berkata bahwa yang dimaksud lahwu hadits adalah bedug (genderang).
Asy Syaukani dalam kitab tafsirnya mengatakan, “Lahwal hadits adalah segala sesuatu yang melalaikan seseorang dari berbuat baik. Hal itu bisa berupa nyanyian, permainan, cerita-cerita bohong dan setiap kemungkaran.” Lalu, Asy Syaukani menukil perkataan Al Qurtubhi yang mengatakan bahwa tafsiran yang paling bagus untuk makna lahwal hadits adalah nyanyian. Inilah pendapat para sahabat dan tabi’in
Jika ada yang mengatakan, “Penjelasan tadi kan hanya penafsiran sahabat, bagaimana mungkin bisa jadi hujjah (dalil)?”
Maka, cukup kami katakan bahwa tafsiran sahabat terhadap suatu ayat bisa menjadi hujjah, bahkan bisa dianggap sama dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (derajat marfu’). Simaklah perkataan Ibnul Qayyim setelah menjelaskan penafsiran mengenai “lahwal hadits” di atas sebagai berikut,
Al Hakim Abu ‘Abdillah dalam kitab tafsirnya di Al Mustadrok mengatakan bahwa seharusnya setiap orang yang haus terhadap ilmu mengetahui bahwa tafsiran sahabat –yang mereka ini menyaksikan turunnya wahyu- menurut Bukhari dan Muslim dianggap sebagai perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di tempat lainnya, beliau mengatakan bahwa menurutnya, penafsiran sahabat tentang suatu ayat sama statusnya dengan hadits marfu’ (yang sampai pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).” Lalu, Ibnul Qayyim mengatakan, “Walaupun itu adalah penafsiran sahabat, tetap penafsiran mereka lebih didahulukan daripada penafsiran orang-orang sesudahnya. Alasannya, mereka adalah umat yang paling mengerti tentang maksud dari ayat yang diturunkan oleh Allah karena Al Qur’an turun di masa mereka hidup”.
Jadi, jelaslah bahwa pemaknaan لَهْوَ الْحَدِيثِ /lahwal hadits/ dengan nyanyian patut kita terima karena ini adalah perkataan sahabat yang statusnya bisa sama dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua: Orang-orang yang bernyanyi disebut “saamiduun
Allah Ta’ala berfirman,
أَفَمِنْ هَذَا الْحَدِيثِ تَعْجَبُونَ  , وَتَضْحَكُونَ وَلا تَبْكُونَ , وَأَنْتُمْ سَامِدُونَ , فَاسْجُدُوا لِلَّهِ وَاعْبُدُوا
Maka, apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis? Sedang kamu saamiduun? Maka, bersujudlah kepada Allah dan sembahlah (Dia). (QS. An Najm: 59-62)
Apa yang dimaksud سَامِدُونَ /saamiduun/?
Menurut salah satu pendapat, makna saamiduun adalah bernyanyi dan ini berasal dari bahasa orang Yaman. Mereka biasa menyebut “ismud lanaa” dan maksudnya adalah: “Bernyanyilah untuk kami”. Pendapat ini diriwayatkan dari ‘Ikrimah dan Ibnu ‘Abbas.
‘Ikrimah mengatakan, “Mereka biasa mendengarkan Al Qur’an, namun mereka malah bernyanyi. Kemudian turunlah ayat ini (surat An Najm di atas).”
Jadi, dalam dua ayat ini teranglah bahwa mendengarkan “nyanyian” adalah suatu yang dicela dalam Al Qur’an.
Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Mengenai Nyanyian
Hadits Pertama
Bukhari membawakan dalam Bab “Siapa yang menghalalkan khomr dengan selain namanya” sebuah riwayat dari Abu ‘Amir atau Abu Malik Al Asy’ari telah menceritakan bahwa dia tidak berdusta, lalu dia menyampaikan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِى أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ ، وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَى جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ ، يَأْتِيهِمْ – يَعْنِى الْفَقِيرَ – لِحَاجَةٍ فَيَقُولُوا ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا . فَيُبَيِّتُهُمُ اللَّهُ وَيَضَعُ الْعَلَمَ ، وَيَمْسَخُ آخَرِينَ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Sungguh, benar-benar akan ada di kalangan umatku sekelompok orang yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat musik. Dan beberapa kelompok orang akan singgah di lereng gunung dengan binatang ternak mereka. Seorang yang fakir mendatangi mereka untuk suatu keperluan, lalu mereka berkata, ‘Kembalilah kepada kami esok hari.’ Kemudian Allah mendatangkan siksaan kepada mereka dan menimpakan gunung kepada mereka serta Allah mengubah sebagian mereka menjadi kera dan babi hingga hari kiamat.” Jika dikatakan menghalalkan musik, berarti musik itu haram.
Hadits di atas dinilai shahih oleh banyak ulama, di antaranya adalah: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al Istiqomah (1/294) dan Ibnul Qayyim dalam Ighatsatul Lahfan (1/259). Penilaian senada disampaikan An Nawawi, Ibnu Rajab Al Hambali, Ibnu Hajar dan Asy Syaukanirahimahumullah-.
