Berdzikir kepada Sang Pemberi Nikmat merupakan perkara yang sangat penting. Sebab kita adalah hamba-Nya, maka kita harus selalu mengingat-Nya dan jangan sampai melalaikan Sang Pemberi Nikmat. Dia-lah Maha Pemberi yang senantiasa memberi nikmat kepada hamba-hamba-Nya walaupun hamba-Nya tersebut bermaksiat kepada-Nya, Dia-lah yang memberi nikmat yang tidak terhitung banyaknya tanpa batasan waktu. Oleh karena itu, berdzikir kepada Maha Pemberi dan mensyukuri karunia-Nya adalah sesuatu yang fitrah bagi seorang hamba.
Makna Dzikir
Imam Nawawi berkata, “Ketahuilah bahwa fadlilah dzikir itu tidak terbatas pada tasbih, tahlil, tahmid dan takbir. Bahkan setiap orang yang melakukan amal ketaatan karena Alloh, maka orang tersebut termasuk berdzikir kepada-Nya”. Dari perkataan beliau dapat kita ambil faidah bahwa makna dzikir sangat luas mencakup seluruh amalan ketaatan yang dilakukan karena Alloh, berbeda dengan sebagian orang yang memahami dzikir hanya sebatas ucapan-ucapan semisal tasbih, tahlil, tahmid dan takbir (disebut dengan wirid-pen). Maka pengertian yang demikian kurang tepat, karena hal tersebut merupakan penyempitan terhadap sesuatu yang luas.
Adab-adab Berdzikir
Adab-adab Berdzikir
Adab dzikir yang paling utama dan mesti diperhatikan tatkala ingin berdzikir adalah hendaknya melandasi niat dengan ikhlas dan senantiasa berdzikir dengan dzikir yang dituntunkan oleh Rasululloh shallallohu ‘alaihi wa sallam.
Adapun adab-adab berdzikir yang lain, maka Allah Ta’alaa telah merangkum hal tersebut dalam firman-Nya (yat), “Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai. (QS.Al A’raaf: 205). Dari ayat ini dapat kita ringkas beberapa adab dalam berdzikir, yaitu:
- Berdzikir di dalam hati
Maksudnya adalah dengan memahami makna yang diucapkan dengan hatinya. Hal ini akan memudahkan untuk berdzikir dengan ikhlas karena lebih menjauhkan dari riya’ dan akan lebih mudah untuk dikabulkan.
- Merendahkan diri
Hendaknya dalam berdzikir menghadirkan hati dengan menganggap dirinya hina, dalam keadaan tunduk, mengakui akan kekurangan dirinya karena hal tersebut akan membantu untuk menumbuhkan rasa kehinaan dalam mengingat keagungan Rabbnya.
- Dengan rasa rakut
Maksudnya adalah takut diadzab karena kurang dalam beramal yang benar, takut amalannya ditolak dan tidak diterima oleh Alloh, sehingga yang demikian itu justru menambah motivasi untuk beramal lebih banyak dan lebih baik. Inilah sifat-sifat orang mukmin sebagaimana yang diterangkan Alloh dalam surat Al Mu’minuun: 60, (yat), “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka. Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya”.
- Merendahkan suara
Ditekankan untuk merendahkan suara dalam berdzikir karena hal ini akan lebih mendekatkan pada perenungan akan keagungan Rabb yang sempurna. Imam Ibn Katsir berkata, “Oleh karena itu Alloh berfirman, “dengan tidak mengeraskan suara”, demikianlah ketika berdzikir (hendaknya tidak mengeraskan suara-pen), dan dzikir bukanlah berupa sahutan dan suara yang keras” (Tafsirul Qur’anil Azhim).
