Malu adalah sifat pada diri seseorang yang akan membawa dirinya untuk melakukan tindakan yang menghiasi
dan membuat karakternya menjadi indah serta meninggalkan perkara yang akan mengotori dan membuat jelek karakternya. Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Tidaklah ada sifat malu itu pada sesuatu, melainkan ia akan menghiasinya.” (HR. At Tirmidzi, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani)
Dari Imran bin Hushain radhiallahu ‘anhuma, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Sifat malu itu tidak mendatangkan sesuatu melainkan kebaikan.”
(Muttafaq ‘alaih)
Dalam riwayat Muslim disebutkan,
وفي رواية لمسلمٍ : (( الحياءُ خَيْرٌ كُلُّهُ )) أَوْ قَالَ : الْحَيَاءُ كُلُّهُ خَيْرٌ
“Sifat malu itu baik seluruh akibatnya.” Atau beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Malu itu semuanya baik akibatnya.”
Maka kita dapati seseorang yang memiliki sifat pemalu apabila dia akan melalukan perkara yang haram atau meninggalkan perkara yang wajib maka dia akan malu terhadap Allah ‘azza wajalla. Dan jika akan melakukan sesuatu yang menyelisihi muru’ah, norma-norma yang berlaku di masyarakat, atau meninggalkan perkara yang sudah sepantasnya dia lakukan, maka dia akan merasa malu terhadap manusia. Sebaliknya orang yang tidak memiliki rasa malu maka dia akan mengerjakan segala sesuatu yang dia inginkan meski perkara tersebut bertentangan dengan syariat Allah maupun bertentangan dengan muru’ah.
Dari Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Sesungguhnya sebagian ajaran yang masih dikenal umat manusia dari perkataan para nabi terdahulu adalah: ‘Bila kamu tidak malu, berbuatlah sesukamu.” (HR. Al Bukhari)
Hakikat Malu
Al Imam An Nawawi menjelaskan bahwa para ulama berkata, “Hakikat sifat malu itu ialah suatu budi pekerti yang menyebabkan seorang itu meninggalkan apa-apa yang buruk dan menyebabkan ia tidak lengah untuk menunaikan haknya seorang yang mempunyai hak.” Beliau melanjutkan, “Kami meriwayatkan dari Abul Qasim al Junaid rahimahullah, beliau berkata, ‘Malu ialah perpaduan antara melihat berbagai macam kenikmatan atau karunia dan melihat adanya kelengahan, lalu tumbuhlah di antara kedua macam sifat yang di atas tadi suatu keadaan yang dinamakan sifat malu’.” (Riyadhus Shalihin)
Malu adalah Cabang Keimanan
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Keimanan itu ada tujuh puluh sekian cabang atau keimanan itu ada enam puluh sekian cabang. Seutama-utamanya ialah ucapan La ilaha illallah dan serendah-rendahnya ialah menyingkirkan gangguan dari jalan dan malu itu adalah cabang dari keimanan.” (Muttafaq ‘alaih)
Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma,
Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berjalan melalui seorang lelaki dari golongan kaum Anshar dan ia sedang menasihati saudaranya tentang hal sifat malu. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Biarkanlah ia, sebab sesungguhnya sifat malu itu termasuk dari keimanan.” (Muttafaq ‘alaih)
Kenapa malu disebut sebagai salah satu cabang keimanan? Hal ini dengan rasa malu yang ada pada dirinya seseorang akan malu apabila meninggalkan apa yang diperintahkan oleh Allah serta malu pula untuk melanggar apa yang dilarang oleh Allah subhanahu wata’ala.