Memang, ada sebagian ulama semacam Ibnu Hazm dan orang-orang yang mengikuti pendapat beliau sesudahnya seperti Al Ghozali yang menyatakan bahwa hadits di atas memiliki cacat sehingga mereka pun menghalalkan musik. Alasannya, mereka mengatakan bahwa sanad hadits ini munqothi’ (terputus) karena Al Bukhari tidak memaushulkan sanadnya (menyambungkan sanadnya). Untuk menyanggah hal ini, kami akan kemukakan 5 sanggahan sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah:
Pertama, Al Bukhari betul bertemu dengan Hisyam bin ‘Ammar dan beliau betul mendengar langsung darinya. Jadi, jika Al Bukhari mengatakan bahwa Hisyam berkata, itu sama saja dengan perkataan Al Bukhari langsung dari Hisyam.
Kedua, jika Al Bukhari belum pernah mendengar hadits itu dari Hisyam, tentu Al Bukhari tidak akan mengatakan dengan lafazh jazm (tegas). Jika beliau mengatakan dengan lafazh jazm, sudah pasti beliau mendengarnya langsung dari Hisyam. Inilah yang paling mungkin, karena sangat banyak orang  yang meriwayatkan (hadits) dari Hisyam. Hisyam adalah guru yang sudah sangat masyhur. Adapun Al Bukhari adalah hamba yang sangat tidak mungkin melakukan tadlis (kecurangan dalam periwayatan).
Ketiga, Al Bukhari memasukkan hadits ini dalam kitabnya yang disebut dengan kitab shahih, yang tentu saja hal ini bisa dijadikan hujjah (dalil). Seandainya hadits tersebut tidaklah shahih menurut Al Bukhari, lalu mengapa beliau memasukkan hadits tersebut dalam kitab shahih?
Keempat, Al Bukhari membawakan hadits ini secara mu’allaq (di bagian awal sanad ada yang terputus). Namun, di sini beliau menggunakan lafazh jazm (pasti, seperti dengan kata qoola yang artinya dia berkata) dan bukan tamridh (seperti dengan kata yurwa atau yudzkaru, yang artinya telah diriwayatkan atau telah disebutkan). Jadi, jika Al Bukhari mengatakan, “Qoola: qoola Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam [dia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ...]”, maka itu sama saja beliau mengatakan hadits tersebut disandarkan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kelima, seandainya berbagai alasan di atas kita buang, hadits ini tetaplah shahih dan bersambung karena dilihat dari jalur lainnya, sebagaimana akan dilihat pada hadits berikutnya.
Hadits Kedua
Dari Abu Malik Al Asy’ari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيَشْرَبَنَّ نَاسٌ مِنْ أُمَّتِى الْخَمْرَ يُسَمُّونَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا يُعْزَفُ عَلَى رُءُوسِهِمْ بِالْمَعَازِفِ وَالْمُغَنِّيَاتِ يَخْسِفُ اللَّهُ بِهِمُ الأَرْضَ وَيَجْعَلُ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِيرَ
Sungguh, akan ada orang-orang dari umatku yang meminum khamr, mereka menamakannya dengan selain namanya. Mereka dihibur dengan musik dan alunan suara biduanita. Allah akan membenamkan mereka ke dalam bumi dan Dia akan mengubah bentuk mereka menjadi kera dan babi.
Hadits Ketiga
Dari Nafi’ –bekas budak Ibnu ‘Umar-, beliau berkata,
عُمَرَ سَمِعَ ابْنُ عُمَرَ صَوْتَ زَمَّارَةِ رَاعٍ فَوَضَعَ إِصْبَعَيْهِ فِى أُذُنَيْهِ وَعَدَلَ رَاحِلَتَهُ عَنِ الطَّرِيقِ وَهُوَ يَقُولُ يَا نَافِعُ أَتَسْمَعُ فَأَقُولُ نَعَمْ. قَالَ فَيَمْضِى حَتَّى قُلْتُ لاَ. قَالَ فَوَضَعَ يَدَيْهِ وَأَعَادَ الرَّاحِلَةَ إِلَى الطَّرِيقِ وَقَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَسَمِعَ صَوْتَ زَمَّارَةِ رَاعٍ فَصَنَعَ مِثْلَ هَذَا
Ibnu ‘Umar pernah mendengar suara seruling dari seorang pengembala, lalu beliau menyumbat kedua telinganya dengan kedua jarinya. Kemudian beliau pindah ke jalan yang lain. Lalu Ibnu ‘Umar berkata, “Wahai Nafi’, apakah kamu masih mendengar suara tadi?” Aku (Nafi’) berkata, “Iya, aku masih mendengarnya.”
Kemudian, Ibnu ‘Umar terus berjalan. Lalu, aku berkata, “Aku tidak mendengarnya lagi.”
Barulah setelah itu Ibnu ‘Umar melepaskan tangannya dari telinganya dan kembali ke jalan itu lalu berkata, “Beginilah aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mendengar suara seruling dari seorang pengembala. Beliau melakukannya seperti tadi.”
Keterangan Hadits
