Dalam islam, Allah Azza Wajalla dan Rasul-Nya Shallallahu Alaihi Wasallam mengajarkan kepada kita untuk menerima kebenaran yang datang dari mana saja dan dari siapa saja, bahkan meskipun kebenaran itu dibawa oleh sosok makhluk yang disebut “setan”.
Sebab bagaimanapun juga, kebenaran yang dibawa oleh setan pada hakekatnya bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu Alaihi Wasallam. Oleh karenanya, Abu Hurairah Radhiallahu anhu tidak ragu untuk menerima kebenaran yang disampaikan oleh setan tentang anjuran membaca ayat kursi sebelum tidur, setelah mendapatkan pembenaran dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam dengan sabdanya:
صدقك وهو كذوب
“Dia telah berkata benar kepadamu padahal dia seorang pendusta besar.”
Dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang hal ini cukup banyak, dan juga dikuatkan dengan banyak riwayat dari para ulama salaf radhallahu anhum. Kami tidak perlu membahas secara panjang lebar tentang hal ini, sebab ini bukan menjadi inti pembahasan kita.
Namun, permasalahan diatas harus dibedakan dengan pembahasan inti yang akan kita ulas insya Allah dalam tulisan ini, yaitu “Hukum menukil kebenaran yang datang dari ahlul bid’ah”. Ini merupakan dua permasalahan yang berbeda, dan menyamakan antara kedua pembahasan ini, atau membawa dalil-dalil tentang wajibnya menerima kebenaran meskipun datang dari mana saja, lalu diarahkan ke pembahasan “hukum menukil ucapan ahlul bid’ah” merupakan kesalahan yang fatal.
Berkata Syaikh Khalid Azh-Zhufairi Hafizhahullah dalam kitabnya yang sangat bermanfaat, yang berjudul “Ijma’ul ulama alal hajr wat tahdzir min ahlil ahwa’”, yang telah direkomendasi oleh tiga ulama besar: Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali, Zaid bin Muhammad bin Hadi Al-Madkhali, dan Ubaid bin Abdillah Al-Jabiri, Hafizhahumullah Ta’ala, pada halaman 60 Beliau berkata:
“Memang benar, kebenaran diambil dari siapa saja yang mengucapkannya, salafus saleh tidaklah ragu dalam hal mengambil kebenaran. Namun mereka sama sekali tidak pernah mengatakan: ambillah kebenaran dari kitab-kitab ahlul bid’ah dan tinggalkan kebatilannya, bahkan mereka berteriak dengan suara yang sangat lantang untuk meninggalkannya secara menyeluruh, bahkan mereka mengharuskan untuk melenyapkannya, sebab kebenaran yang terdapat didalam kitab-kitab ahli bid’ah pada hakekatnya diambil dari al-kitab dan as-sunnah. Maka yang wajib bagi kita adalah mengambil kebenaran dari sumber aslinya, yang tidak dicampuri oleh kotoran dan bid’ah, sebab itu merupakan sumber yang jernih dan air yang tawar".
Sebagai permisalan: ada dua sumber air, salah satunya jernih dan bersih, dan yang lainnya sebaliknya, penuh dengan lumpur, kotoran, dan comberan. Apakah orang yang berakal mengatakan: pergilah menuju mata air yang kedua, dan ambillah air darinya. Tentu orang yang berakal tidak akan mengatakan hal tersebut. Lalu bagaimana lagi halnya jika ditemukan ada orang yang memalingkan manusia dari air mata yang jernih dan tawar lalu mengajak mereka untuk mengambil dari sumber air yang kotor dan penuh comberan?.
Berkata Syaikh Abdurrahman bin Hasan Rahimahullah:
“Siapa yang memiliki semangat mencari kebenaran dengan dalil-dalil, maka didalam kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya, telah mencukupi dan menyembuhkan, keduanya adalah senjata setiap ahli tauhid dan orang yang kokoh, namun kitab-kitab ahlus sunnah semakin menambah penjelasan bagi orang yang semangat mempelajarinya, dan membantunya untuk memahaminya. Kalian telah mengetahui karya-karya tulis Syaikh Kami (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah) yang sudah mencukupi bila ditelaah. Maka wajib atas kalian meninggalkan ahlul bid’ah dan mengingkari mereka.”