Sifat Malu pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
Dari Abu Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
كَانَ رسول الله – صلى الله عليه وسلم – أشَدَّ حَيَاءً مِنَ العَذْرَاءِ في خِدْرِهَا ، فَإذَا رَأَى شَيْئاً يَكْرَهُهُ عَرَفْنَاهُ في وَجْهِه
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itu lebih pemalu daripada seorang gadis pingitan. Jikalau beliau shallallahu ‘alaihi wasallam melihat sesuatu yang tidak disenangi, maka kita dapat melihat itu tampak di wajahnya.” (Muttafaq ‘alaih)
Gadis dalam pingitan adalah gadis yang sangat pemalu, ini karena dia belum pernah menikah dan tidak pernah bergaul dengan lelaki. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lebih pemalu dari gadis pingitan seperti ini. Apabila melihat sesuatu yang tidak beliau senangi, beliau tidak reaktif, akan tetapi ketidaksukaan beliau hanya nampak dengan perubahan pada wajah beliau.
Malu yang Tercela
Sifat malu yang ada pada diri seseorang, hendaknya tidaklah menghalangi seseorang untuk bertafaqquh fiddin, belajar dan bertanya tentang permasalahan agama yang dia butuhkan. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,
“Sebaik-baiknya wanita adalah wanita Anshar. Rasa malu tidaklah menghalangi mereka untuk bertafaqquh, memahami agama ini.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam apabila mereka membutuhkan penjelasan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mereka tidak malu untuk langsung bertanya, sebagaimana yang dilakukan oleh Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha. Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, beliau berkisah,
Ummu Sulaim datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu terhadap kebenaran. Apakah seorang wanita wajib mandi jika bermimpi?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ya, apabila ia melihat air (mani).” (Muttafaqun ‘alaihi)
Rasa malu yang menghalangi seseorang dari tafaqquh fiddin, memahami agama, bukanlah rasa malu yang terpuji. Sebaliknya rasa malu yang semacam ini adalah rasa malu yang tercela.
Dari Abu Waqid al-Harits bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu bahwasanya pada suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sedang duduk dalam masjid beserta orang banyak. Lalu ada tiga orang yang datang. Kedua orang itu berdiri di depan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Adapun yang seorang, setelah ia melihat ada tempat yang lapang dalam majelis itu, lalu terus duduk di situ, sedang yang satu lagi duduk di belakang orang banyak, sedangkan orang ketiga terus menyingkir dan pergi. Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selesai beliau bersabda, “Tidakkah engkau semua suka kalau saya memberitahukan perihal tiga orang? Adapun yang seorang (yang melihat ada tempat lapang terus duduk di situ – pent), maka ia menempatkan dirinya kepada Allah, kemudian Allah memberikan tempat padanya. Adapun yang lainnya (yang duduk di belakang orang banyak – pent), ia adalah malu, maka Allah pun malu padanya, sedangkan yang seorang lagi (yang menyingkir dari majelis – pent), ia memalingkan diri, maka Allah juga berpaling dari orang itu.” (Muttafaq ‘alaih)
Demikianlah sedikit pembahasan tentang malu. Semoga bisa bermanfaat. Wallahu ta’ala a’lam bishshawab.
_________________
Oleh: Abu Umar Al Bankawy
Referensi: - Syarah Riyadhis Shalihin, Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
dan membuat karakternya menjadi indah serta meninggalkan perkara yang akan mengotori dan membuat jelek karakternya. Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
وَمَا كَانَ الحَيَاءُ فِي شَيْءٍ إلاَّ زَانَهُ
“Tidaklah ada sifat malu itu pada sesuatu, melainkan ia akan menghiasinya.” (HR. At Tirmidzi, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani)
Dari Imran bin Hushain radhiallahu ‘anhuma, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الْحَيَاءُ لاَ يَأْتِي إِلاَّ بِخَيْرٍ
“Sifat malu itu tidak mendatangkan sesuatu melainkan kebaikan.”
(Muttafaq ‘alaih)
Dalam riwayat Muslim disebutkan,
وفي رواية لمسلمٍ : (( الحياءُ خَيْرٌ كُلُّهُ )) أَوْ قَالَ : الْحَيَاءُ كُلُّهُ خَيْرٌ
“Sifat malu itu baik seluruh akibatnya.” Atau beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Malu itu semuanya baik akibatnya.”