Dari dua hadits pertama, dijelaskan mengenai keadaan umat Islam nanti yang akan menghalalkan musik,berarti sebenarnya musik itu haram kemudian ada yang menganggap halal. Begitu pula pada hadits ketiga yang menceritakan kisah Ibnu ‘Umar bersama Nafi’. Ibnu ‘Umar mencontohkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal yang sama dengannya yaitu menjauhkan manusia dari mendengar musik. Hal ini menunjukkan bahwa musik itu jelas-jelas terlarang.
Jika ada yang mengatakan bahwa sebenarnya yang dilakukan Ibnu ‘Umar tadi hanya menunjukkan bahwa itu adalah cara terbaik dalam mengalihkan manusia dari mendengar suara nyanyian atau alat musik, namun tidak sampai menunjukkan keharamannya, jawabannya adalah sebagaimana yang dikatakan Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni (julukan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah) rahimahullah berikut ini,
اللَّهُمَّ إلَّا أَنْ يَكُونَ فِي سَمَاعِهِ ضَرَرٌ دِينِيٌّ لَا يَنْدَفِعُ إلَّا بِالسَّدِّ
“Demi Allah, bahkan mendengarkan nyanyian (atau alat musik) adalah bahaya yang mengerikan pada agama seseorang, tidak ada cara lain selain dengan menutup jalan agar tidak mendengarnya.”
Kalam Para Ulama Salaf Mengenai Nyanyian (Musik)
Ibnu Mas’ud mengatakan, “Nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati sebagaimana air menumbuhkan sayuran.
Al Qasim bin Muhammad pernah ditanya tentang nyanyian, lalu beliau menjawab, “Aku melarang nyanyian padamu dan aku membenci jika engkau mendengarnya.” Lalu orang yang bertanya tadi mengatakan, “Apakah nyanyian itu haram?”  Al Qasim pun mengatakan,”Wahai anak saudaraku, jika Allah telah memisahkan yang benar dan yang keliru, lantas pada posisi mana Allah meletakkan ‘nyanyian’?
‘Umar bin ‘Abdul Aziz pernah menulis surat kepada guru yang mengajarkan anaknya, isinya adalah, ”Hendaklah yang pertama kali diyakini oleh anak-anakku dari budi pekertimu adalah kebencianmu pada nyanyian. Karena nyanyian itu berasal dari setan dan ujung akhirnya adalah murka Allah. Aku mengetahui dari para ulama yang terpercaya bahwa mendengarkan nyanyian dan alat musik serta gandrung padanya hanya akan menumbuhkan kemunafikan dalam hati sebagaimana air menumbuhkan rerumputan. Demi Allah, menjaga diri dengan meninggalkan nyanyian sebenarnya lebih mudah bagi orang yang memiliki kecerdasan daripada bercokolnya kemunafikan dalam hati.”
Fudhail bin Iyadh mengatakan, “Nyanyian adalah mantera-mantera zina.
Adh Dhohak mengatakan, “Nyanyian itu akan merusak hati dan akan mendatangkan kemurkaan Allah.
Yazid bin Al Walid mengatakan, “Wahai anakku, hati-hatilah kalian dari mendengar nyanyian karena nyanyian itu hanya akan mengobarkan hawa nafsu, menurunkan harga diri, bahkan nyanyian itu bisa menggantikan minuman keras yang bisa membuatmu mabuk kepayang. … Ketahuilah, nyanyian itu adalah pendorong seseorang untuk berbuat zina.”
Empat Ulama Madzhab Mencela Nyanyian
  1. Imam Abu Hanifah. Beliau membenci nyanyian dan menganggap mendengarnya sebagai suatu perbuatan dosa.
  2. Imam Malik bin Anas. Beliau berkata, “Barangsiapa membeli budak lalu ternyata budak tersebut adalah seorang biduanita (penyanyi), maka hendaklah dia kembalikan budak tadi karena terdapat ‘aib.”
  3. Imam Asy Syafi’i. Beliau berkata, “Nyanyian adalah suatu hal yang sia-sia yang tidak kusukai karena nyanyian itu adalah seperti kebatilan. Siapa saja yang sudah kecanduan mendengarkan nyanyian, maka persaksiannya tertolak.
  4. Imam Ahmad bin Hambal. Beliau berkata, “Nyanyian itu menumbuhkan kemunafikan dalam hati dan aku pun tidak menyukainya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Tidak ada satu pun dari empat ulama madzhab yang berselisih pendapat mengenai haramnya alat musik.”
Bila Engkau Sudah Tersibukkan dengan Nyanyian dan Nasyid
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memberikan pelajaran yang sangat berharga. Beliau mengatakan,
“Seorang hamba jika sebagian waktunya telah tersibukkan dengan amalan yang tidak disyari’atkan, dia pasti akan kurang bersemangat dalam melakukan hal-hal yang disyari’atkan dan bermanfaat. Hal ini jauh berbeda dengan orang yang mencurahkan usahanya untuk melakukan hal yang disyari’atkan. Pasti orang ini akan semakin cinta dan semakin mendapatkan manfaat dengan melakukan amalan tersebut, agama dan islamnya pun akan semakin sempurna.”
