Syaikh Ahmad bin Abdil Halim bin Taimiyah, atau yang biasa disebut dengan Ibnu Taimiyah. Ia lahir di Kota Harran daerah Damaskus, pada tanggal 10 Rabiul Awal tahun 661 Hijriyah.
Sejak kecil, ulama yang hidup dalam keluarga ulama ini, sudah menunjukkan tanda-tanda kemuliaannya. Ibnu Taimiyah kecil tidak seperti anak-anak lain yang biasa bermain dan bersenang-senang. Hampir tidak ada hari yang berlalu, kecuali bersamanya sebuah kitab karya ulama besar di zamannya. Tidak heran jika Ibnu Taimiyah lebih senang ke perpustakaan daripada ke tempat-tempat permainan.
Suatu hari, ketika Ibnu Taimiyah kecil ini sedang dalam perjalanan menuju perpustakaan, ada seorang Yahudi yang mengganggu. Tapi, setiap kalimat gangguan itu dijawab Ibnu Taimiyah dengan kata-kata hikmah yang berbobot tinggi.
Keesokan harinya, si Yahudi itu pun mengulanginya lagi. Ia mengira bisa mendapatkan hiburan gratis berupa rengekan atau ketakutan khas anak kecil ketika diganggu dengan kata-kata yang tidak mengenakkan. Tapi, lagi-lagi, si Yahudi mendapatkan balasan kalimat-kalimat indah yang begitu berbobot.
Pembicaraan pun akhirnya menyangkut pada nilai-nilai agama. Yahudi ingin menaklukkan Ibnu Taimiyah dengan pertanyaan-pertanyaan sulit yang memang bukan kelas anak seusianya. Tapi, ternyata perkiraan si Yahudi itu salah. Bukan hanya pertanyaannya terjawab, bahkan si Yahudi begitu asyik menikmati nasihat-nasihat Ibnu Taimiyah tentang Tauhid.
Dengan izin Allah Subhanahu wata'ala., melalui dialog-dialog tauhid dengan Ibnu Taimiyah kecil, si Yahudi itu akhirnya masuk Islam. Ia pun menjadi seorang mukmin yang saleh, sebuah akhir yang di luar dugaannya.
Keluarga Ibnu Taimiyah sendiri kadang terheran-heran dengan perilaku ketidakkanak-kanakannya. Suatu kali, keluarganya mengajaknya pergi berwisata. Ibnu Taimiyah kecil menolak. Ia tetap menolak, walaupun keluarganya memaksa. Dan ia pun ditinggal pergi.
Ketika pulang, saudara-saudaranya menceritakan pengalaman indahnya ketika berwisata kepada Ibnu Taimiyah. Ibnu Taimiyah kecil ini pun mengatakan, aku tidak merasa rugi dengan kepergian kalian. Karena selama kalian pergi, aku berhasil menghafal satu jilid kitab Jannah An-Nazhir wa Jannah Al-Manazhir.
Sedemikian cinta dan hausnya Ibnu Taimiyah dengan ilmu, ratusan guru telah ia datangi untuk menimba ilmu. Hampir seluruh usia remajanya habis untuk ilmu dan ibadah. Tidak heran jika di usia 17 tahun, Ibnu Taimiyah sudah mampu mengeluarkan fatwa kepada umat.
Umat di zamannya begitu mengagumi keilmuan Ibnu Taimiyah saat beliau masih muda. Salah seorang murid beliau, Ibnu Katsir, mengungkapkan, “Ibnu Taimiyah lebih mengetahui fikih mazhab-mazhab daripada para pengikut mazhab-mazhab itu sendiri. Ia begitu menguasai ilmu ushul, furu’, nahwu, ilmu naqli dan aqli. Sehingga, tidak pernah ada seorang pun yang membantahnya dalam setiap majelis yang ia pimpin.
Ibnu Taimiyah pun terkenal dengan kefakihannya dalam ilmu hadits. Ibnu Taimiyah begitu mahir membedakan mana hadits shahih dan dhaif, mengetahui para perawi dan menguasai semua itu dengan penguasaan yang luar biasa!!
Seseorang pernah membangga-banggakan Ibnu Sina yang selalu merujuk pada para filusuf. Tapi, Ibnu Taimiyah mampu membongkar di mana ketidakberesan ilmu para filusuf itu.