Pernah para sahabat berdo’a dengan suara yang keras ketika bersafar bersama Rasululloh shallallohu ‘alaihi wa sallam, maka beliau menegur sembari bersabda, “Wahai sekalian manusia, kasihanilah diri kalian (maksudnya janganlah kalian berlebihan-pen). Sesungguhnya kalian tidak berdo’a kepada Dzat yang tuli dan jauh, tapi kalian berdo’a kepada Dzat yang Maha Mendengar dan Dekat yang lebih dekat kepada salah seorang diantara kalian daripada leher tunggangannya” (HR. Bukhori dan Muslim)
Kesalahan sebagian besar kaum muslimin saat ini adalah melakukan dzikir bersama dengan dikomandoi seraya mengucapkan lantunan dzikir dengan suara yang keras. Adapun dzikir mereka dengan suara yang keras telah dijawab dan dalil yang menunjukkan bahwa Nabi dan para sahabat berdzikir dengan suara keras diterangkan oleh para ulama bahwasanya hal itu dimaksudkan untuk mengajari para sahabat yang belum mengetahuinya. Sedangkan tata cara dzikir dengan dikomandoi maka cara ini tidak pernah dituntunkan oleh Rasululloh shallallohu ‘alaihi wa sallam, adapun para pendukung dzikir model ini berdalil dengan dalil-dalil umum yang tidak menunjukkan bahwa tata cara dzikir yang disyariatkan adalah yang seperti mereka lakukan. Cukuplah bagi kita apa yang diriwayatkan dari sahabat Ibnu Mas’ud ra ketika beliau mengingkari orang-orang di zaman beliau tatkala melakukan dzikir dengan model persis seperti orang-orang yang mengagungkan dzikir bersama pada saat ini. (Atsar ini diriwayatkan oleh Ad Darimi, Bahsyali dan selainnya). Agar lebih jelas, kami persilakan pembaca untuk melihat artikel Ustadzuna Muhammad Arifin Badri, Lc, Ma di situs www.muslim .or.id dengan judul “Pandangan Tajam Terhadap Dzikir Bersama”.
- Berdzikir dengan lisan, bukan dengan hati saja
Hal ini ditunjukkan dalam ayat tersebut pada lafadz, “dengan tidak mengeraskan suara” yang bermakna berbicara dengan mengeluarkan suara yang lirih, sehingga yang dimaksud adalah menggabungkan antara dzikir dengan lisan dan dzikir dengan qolbu,
- Berdzikir di waktu pagi dan petang
Ayat di atas juga menunjukkan waktu yang afdlol untuk berdzikir kepada-Nya, yakni di waktu pagi dan petang. Hal ini tidak membatasi bahwa dzikir hanya dilakukan pada saat itu saja, akan tetapi ayat itu hanya menekankan pentingnya untuk berdzikir di kedua waktu tersebut karena pada saat itu merupakan waktu lowong yang dapat digunakan untuk beribadah dengan bersungguh-sungguh dan pada saat itu pula amalan seluruh manusia diangkat untuk dihadapkan kepada Alloh.
- Tidak lalai ketika berdzikir kepada Alloh
Sering kita melihat orang yang berdzikir dengan suara yang keras dan dengan begitu cepatnya, akan tetapi mereka tidak memahami apa yang dia ucapkan. Ini adalah salah satu adab yang jelek, membuat dzikir tersebut tidak bermanfaat bagi pelakunya dan hal ini termasuk salah satu bentuk kelalaian walaupun dia melakukan dzikir. Dzikir itu dapat bermanfaat ketika dipahami, meresap dalam qolbu dan memberi pengaruh bagi ketaatan hamba. Hendaknya dalam berdzikir menghadirkan hati dan tidak tergesa-gesa untuk menyelesaikan dzikir dengan bilangan tertentu.
Demikianlah yang dapat kami hadirkan pada kesempatan kali ini, wahai saudaraku isilah waktu kita dengan senantiasa mengingat Alloh. Rasululloh shallallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah satu waktu berlalu bagi Bani Adam dan (mereka) tidak berdzikir (mengingat) Alloh di dalamnya, melainkan akan membawa penyesalan pada hari kiamat” (HR. Baihaqi dan Abu Nu’aim dihasankan oleh Imam Al Albani dalam Shohihul Jami’).
Sumber: Kumpulan artikel buletin At Tauhid Yogyakarta
0 komentar:
Posting Komentar