Lalu, Syaikhul  Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, ”Oleh karena itu, banyak sekali orang yang terbuai dengan nyanyian (atau syair-syair) yang tujuan semula adalah untuk menata hati. Maka, pasti karena maksudnya, dia akan semakin berkurang semangatnya dalam menyimak Al Qur’an. Bahkan sampai-sampai dia pun membenci untuk mendengarnya.”
Jadi, perkataan Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni (yang dijuluki Syaikhul Islam) memang betul-betul terjadi pada orang-orang yang sudah begitu gandrung dengan nyanyian, gitar dan bahkan dengan nyanyian “Islami” (yang disebut nasyid). Tujuan mereka mungkin adalah untuk menata hati. Namun, sayang seribu sayang, jalan yang ditempuh adalah jalan yang keliru karena hati mestilah ditata dengan hal-hal yang masyru’ (disyariatkan) dan bukan dengan hal-hal yang tidak masyru’, yang membuat kita sibuk dan lalai dari kalam Robbul ‘alamin yaitu Al Qur’an.
Tentang nasyid yang dikenal di kalangan sufiyah dan bait-bait sya’ir, Syaikhul Islam mengatakan,
“Oleh karena itu, kita dapati pada orang-orang yang kesehariannya dan santapannya tidak bisa lepas dari nyanyian, mereka pasti tidak akan begitu merindukan lantunan suara Al Qur’an. Mereka pun tidak begitu senang ketika mendengarnya. Mereka tidak akan merasakan kenikmatan tatkala  mendengar Al Qur’an dibanding dengan mendengar bait-bait sya’ir (nasyid). Bahkan ketika mereka mendengar Al Qur’an, hatinya pun menjadi lalai, begitu pula dengan lisannya akan sering keliru.”
Adapun melatunkan bait-bait syair (alias nasyid) asalnya dibolehkan, namun tidak berlaku secara mutlak. Melatunkan bait syair (nasyid) yang dibolehkan apabila memenuhi beberapa syarat berikut:
  1. Bukan lantunan yang mendayu-dayu sebagaimana yang diperagakan oleh para wanita.
  2. Nasyid tersebut tidak sampai melalaikan dari mendengar Al Qur’an.
  3. Nasyid tersebut terlepas dari nada-nada yang dapat membuat orang yang mendengarnya menari dan berdansa.
  4. Tidak diiringi alat musik.
  5. Maksud mendengarkannya bukan mendengarkan nyanyian dan nadanya, namun tujuannya adalah untuk mendengar nasyid (bait syair).
  6. Diperbolehkan bagi wanita untuk memukul rebana pada acara-acara yang penuh kegembiraan dan masyru’ (disyariatkan) saja.
  7. Maksud nasyid ini adalah untuk memberi dorongan semangat ketika keletihan atau ketika berjihad.
  8. Tidak sampai melalaikan dari yang wajib atau melarang dari kewajiban.
Penutup
Kami hanya ingin mengingatkan bahwa pengganti nyanyian dan musik adalah Al Qur’an. Dengan membaca, merenungi, dan mendengarkan lantunan Al-Qur’anlah hati kita akan hidup dan tertata karena inilah yang disyari’atkan.
Ingatlah bahwa Al Qur’an dan musik sama sekali tidak bisa bersatu dalam satu hati. Kita bisa memperhatikan perkataan murid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yaitu Ibnul Qayyim rahimahullah. Beliau mengatakan, “Sungguh nyanyian dapat memalingkan hati seseorang dari memahami, merenungkan dan mengamalkan isi Al Qur’an. Ingatlah, Al Qur’an dan nyanyian selamanya tidaklah mungkin bersatu dalam satu hati karena keduanya itu saling bertolak belakang. Al Quran melarang kita untuk mengikuti hawa nafsu, Al Qur’an memerintahkan kita untuk menjaga kehormatan diri dan menjauhi berbagai bentuk syahwat yang menggoda jiwa. Al Qur’an memerintahkan untuk menjauhi sebab-sebab seseorang melenceng dari kebenaran dan melarang mengikuti langkah-langkah setan. Sedangkan nyanyian memerintahkan pada hal-hal yang kontra (berlawanan) dengan hal-hal tadi.”
Dari sini, pantaskah Al Qur’an ditinggalkan hanya karena terbuai dengan nyanyian? Ingatlah, jika seseorang meninggalkan musik dan nyanyian, pasti Allah akan memberi ganti dengan yang lebih baik.
إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئاً لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ بَدَّلَكَ اللَّهُ بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ مِنْهُ
Sesungguhnya jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan memberi ganti padamu dengan sesuatu yang lebih baik.”
Tatkala Allah memerintahkan pada sesuatu dan melarang dari sesuatu pasti ada maslahat dan manfaat di balik itu semua. Sibukkanlah diri dengan mengkaji ilmu dan mentadaburri Al Quran, niscaya perlahan-lahan perkara yang tidak manfaat semacam nyanyian akan ditinggalkan. Semoga Allah membuka hati dan memberi hidayah bagi setiap orang yang membaca risalah ini.
Washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in. Walhamdulillahi robbil ‘alamin.