Usia mudanya tidak jauh dari belajar ke ratusan guru, mengajarkan kepada umat, melakukan penelitian, menulis karya-karya ilmiah tentang hadits, tafsir, ushul, fikih, dan lain-lain. Dan, satu hal yang sudah menjadi bagian hidup Ibnu Taimiyah selain ilmu, yaitu jihad atau berperang di jalan Allah.
Hampir tidak pernah terpikir oleh mujahid muda ini tentang busana bagus, rumah indah, hobi, uang, kekuasaan, dan perempuan.
Tidak heran jika di semua tulisan tentang biografinya, menunjukkan kalau Ibnu Taimiyah belum menikah. Hal ini karena seperti yang ia sampaikan kepada ibunya sebagai permohonan maafnya, kesibukan di dunia ilmu dan jihad telah menjadikannya tidak berpikir tentang pernikahan.
Malam-malam baginya merupakan momen yang paling indah untuk bisa bercengkerama dalam cinta bersama Yang Maha Sayang, Allah swt. Hampir seisi malam tak luput bagi guru Ibnul Qayyim Al-Jauziyah ini untuk shalat, zikir, dan membaca Alquran.
Salah satu kebiasaan Ibnu Taimiyah usai shalat Subuh berjamaah adalah zikir panjangnya yang ia lakukan sendirian. Dengan suara yang hanya ia dengar, ia terus menikmati zikir hingga datang waktu dhuha. Dan itulah yang didapati Ibnul Qayyim dalam keseharian gurunya.
Aku tidak meninggalkan zikir, kecuali untuk istirahat agar jiwaku bisa segar kembali untuk melakukan zikir selanjutnya, ucap Ibnu Taimiyah ketika muridnya itu menghampiri.
Selain ibadah dan zikirnya yang luar biasa, tawadhunya pun sudah menjadi kekaguman tersendiri bagi murid-murid Ibnu Taimiyah. Al-Bazzar pernah mengungkapkan kesaksian dari rekannya, Ketika Ibnu Taimiyah keluar rumah untuk menemui murid-muridnya yang sudah menunggu di majelis ilmu, tak seorang pun muridnya yang boleh membawakan kitab-kitab referensi beliau. Semua ia bawa sendiri.
Al-Bazzar menambahkan, Ibnu Taimiyah juga begitu hormat dengan murid-murid yang belajar bersamanya. Tak ada kata-kata kasar, sombong, dan lainnya. Ia begitu serius mendengarkan pertanyaan, dan menjawabnya dengan wawasan yang jauh lebih luas dari masalah yang ditanyakan. Sehingga orang-orang seringkali mendapatkan ilmu yang jauh lebih berharga dari jawaban yang diinginkan.
Begitu pun dengan kedermawanannya. Suatu kali, ketika melewati suatu jalan, seorang fakir berteriak-teriak memanggil nama Ibnu Taimiyah. Beliau paham betul maksud panggilan itu. Ketika menghampiri, Ibnu Taimiyah langsung mengatakan, Saudaraku, aku memahami maksud panggilanmu. Aku tidak punya uang untuk kuberikan kepadamu. Ambillah pakaian luarku ini. Silakan kau jual berapa pun, untuk kau ambil uangnya.
Dunia begitu hina dalam pandangan Ibnu Taimiyah, bahkan sejak beliau masih sangat belia. Allah telah menyingkapkan baginya tirai kehinaan hiasan dunia. Walau itu sangat mungkin, tak pernah sekali pun hasrat duniawi itu terlontar dari Ibnu Taimiyah.
Malam-malam baginya merupakan momen yang paling indah untuk bisa bercengkerama dalam cinta bersama Yang Maha Sayang, Allah swt. Hampir seisi malam tak luput bagi guru Ibnul Qayyim Al-Jauziyah ini untuk shalat, zikir, dan membaca Alquran.
Salah satu kebiasaan Ibnu Taimiyah usai shalat Subuh berjamaah adalah zikir panjangnya yang ia lakukan sendirian. Dengan suara yang hanya ia dengar, ia terus menikmati zikir hingga datang waktu dhuha. Dan itulah yang didapati Ibnul Qayyim dalam keseharian gurunya.
Aku tidak meninggalkan zikir, kecuali untuk istirahat agar jiwaku bisa segar kembali untuk melakukan zikir selanjutnya, ucap Ibnu Taimiyah ketika muridnya itu menghampiri.
