Berkata Abul ‘Aliyah rahimahullah: “Kami jika hendak mengambil ilmu dari seseorang, maka kami melihat bagaimana shalatnya. Jika shalatnya baik, maka kamipun duduk mengambil ilmu darinya, dan kami nyatakan,“… amalannya yang lain (juga) baik”. Namun apabila jelek shalatnya, maka kamipun pergi meninggalkannya, dan kami nyatakan, “amalannya yang lain juga jelek.””. (Sunan Ad-Darimi, 1/93-94)
Saudaraku sekalian, ungkapan Abul Aliyah ini tidaklah berlebihan jika kita melihatnya dengan hati yang jernih. Bagaimana tidak, jiwa kita ini laksana sebuah bejana yang siap untuk diisi berbagai macam pemikiran. Jika kita menghendaki agar jiwa kita terisi oleh hal-hal yang baik saja, maka seyogyanya kita menuangkan ke dalam bejana tersebut hal-hal yang bermanfaat saja. Namun apabila kita tidak memperhatikannya, bejana itu akan diisi dengan berbagai macam hal, dari yang baik sampai yang jeleknya sekalipun.
Oleh karenanya, kita pun teramat butuh untuk memperhatikan bejana kita itu. Apakah ia mau diisi dengan hal-hal yang baik atau justru sebaliknya, atau apakah kita ingin mengadakan penyeimbangan antara yang baik dan jelek?!
Saudaraku seiman, jika kita menelaah lebih jauh sikap yang dimunculkan oleh Abul Aliyah tadi, maka kita dapati di sana adanya satu hal penting yaitu bagaimana kita bersikap. Beliau membuat standar point atas kelayakan seseorang apakah layak diambil keilmuannya atau tidak dengan meninjau baik tidaknya ia dalam dalam mengerjakan shalat. Mengapa harus shalat ? Jawabannya ialah dikarenakan amalan tersebut mencakup berbagai permasalahan sunnah. Apabila sunnah ditegakkan di dalamnya, niscaya shalatnya menjadi baik, tentu dengan konsekuensi-konsekuensi lainnya. Namun apabila sunnah tidak ditegakkan di dalamnya, niscaya ia hanyalah sebuah ritual yang tidak memiliki nilai.
Saudaraku, sunnah bagi mereka (ulama salaf) merupakan tanda kecintaan seseorang terhadap Rabb-nya yang telah memberinya kehidupan, rezeki dan seluruh hal yang dibutuhkan oleh hamba-hamba-Nya. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Dzun Nun al-Mishri dalam Risalah al-Qusyairiyah (1/75): “Termasuk dari tanda kecintaan seseorang kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ialah mengikuti kekasih-Nya Shalallahu ‘alaihi wassalam baik dalam akhlaq, perbuatan, perintah-perintah maupun sunnah-sunnahnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Katakanlah (wahai Nabi): “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Ali Imran: 31)
Berkata al-Hasan al-Bashri: “Tanda kecintaan mereka kepada Allah adalah mengikuti sunnah rasul-Nya. (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam tafsirnya 2/204)
Demikianlah, mereka jadikan sunnah sebagai tanda dan bukti kecintaan seseorang terhadap Rabb-nya. Semakin kuat kecintaan terhadap Rabb-Nya, maka semakin kuat pula dorongan arus ittiba’nya terhadap sunnah nabi-Nya. Semakin ia ingin membuktikan rasa cintanya kepada Allah, pada saat itu pula ittiba’nya kepada sunnah menjulang tinggi.
Namun, kelompok para penegak sunnah ini tidak luput dari sengatan bisa orang-orang yang jahil dan para pengikut hawa nafsu pada setiap masa. Mereka senantiasa menebarkan berbagai macam makar yang mereka persiapkan untuk menentang sunnah dan para penegaknya, serta memancangkan bendera permusuhan dan membiuskan hawa kedustaan.