_________________

Minggu, 19 Desember 2010

Yasinan: Bid’ah yang Dianggap Sunnah

“Ayo pak kita yasinan di rumahnya pak RT!”

Kegiatan yang sudah menjadi tradisi di masyarakat kita ini biasanya diisi dengan membaca surat Yasin secara bersama-sama. Mereka bermaksud mengirim pahala bacaan tersebut kepada si mayit untuk meringankan penderitaannya. Timbang-timbang, daripada berkumpul untuk bermain catur, kartu apalagi berjudi, kan lebih baik digunakan untuk membaca Al-Qur’an (khususnya surat Yasin).

Memang sepintas jika dipertimbangkan menurut akal pernyataan itu benar namun kalau dicermati lagi ternyata ini merupakan kekeliruan.

Al-Qur’an untuk Orang Hidup
Al-Qur’an diturunkan Alloh Ta’ala kepada Nabi Muhammad shollallohu’alaihi wa sallam sebagai petunjuk, rahmat, cahaya, kabar gembira dan peringatan.
Maka kewajiban orang-orang yang beriman untuk membacanya, merenungkannya, memahaminya, mengimaninya, mengamalkan dan berhukum dengannya. Hikmah ini tidak akan diperoleh seseorang yang sudah mati. Bahkan mendengar saja mereka tidak mampu. “Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang mati itu mendengar.” (Terjemah An-Nahl: 80). Alloh Ta’ala juga berfirman di dalam surat Yasin tentang hikmah tersebut yang artinya,

“Al Qur’an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan supaya dia memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup.” (Yasin: 69-70). Alloh berfirman yang artinya, “Sesungguhnya seseorang itu tidak akan menanggung dosa seseorang yang lain dan bahwasanya manusia tidak akan memperolehi ganjaran melainkan apa yang telah ia kerjakan.” (An-Najm: 38-39).

 Berkata Al-Hafizh Imam Ibnu Katsir rohimahulloh: “Melalui ayat yang mulia ini, Imam Syafi’i rohimahulloh dan para pengikutnya menetapkan bahwa pahala bacaan (Al-Qur’an) dan hadiah pahala tidak sampai kepada orang yang mati, karena bacaan tersebut bukan dari amal mereka dan bukan usaha mereka.

Oleh karena itu Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memerintahkan umatnya, mendesak mereka untuk melakukan perkara tersebut dan tidak pula menunjuk hal tersebut (menghadiahkan bacaan kepada orang yang mati) walaupun hanya dengan sebuah dalil pun.”

Adapun dalil-dalil yang menunjukkan keutamaan surat Yasin jika dibaca secara khusus tidak dapat dijadikan hujjah. Membaca surat Yasin pada malam tertentu, saat menjelang atau sesudah kematian seseorang tidak pernah dituntunkan oleh syari’at Islam. Bahkan seluruh hadits yang menyebutkan tentang keutamaan membaca Yasin tidak ada yang sahih sebagaimana ditegaskan oleh Al Imam Ad Daruquthni.

Islam telah menunjukkan hal yang dapat dilakukan oleh mereka yang telah ditinggal mati oleh teman, kerabat atau keluarganya yaitu dengan mendo’akannya agar segala dosa mereka diampuni dan ditempatkan di surga Alloh subhanahu wa ta’ala. Sedangkan jika yang meninggal adalah orang tua, maka termasuk amal yang tidak terputus dari orang tua adalah do’a anak yang sholih karena anak termasuk hasil usaha seseorang semasa di dunia.

Biar Sederhana yang Penting Ada Tuntunannya

Jadi, tidak perlu repot-repot mengadakan kenduri, yasinan dan perbuatan lainnya yang tidak ada tuntunannya dari Rosululloh shollallohu’alaihi wa sallam. Bahkan apabila dikaitkan dengan waktu malam Jum’at, maka ada larangan khusus dari Rosululloh shollalohu’alaihi wa sallam yakni seperti yang termaktub dalam sabdanya,

“Dari Abu Hurairah, dari Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam: Janganlah kamu khususkan malam Jum’at untuk melakukan ibadah yang tidak dilakukan pada malam-malam yang lain.” (HR. Muslim).

Bukankah lebih baik beribadah sedikit namun ada dalilnya dan istiqomah mengerjakannya dibanding banyak beribadah tapi sia-sia? Rosululloh shollallohu’alaihi wa sallam bersabda,

“Barangsiapa yang beramal yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka ia tertolak.” (HR. Muslim).

Semoga Alloh subhanahu wa ta’ala melindungi kita semua dari hal-hal yang menjerumuskan kita ke dalam kebinasaan.

Wallohu a’lam bishshowab.