(Ad-Durar As-Saniyah:3/211. Al-Ijma’, Syaikh Khalid: 60-61)
Diantara dalil yang menunjukkan larangan menukil ucapan yang datang dari selain ahlus sunnah, adalah hadits Jabir Radhiallahu anhu, bahwa Umar bin Khattab Radhiallahu anhu mendatangi Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dengan membawa sebuah kitab yang didapatkan dari sebagian ahli kitab. Lalu dibaca oleh Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dan Beliau marah, lalu berkata:
“Apakah engkau termask orang yang bingung wahai Ibnu Khattab? Demi Allah yang jiwaku berada ditangan-Nya, sungguh aku telah membawa kepada kalian syariat yang putih dan bersih, tidaklah Engkau bertanya kepada mereka (Ahli kitab) tentang sesuatu lalu mereka mengabarkan kepada kalian berupa kebenaran lalu kalian mendustakannya, atau mereka menyampaikan kebatilan lalu kalian membenarkannya. Demi Allah yang jiwaku berada ditangan-Nya, kalau seandainya Musa Alaihis salam hidup sekarang ini, maka tidak diperkenan baginya melainkan dia harus mengikuti Aku.” (HR.Ahmad :3/387, dihasankan Al-Albani dalam Al-Irwa’:6: 338-340)
Dalam riwayat lain Umar Radhiallahu anhu berkata:
إنا نسمع أحاديث من يهود تعجبنا أفترى أن نكتب بعضها
“Sesungguhnya kami mendengar beberapa ucapan orang yahudi yang kami kagum padanya, apakah menurutmu boleh kami mencatat sebagiannya?”
Maka Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam menjawab:
أمتهوكون أنتم كما تهوكت اليهود والنصارى لقد جئتكم بها بيضاء نقية ولو كان موسى حيا ما وسعه إلا اتباعي
“Apakah Engkau bingung seperti bingungnya Yahudi dan Nashara? sungguh aku telah membawa kepada kalian syariat yang putih dan bersih, kalau seandainya Musa Alaihis salam hidup sekarang ini, maka tidak diperkenan baginya melainkan dia harus mengikuti Aku.”
(HR. Al-Baghawi dalam tafsirnya dan dalam syarhus sunnah, dihasankan Al-Albani dalam Misykatul mashabiih: 177)
Diantara faedah yang penting yang dapat kita petik dari hadits ini adalah:
Pertama: bahwa Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam tidak mengingkari bahwa ahli kitab terkadang menyampaikan kebenaran. Perhatikan ucapan Beliau:
فَيُخْبِرُوكُمْ بِحَقٍّ
“Mereka mengabarkan kepada kalian berupa kebenaran”
Menunjukkan dengan jelas bahwa Beliau meyakini bahwa mereka terkadang menyampaikan kebenaran.
Kedua: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam melarang Umar Radhiallahu anhu dan juga umatnya dari membaca, menukil, atau dengan istilah yang lebih keren “copas” sebagian dari isi kitab yang datang dari ahli kitab tersebut, bukan karena Beliau Shallallahu Alaihi Wasallam mengingkari kebenaran yang kadang mereka sampaikan, namun karena Beliau telah membawa syariat yang sempurna yang telah cukup bagi umatnya dari mengambil alternatif lainnya, dan juga kekhawatiran Beliau akan terjatuhnya umat ini dalam penyimpangan, dan menganggap kebenaran yang mereka bawa sebagai kebatilan, dan menganggap kebatilan yang mereka bawa sebagai kebenaran, atau yang biasa diistilahkan dengan “mencampur adukkan antara yang haq dengan yang batil”.
Dari hadits ini, jangan sekali- kali ada yang menyangka bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam menolak kebenaran yang dibawa oleh ahli kitab, hanya karena Beliau melarang Umar bin Khattab Radhiallahu anhu menukil sebagian yang datang dari mereka, sebab memang harus dibedakan antara permasalahan “menerima kebenaran dari siapa saja datangnya”, dengan permasalahan “menukil ucapan yang datang dari selain ahlus sunnah.”
Semoga Allah memberi taufiq kepada kita semua. Amin.
__________________________________________________________
http://www.salafybpp.com/5-artikel-terbaru/179-beda-antara-qmenerima-kebenaranq-dengan-qmenukil-kebenaranq-dari-selain-ahlussunnah.html
0 komentar:
Posting Komentar