Tidaklah kita dapati di zaman ini kelompok yang lebih keras penentangannya serta lebih besar kedustaannya dari mereka yang berusaha menjegal para penegak sunnah dengan tuduhan: kaku, kasar, memecah-belah umat, dungu, jumud dan lain-lain.
Saudaraku semoga Allah merahmati kita- tuduhan yang dilontarkan oleh mereka yang menyatakan bahwa para penegak sunnah adalah orang-orang kaku dan keras sangatlah tidak berdasar. Apakah pengertian yang mereka maukan dengan istilah “keras” dan “kaku”? Apakah mereka menganggap bahwa dakwah kepada tauhid adalah keras? Apakah mengajak kepada manusia untuk berpegang dengan sunnah dianggap ekstrim? Atau apakah memberantas kesyirikan dan kebid’ahan adalah kaku dan kasar? Jika ini yang mereka maksudkan, berarti mereka telah menuduh dakwah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam dan para nabi adalah ekstrim, kaku, kasar dan lain-lain.
Sesungguhnya yang dikatakan ekstrim, berlebih-lebihan atau keras adalah jika bermuara pada dua arus sebagai berikut:
1. Beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan peribadatan yang tidak pernah disyari’atkan oleh-Nya.
2. Berlebih-lebihan (ghuluw) dan berdalam-dalam mencari-cari yang tidak disyari’atkan dalam beragama (tanathu’).
Adapun mereka ahlus sunnah (para penegak sunnah), mereka tidaklah beribadah kepada Allah kecuali dengan apa-apa yang disebutkan dalam al-Qur’an dan hadits.
Bahkan mereka –alhamdulillah- jauh dari kebid’ahan dan perkara-perkara yang di ada-adakan. Karena mereka berilmu dan beramal sesuai dengan konsekuensi hadits Aisyah yang diriwayatka oleh Bukhari dan Muslim, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan kami ini yang tidak ada contohnya maka ia tertolak.
Dalam lafadz imam Muslim:
Barangsiapa yang beramal suatu amalan yang tidak ada perintah kami padanya, maka ia tertolak. (Muttafaq ‘alaihi)
Demikian pula dengan tuduhan mereka terhadap ahlus sunnah bahwa dakwah ahlus sunnah adalah dakwah yang mengajak pada perpecahan dan ikhtilaf (perselisihan), mencerai-beraikan barisan kaum muslimin dengan kecaman-kecamannya terhadap kelompok-kelompok lain.
Kita nyatakan kepada mereka “Jika yang kalian maukan adalah memecah antara haq dengan yang kebatilan, antara petunjuk dan kesesatan, maka kita jawab dengan tegas: “Ya”. Karena itulah misi ahlus sunnah wal jama’ah. Mereka, dengan dakwahnya yang senantiasa menyadarkan pada al-Qur’an dan sunnah dengan pemahaman salafus shalih menyebabkan terpisahnya haq dan kebatilan, sunnah dan kebid’ahan serta terpisahnya antara ahlus sunnah dengan ahlul bid’ah dan menyebabkan semakin jelasnya siapa yang berpegang dengan aqidah yang shahih dengan yang berpegang dengan aqidah yang rusak.
Inilah yang diistilahkan dalam al-Qur’an dengan al-furqan yakni pembeda antara haq dengan kebatilan. Hal ini tidak lain karena mereka menjalankan firman Allah:
Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar… (Ali Imran: 110)
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Tamiyah: “Seorang mukmin terhadap mukmin lainnya, seperti dua belah tangan yang saling membersihkan. Terkadang tidak hilang kotoran kecuali dengan sesuatu yang kasar, tetapi yang demikian agar tangan menjadi bersih dan lembut. Sehingga kekasaran tadi adalah terpuji dengan tujuan tersebut”. (Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, juz 28 hal. 53-54 melalui Irsyadul Bariyyah Ila syar’iyyatil intisa lis Salafiyah, hal. 56, Abu Abdussalam Hasan bin Qasim ar-Riimi)
Adapun jika yang dimaksud oleh mereka bahwa ahlus sunnah telah membikin perpecahan ummat dalam arti mengajak pada perpecahan dan perselisihan dikarenakan hawa nafsu dan kesesatan yang telah dilarang oleh syari’at, maka ini adalah sebuah kedustaan dan mengada-ada. Karena alhamdulilah ahlus sunnah berada di atas jalan rasulnya Shalallahu ‘alaihi wassalam dan para salafus shalih dari kalangan para shahabat dan tabi’in yang mereka mengajak pada persatuan di atas tauhid dan sunnah, di atas perinsip “La ilaha illallah” dan prinsip “Muhammadan Rasulullah”. Dengan demikian yang menyebabkan berpecahnya umat adalah mereka yang menarik kaum muslimin dari Tauhid ke dalam syirik dan dari Sunnah ke dalam bid’ah.