***
Artikel www.muslim.or.id

Rabu, 15 Desember 2010

Jalani Hidupmu Seperti Yang Diperintahkan Rabbmu

Hidup Bukan Sebuah Kesia-siaan

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apakah kalian mengira bahwasanya Kami menciptakan kalian dengan sia-sia dan kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami? Maha tinggi Allah Raja Yang Maha benar. Tiada sesembahan -yang benar- kecuali Dia, Rabb Yang memiliki Arsy yang mulia.” (QS. al-Mu’minun: 115-116). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Kami menciptakan langit dan bumi serta segala sesuatu yang ada di antara keduanya ini untuk kesia-siaan. Itu adalah persangkaan orang-orang kafir saja, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk ke dalam neraka.” (QS. Shaad: 27)


Untuk Apa Kita Hidup?
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat: 56). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah;  Sesungguhnya sholat dan sembelihanku, hidup dan matiku, adalah untuk Allah Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya, dengan itulah aku diperintahkan, dan aku termasuk orang yang pertama-tama pasrah.” (QS. al-An’am: 162-163). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian, siapakah di antara kalian yang terbaik amalnya.” (QS. al-Mulk: 2). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah mereka diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya, dalam keadaan mentauhidkan-Nya, agar mereka mendirikan sholat, menunaikan zakat, dan itulah agama yang lurus.” (QS. al-Bayyinah: 5)
Apa Balasan Bagi Orang Yang Taat Beribadah?

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya sungguh dia akan meraih keberuntungan yang sangat besar.” (QS. al-Ahzab: 71). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang beramal salih dari kalangan lelaki ataupun perempuan sedangkan dia beriman, niscaya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan akan Kami sempurnakan balasan untuk mereka dengan sesuatu yang lebih baik daripada apa yang telah mereka lakukan.” (QS. an-Nahl: 97). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal salih, mereka itulah sebaik-baik makhluk. Balasan bagi mereka adalah surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya. Allah ridha kepada mereka, dan mereka pun ridha kepada-Nya. Itulah balasan bagi orang-orang yang takut kepada Rabbnya.” (QS. al-Bayyinah: 7-8)
Apakah Kita Wajib Beragama Islam?

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya agama yang sah di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran: 19). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai agama, maka tidak akan diterima darinya, dan kelak di akherat dia pasti menjadi termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Ali Imran: 85). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Tuhan yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah seorang pun di antara umat ini yang mendengar kenabianku, entah beragama Yahudi atau Nasrani lalu dia meninggal dalam keadaan tidak mau beriman terhadap ajaranku, niscaya dia termasuk golongan penghuni neraka.” (HR. Muslim). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS. Ali Imran: 102). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberikan al-Kitab (Yahudi dan Nasrani) dan kaum yang ummi/buta huruf (yaitu orang-orang musyrik); ‘Apakah kalian mau masuk Islam?’. Apabila mereka masuk Islam, sungguh mereka mendapatkan petunjuk, dan apabila mereka justru berpaling, maka sesungguhnya kewajibanmu hanyalah menyampaikan. Allah Maha melihat semua hamba.” (QS. Ali Imran: 20).
Bagaimana Beribadah Kepada Allah?

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaknya dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (QS. al-Kahfi: 110). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (QS. an-Nisaa’: 36). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Rabb kalian berfirman; Berdoalah kalian kepada-Ku niscaya Aku kabulkan. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku pasti akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina.” (QS. al-Mukmin: 16). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Di antara manusia ada yang mengangkat selain Allah sebagai sekutu-sekutu, mereka mencintainya sebagaimana cintanya kepada Allah. Adapun orang-orang yang beriman lebih dalam cintanya kepada Allah.” (QS. al-Baqarah: 165).
Bolehkah Kita Berdoa Kepada Selain Allah?
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah, maka janganlah kalian berdoa kepada sesuatu yang lain bersama Allah siapapun juga.” (QS. al-Jin: 18). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang berdoa kepada suatu sesembahan yang lain bersama Allah yang jelas tidak ada keterangan atasnya maka sesungguhnya perhitungan atasnya ada di sisi Rabbnya. Sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak memperoleh keberuntungan.” (QS. al-Mukminun: 117). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Intisari ibadah itu adalah doa.” (HR. Tirmidzi dan lain-lain). Karena doa adalah ibadah maka tidak boleh ditujukan kepada selain Allah. Barangsiapa menujukan ibadah kepada selain Allah maka dia telah melakukan dosa syirik dan kekafiran, yang pelakunya diancam kekal di dalam neraka, na’udzu billahi min dzalik!
Apa Akibat Dosa Syirik?
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya, dan masih akan mengampuni dosa-dosa yang lain di bawahnya bagi orang-orang yang dikehendaki-Nya.” (QS. an-Nisaa’: 48). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka Allah haramkan atasnya surga dan tempat kembalinya kelak adalah neraka, dan sama sekali tidak ada seorang penolongpun bagi orang-orang yang zalim itu.” (QS. al-Ma’idah: 72). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang kafir yaitu dari kalangan ahli kitab dan orang musyrik akan menempati neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya. Mereka itulah seburuk-buruk makhluk.” (QS. al-Bayyinah: 6). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berjumpa dengan Allah dalam keadaan mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun maka dia pasti masuk neraka.” (HR. Muslim).