Selain ibadah dan zikirnya yang luar biasa, tawadhunya pun sudah menjadi kekaguman tersendiri bagi murid-murid Ibnu Taimiyah. Al-Bazzar pernah mengungkapkan kesaksian dari rekannya, Ketika Ibnu Taimiyah keluar rumah untuk menemui murid-muridnya yang sudah menunggu di majelis ilmu, tak seorang pun muridnya yang boleh membawakan kitab-kitab referensi beliau. Semua ia bawa sendiri.
Aku pernah minta maaf karena tidak membawakan sebagian kitab itu. Tapi, Ibnu Taimiyah justru mengatakan, ‘Seharusnya, kitab-kitab ini aku letakkan di atas kepalaku, aku hanya ingin membawa lembaran tulisan yang di dalamnya terdapat sabda-sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam.
Begitulah Ibnu Taimiyah. Ia duduk dalam majelis di tempat sebagaimana hadirin duduk. Tidak ada tempat istimewa. Tidak ada kursi khusus, karpet indah dan sebagainya.
Al-Bazzar menambahkan, Ibnu Taimiyah juga begitu hormat dengan murid-murid yang belajar bersamanya. Tak ada kata-kata kasar, sombong, dan lainnya. Ia begitu serius mendengarkan pertanyaan, dan menjawabnya dengan wawasan yang jauh lebih luas dari masalah yang ditanyakan. Sehingga orang-orang seringkali mendapatkan ilmu yang jauh lebih berharga dari jawaban yang diinginkan.
Begitu pun dengan kedermawanannya. Suatu kali, ketika melewati suatu jalan, seorang fakir berteriak-teriak memanggil nama Ibnu Taimiyah. Beliau paham betul maksud panggilan itu. Ketika menghampiri, Ibnu Taimiyah langsung mengatakan, Saudaraku, aku memahami maksud panggilanmu. Aku tidak punya uang untuk kuberikan kepadamu. Ambillah pakaian luarku ini. Silakan kau jual berapa pun, untuk kau ambil uangnya.
Satu hal lagi, selain ilmu dan ibadah, yang sulit lepas dari Ibnu Taimiyah adalah perang di jalan Allah. Inilah kekhasan beliau yang jarang dimiliki ulama-ulama lain sezamannya. Ia bukan hanya berani, tapi juga begitu terampil memainkan senjata dan strategi perang.
Suatu waktu, Ibnu Taimiyah pergi menuju Syam, di tempat ini, beliau mengajar, menulis kitab, dan menyampaikan beberapa fatwa kepada umat. Di luar dugaan, salah satu fatwa tersebut ternyata tidak disukai beberapa tokoh dan penguasa.
Ibnu Taimiyah pun dihadapkan dalam sebuah majelis yang dihadiri banyak tokoh, dan penguasa. Di situ, beliau dihakimi, dicerca, dan akhirnya dimasukkan kedalam penjara. Pada tanggal 24 Rajab 720 H, atas perintah Sultan, Ibnu Taimiyah dikeluarkan dari penjara yang telah mengurungnya selama lima bulan.
Keluarnya Ibnu Taimiyah dari penjara, ternyata kembali menyulut ketidaksukaan tokoh-tokoh dan para pejabat saat itu. Mereka pun kembali melobi raja untuk kembali menjebloskan Ibnu Taimiyah kedalam penjara.
Pada tanggal 7 Sya’ban 726 H, keluarlah perintah raja untuk memenjarakan Ibnu Taimiyah di benteng Damaskus. Bukan itu saja, murid-murid utama beliau pun ikut ditangkap. Mereka disiksa dan dipertontonkan kepada masyarakat. Termasuk di antara mereka, Ibnul Qayyim.
Walau dipenjara, Ibnu Taimiyah memanfaatkan momen itu untuk menulis kitab dan fatwa-fatwa kepada masyarakat yang kemudian disebarkan melalui orang-orang yang menjenguk beliau di penjara.
Salah seorang murid beliau, Ibnu Katsir, menuturkan bahwa Syaikh Ibnu Taimiyah meninggal dunia pada malam Senin, tanggal 20 Dzulqa’dah 728 H di dalam penjara. Dan kalimat terakhir yang diucapkan adalah tilawahnya di Surah Al-Qamar ayat 54-55.
إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَنَهَرٍ , فِي مَقْعَدِ صِدْقٍ عِندَ مَلِيكٍ مُّقْتَدِرٍ
Sesungguhnya orang-orang bertakwa itu di dalam taman-taman dan sungai-sungai, di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Berkuasa.
(muhammadnuh@eramuslim.com/Min A'lam As-Salaf/Syaikh Ahmad Farid)
0 komentar:
Posting Komentar