Karena kesyirikan dan kebid’ahan merupakan perkara yang diada-adakan oleh mereka sendiri, maka otomatis akan muncul berbagai macam bentuk kesyirikan dan kebid’ahan yang berbeda-beda dan saling berselisih, dan masing-masing bangga dengan apa yang mereka ada-adakan.
Dan janganlah kamu termasuk orang-orang musyrik, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka. (ar-Ruum: 31-32)
Saudaraku, tuduhan-tuduhan tadi serta masih banyak lagi yang lainnya adalah makar yang mereka persiapkan guna melemahkan kecintaan hati kaum muslmin terhadap sunnah rasul. Apakah karena hasad dan dengki atau bisa jadi memang karena benci kepada agama dan sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam ini.
Bagi mereka kita katakan mengapa tidak kalian akui saja kalau kalian memang lemah dalam menerapkan sunnah-sunnah nabinya tanpa perlu memperolok-olok para pelaku sunnah, yang pada akhirnya hanya akan membuahkan celaan-celaan terhadap sunnah itu sendiri? –naudzu billah min dzalik.
Atau paling tidak kalian akui saja bahwa kalian cemburu kepada mereka yang telah berhasil menghidupkan sunnah, sedangkan kalian belum bisa menerapkannya karena kelemahan kalian. Dengan sikap seperti ini kalian tidak akan terjerumus ke dalam dosa yang lebih besar lagi dan lubang kekufuran disebabkan celaan kalian terhadap sunnah nabi. Dengan mengakui kelemahan kita yang belum bisa menerapkan beberapa sunnah akan membawa kita beristighfar dan meminta ampun kepada Allah serta berdoa dan harapan kepada Allah agar suatu saat bisa menerapkannya.
Sungguh tepat apa yang dikatakan oleh Syaikh Sulaiman bin Sahman: “Kalau setiap orang yang menghidupkan sunnah yag telah ditinggalkan umat dianggap sebagai orang yang membingungkan umat, niscaya sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam akan mati dan pintu ilmu akan tertutup serta akan muncul kerusakan-kerusakan yang tidak terhitung kecuali oleh Allah”. (Dinukil secara makna dari kitab Dlarurarul Ihtimam bis Sunan an-Nabawiyyah, hal. 84-85)
Syaikhul Islam pun berkata: “Boleh saja seseorang meninggalkan perkara-perkara yang mustahab (yang apabila dikerjakan mendapatkan pahala, dan jika ditinggalkan tidak mendapatkan dosa). Namun kita tidak boleh meninggalkan keyakinan kalau perkara itu adalah perkara sunnah yang dicintai dan dianjurkan. Karena meyakini dianjurkannya amalan tersebut adalah wajib, agar tidak hilang sedikitpun dari agama ini”. (Majmu’ Fatawa 4/436 dan lihat Daruratul Ihtimam, hal. 84-86)
Dengan ucapan-ucapan ulama di atas, kita mengetahui bahwa perkara sunnah -walaupun tidak sampai kepada wajib—tetap harus kita hormati dan muliakan. Bahkan walaupun kita tidak mengerjakannya, hati kita tetap harus meyakini kemuliaan amalan tersebut. Dengan hati yang dipenuhi kecintaan kepada amalan-amalan sunnah, maka ia akan menghormati pula orang-orang yang telah mendahuluinya dalam menghidupkan sunnah-sunnah tersebut.