Apa Saja Keutamaan Tauhid?
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman (yaitu syirik), maka mereka itulah orang-orang yang akan mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang diberikan hidayah.” (QS. al-An’aam: 82). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Allah ta’ala berfirman, “Wahai anak Adam! Seandainya kamu datang kepada-Ku dengan membawa dosa hampir sepenuh isi bumi lalu kamu menemui-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apapun, niscaya Aku pun akan mendatangimu dengan ampunan sebesar itu pula.” (HR. Tirmidzi, dan dia menghasankannya).
Kepada Siapa Kita Mencontoh?
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang taat kepada rasul, sesungguhnya dia telah taat kepada Allah.” (QS. an-Nisaa’: 80). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (QS. Ali Imran: 31). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah ada bagi kalian pada diri rasulullah suri teladan yang baik, bagi orang yang berharap kepada Allah dan hari akhir serta banyak mengingat Allah.” (QS. al-Ahzab: 21). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama dari kalangan Muhajirin dan Anshar, dan juga orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun pasti ridha kepada-Nya, dan Allah telah persiapkan untuk mereka surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya, itulah keberuntungan yang sangat-sangat besar.” (QS. at-Taubah: 100)
Apakah Nabi Muhammad Nabi Terakhir?
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Muhammad itu bukanlah bapak dari salah seorang lelaki di antara kalian, akan tetapi dia adalah seorang utusan Allah dan penutup nabi-nabi.” (QS. al-Ahzab: 40). Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “…Dahulu para nabi itu diutus khusus kepada kaumnya, sedangkan aku diutus kepada segenap umat manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim).  Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Perumpamaan diriku dengan para nabi seperti perumpamaan seorang lelaki yang membangun sebuah rumah lalu dia berusaha menyempurnakan dan melengkapinya kecuali tersisa satu tempat yang belum terisi batu-bata. Maka orang-orang pun mulai memasukinya dan terkagum-kagum terhadapnya, namun mereka berkata, ‘Seandainya satu tempat batu-bata ini terisi sungguh sempurna!’.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akulah yang menempati tempat batu-bata itu, aku datang lalu menutup nabi-nabi.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Apakah Kita Boleh Menyelisihi Ajaran Nabi?
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hendaklah merasa takut orang-orang yang menyelisihi urusan/tuntunan rasul itu, karena mereka akan tertimpa bencana atau siksaan yang sangat pedih.” (QS. an-Nuur: 63). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menentang rasul setelah jelas petunjuk baginya dan dia mengikuti selain jalan orang-orang beriman, maka Kami akan membiarkan dirinya tenggelam dalam kesesatan yang dipilihnya, dan kelak Kami akan memasukkannya ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. an-Nisaa’: 115). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidak layak bagi seorang mukmin lelaki dan perempuan, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara lantas masih ada bagi mereka pilihan yang lain. Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan rasul-Nya sungguh dia tersesat dengan kesesatan yang amat nyata.” (QS. al-Ahzab: 36). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semua umatku pasti akan masuk surga kecuali yang enggan.”… “Barangsiapa yang taat kepadaku niscaya masuk surga, dan barangsiapa yang durhaka kepadaku maka dialah orang yang enggan.” (HR. Bukhari)

Artikel www.muslim.or.id

Senin, 13 Desember 2010

Agar Hati Tidak Membatu

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidaklah seorang hamba mendapatkan hukuman yang lebih berat daripada hati yang keras dan jauh dari Allah.” (al-Fawa’id, hal. 95).
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh celaka orang-orang yang berhati keras dari mengingat Allah, mereka itu berada dalam kesesatan yang amat nyata.” (QS. az-Zumar: 22).
Syaikh as-Sa’di rahimahullah menerangkan, “Maksudnya, hati mereka tidak menjadi lunak dengan membaca Kitab-Nya, tidak mau mengambil pelajaran dari ayat-ayat-Nya, dan tidak merasa tenang dengan berzikir kepada-Nya. Akan tetapi hati mereka itu berpaling dari Rabbnya dan condong kepada selain-Nya…” (Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 722).


Ciri-Ciri Orang Berhati Keras



Syaikh as-Sa’di rahimahullah menerangkan, bahwa ciri orang yang berhati keras itu adalah tidak lagi merespon larangan dan peringatan, tidak mau memahami apa maksud Allah dan rasul-Nya karena saking kerasnya hatinya. Sehingga tatkala setan melontarkan bisikan-bisikannya dengan serta-merta hal itu dijadikan oleh mereka sebagai argumen untuk mempertahankan kebatilan mereka, mereka pun menggunakannya sebagai senjata untuk berdebat dan membangkang kepada Allah dan rasul-Nya (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 542)
Orang yang berhati keras itu tidak bisa memetik pelajaran dari nasehat-nasehat yang didengarnya, tidak bisa mengambil faedah dari ayat maupun peringatan-peringatan, tidak tertarik meskipun diberi motivasi dan dorongan, tidak merasa takut meskipun ditakut-takuti. Inilah salah satu bentuk hukuman terberat yang menimpa seorang hamba, yang mengakibatkan tidak ada petunjuk dan kebaikan yang disampaikan kepadanya kecuali justru memperburuk keadaannya (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 225).
Orang yang memiliki hati semacam ini, tidaklah dia menambah kesungguhannya dalam menuntut ilmu melainkan hal itu semakin mengeraskan hatinya… Wal ‘iyadzu billah (kita berlindung kepada Allah darinya)… Maka sangat wajar, apabila sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu mengingatkan kita semua, “Ilmu itu bukanlah dengan banyaknya riwayat. Akan tetapi hakekat ilmu itu adalah rasa takut.” Abdullah anak Imam Ahmad pernah bertanya kepada bapaknya, “Apakah Ma’ruf al-Kurkhi itu memiliki ilmu?!”. Imam Ahmad menjawab, “Wahai putraku, sesungguhnya dia memiliki pokok ilmu!! Yaitu rasa takut kepada Allah.” (lihat Kaifa Tatahammasu, hal. 12).