Saudaraku yang kami hormati –barakallahu fiikum-, bisa jadi ada di antara kita yang membisikkan suara sumbang: “Mengapa kita harus mempersoalkan perkara-perkara yang tidak diwajibkan? Apakah kita akan mengerjakan semua perbuatan-perbuatan nabi?!” Wallahul musta’an.
Apakah dia tidak mengerti bahwa matinya sunnah –-meskipun pada perkara yang tidak diwajibkan—merupakan sebesar-besar musibah. Karena dengan matinya sunnah satu demi satu, Islam akan berkurang sedikit demi sedikit. Karena Islam tidak lain merupakan kumpulan sunnah-sunnah ajaran Rasulullah r.
Hal itu sebagaimana dikatakan oleh imam al-Barbahari: “Islam adalah sunnah dan sunnah adalah Islam”. (Syarhus Sunnah, Imam al-Barbahari).
Demikian pula Abdulah bin ad-Dailami berkata: “Sesungguhnya awal hilangnya agama adalah ditinggalkannya sunnah, Islam akan berkurang satu sunnah demi satu sunnah seperti putusnya tali satu kekuatan demi satu kekuatan”. (Lamu ad-Duuril Mantsur Minal Qaulil Ma’tsur, hal. 21)
Dengan meremehkan sunnah, tidak mengamalkannya, tidak membahas dan tidak mengajarkan amalan tersebut, maka generasi mendatang tidak lagi akan mengenalinya lagi. Hingga akhirnya akan muncul kebid’ahan menggantikannya. Jika hal ini berlangsung terus-menerus, dari tahun ke tahun dan dari satu generasi ke generasi berikutnya, maka akan hilanglah syariat ini.
Perhatikan apa yang telah dikatakan oleh Ibnu Abbas Radiyallahu ‘anhu : “Tidaklah datang kepada manusia suatu masa, melainkan mereka membuat satu kebid’ahan dan mematikan padanya satu sunnah, hingga hiduplah kebid’ahan-kebid’ahan dan matilah sunnah-sunnah”. (Diriwayatkan oleh Ibnu Wadlah dalam Bida’ Wan Nahyu ‘anha, hal. 38-39).
Akhirnya kita mengingatkan kepada seluruh kaum muslimin untuk senantiasa berupaya menghidupkan ajaran nabinya, menerapkannya pada diri-diri kita, keluarga dan masyarakat kita. Kalau kita belum bisa mengamalkannya, janganlah hilang keyakinan kalau amalan tersebut adalah sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam yang mulia. Dan janganlah menjauhkan umat dari sunnah dengan berbagai macam alasan apapun yang dibuat-buat.
Wallahu a’lam.
(Sumber Bulletin Dakwah Manhaj Salaf Edisi: 14/Th. I tanggal 24 Dulqo’dah 1424 H/16 Januari 2004 M , judul asli “Jangan menjauhkan diri dari Sunnah”. Risalah Dakwah MANHAJ SALAF, Insya Allah terbit setiap hari Jum’at. Infaq Rp. 100,-/exp. Pesanan min. 50 exp di bayar di muka. Diterbitkan oleh Yayasan Dhiya’us Sunnah, Jl. Dukuh Semar Gg. Putat RT 06 RW 03, Cirebon. telp. (0231) 222185. Penanggung Jawab: Ustadz Muhammad Umar As-Sewed; Redaksi: Muhammad Sholehuddin, Dedi Supriyadi, Eri Ziyad; Sekretaris: Ahmad Fauzan; Sirkulasi: Arief Subekti, Agus Rudiyanto, Zaenal Arifin; Keuangan: Kusnendi. Pemesanan hubungi: Arif Subekti telp. (0231) 481215.)
***
***