Sebab Hati Menjadi Keras



Sebab utama hati menjadi keras adalah kemusyrikan. Oleh sebab itu Ibnu Juraij rahimahullah menafsirkan ‘orang-orang yang berhati keras’ dalam surat al-Hajj ayat 53 sebagai orang-orang musyrik (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [5/326]). Demikian pula orang-orang yang bersikeras meninggalkan perintah-perintah Allah dan orang-orang yang memutarbalikkan ayat-ayat Allah (baca: ahlul bid’ah); mereka menyelewengkan maksud ayat-ayat agar cocok dengan hawa nafsunya. Orang-orang seperti mereka adalah orang-orang yang berhati keras (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 225). Selain itu,  faktor lain yang menyebabkan hati menjadi keras adalah berlebih-lebihan dalam makan, tidur, berbicara dan bergaul (lihat al-Fawa’id, hal. 95)


Lembut dan Kuatkan Hatimu!



Sudah semestinya seorang muslim -apalagi seorang penuntut ilmu!- berupaya untuk memelihara keadaan hatinya agar tidak menjadi hati yang keras membatu. Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa hati seorang hamba akan menjadi sehat dan kuat apabila pemiliknya menempuh tiga tindakan:
  1. Menjaga kekuatan hati. Kekuatan hati akan terjaga dengan iman dan wirid-wirid ketaatan.
  2. Melindunginya dari segala gangguan/bahaya. Perkara yang membahayakan itu adalah dosa, kemaksiatan dan segala bentuk penyimpangan.
  3. Mengeluarkan zat-zat perusak yang mengendap di dalam dirinya. Yaitu dengan senantiasa melakukan taubat nasuha dan istighfar untuk menghapuskan dosa-dosa yang telah dilakukannya (lihat Ighatsat al-Lahfan, hal. 25-26)
Sungguh indah perkataan Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Setiap hamba pasti membutuhkan waktu-waktu tertentu untuk menyendiri dalam memanjatkan doa, berzikir, sholat, merenung, berintrospeksi diri dan memperbaiki hatinya.” (dinukil dari Kaifa Tatahammasu, hal. 13). Ibnu Taimiyah juga berkata, “Dzikir bagi hati laksana air bagi seekor ikan. Maka apakah yang akan terjadi apabila seekor ikan telah dipisahkan dari dalam air?” (lihat al-Wabil ash-Shayyib). Ada seseorang yang mengadu kepada Hasan al-Bashri, “Aku mengadukan kepadamu tentang kerasnya hatiku.” Maka beliau menasehatinya, “Lembutkanlah ia dengan berdzikir.”
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang menginginkan kejernihan hatinya hendaknya dia lebih mengutamakan Allah daripada menuruti berbagai keinginan hawa nafsunya. Hati yang terkungkung oleh syahwat akan terhalang dari Allah sesuai dengan kadar kebergantungannya kepada syahwat. Hancurnya hati disebabkan perasaan aman dari hukuman Allah dan terbuai oleh kelalaian. Sebaliknya, hati akan menjadi baik dan kuat karena rasa takut kepada Allah dan ketekunan berdzikir kepada-Nya.” (lihat al-Fawa’id, hal. 95)


Langkah Selanjutnya?



Dari keterangan-keterangan di atas, dapatlah kita simpulkan bahwa untuk menjaga hati kita agar tidak keras dan membatu adalah dengan cara:
  1. Beriman kepada Allah dan segala sesuatu yang harus kita imani
  2. Mentauhidkan-Nya, yaitu dengan mempersembahkan segala bentuk ibadah hanya kepada-Nya dan membebaskan diri dari segala bentuk penghambaan kepada selain-Nya
  3. Melaksanakan ketaatan kepada-Nya dan taat kepada rasul-Nya
  4. Meninggalkan perbuatan dosa, maksiat dan penyimpangan
  5. Banyak mengingat Allah, ketika berada di keramaian maupun ketika bersendirian
  6. Banyak bertaubat dan beristighfar kepada Allah untuk menghapus dosa-dosa kita
  7. Menanamkan perasaan takut kepada Allah dan berusaha untuk senantiasa menghadirkannya dimana pun kita berada
  8. Merenungi maksud ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
  9. Selalu bermuhasabah/berintrospeksi diri untuk memperbaiki diri dan menjaga diri dari kesalahan yang pernah dilakukan di masa lalu
  10. Bergantung kepada Allah dan mendahulukan Allah di atas segala-galanya

Ya Allah, lunakkanlah hati kami dengan mengingat-Mu dan bersyukur kepada-Mu…
_____________________
Artikel www.muslim.or.id

Arsip Blog