Maka kita dapati seseorang yang memiliki sifat pemalu apabila dia akan melalukan perkara yang haram atau meninggalkan perkara yang wajib maka dia akan malu terhadap Allah ‘azza wajalla. Dan jika akan melakukan sesuatu yang menyelisihi muru’ah, norma-norma yang berlaku di masyarakat, atau meninggalkan perkara yang sudah sepantasnya dia lakukan, maka dia akan merasa malu terhadap manusia. Sebaliknya orang yang tidak memiliki rasa malu maka dia akan mengerjakan segala sesuatu yang dia inginkan meski perkara tersebut bertentangan dengan syariat Allah maupun bertentangan dengan muru’ah.
Dari Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ
“Sesungguhnya sebagian ajaran yang masih dikenal umat manusia dari perkataan para nabi terdahulu adalah: ‘Bila kamu tidak malu, berbuatlah sesukamu.” (HR. Al Bukhari)
Hakikat Malu
Al Imam An Nawawi menjelaskan bahwa para ulama berkata, “Hakikat sifat malu itu ialah suatu budi pekerti yang menyebabkan seorang itu meninggalkan apa-apa yang buruk dan menyebabkan ia tidak lengah untuk menunaikan haknya seorang yang mempunyai hak.” Beliau melanjutkan, “Kami meriwayatkan dari Abul Qasim al Junaid rahimahullah, beliau berkata, ‘Malu ialah perpaduan antara melihat berbagai macam kenikmatan atau karunia dan melihat adanya kelengahan, lalu tumbuhlah di antara kedua macam sifat yang di atas tadi suatu keadaan yang dinamakan sifat malu’.” (Riyadhus Shalihin)
Malu adalah Cabang Keimanan
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Keimanan itu ada tujuh puluh sekian cabang atau keimanan itu ada enam puluh sekian cabang. Seutama-utamanya ialah ucapan La ilaha illallah dan serendah-rendahnya ialah menyingkirkan gangguan dari jalan dan malu itu adalah cabang dari keimanan.” (Muttafaq ‘alaih)
Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma,
Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berjalan melalui seorang lelaki dari golongan kaum Anshar dan ia sedang menasihati saudaranya tentang hal sifat malu. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Biarkanlah ia, sebab sesungguhnya sifat malu itu termasuk dari keimanan.” (Muttafaq ‘alaih)
Kenapa malu disebut sebagai salah satu cabang keimanan? Hal ini dengan rasa malu yang ada pada dirinya seseorang akan malu apabila meninggalkan apa yang diperintahkan oleh Allah serta malu pula untuk melanggar apa yang dilarang oleh Allah subhanahu wata’ala.
Sifat Malu pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
Dari Abu Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
كَانَ رسول الله – صلى الله عليه وسلم – أشَدَّ حَيَاءً مِنَ العَذْرَاءِ في خِدْرِهَا ، فَإذَا رَأَى شَيْئاً يَكْرَهُهُ عَرَفْنَاهُ في وَجْهِه
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itu lebih pemalu daripada seorang gadis pingitan. Jikalau beliau shallallahu ‘alaihi wasallam melihat sesuatu yang tidak disenangi, maka kita dapat melihat itu tampak di wajahnya.” (Muttafaq ‘alaih)
Gadis dalam pingitan adalah gadis yang sangat pemalu, ini karena dia belum pernah menikah dan tidak pernah bergaul dengan lelaki. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lebih pemalu dari gadis pingitan seperti ini. Apabila melihat sesuatu yang tidak beliau senangi, beliau tidak reaktif, akan tetapi ketidaksukaan beliau hanya nampak dengan perubahan pada wajah beliau.
Malu yang Tercela
Sifat malu yang ada pada diri seseorang, hendaknya tidaklah menghalangi seseorang untuk bertafaqquh fiddin, belajar dan bertanya tentang permasalahan agama yang dia butuhkan. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,
نِعْمَ النِّسَاءُ نِسَاءُ الْأَنْصَارِ لَمْ يَمْنَعْهُنَّ الْحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فِي الدِّينِ
“Sebaik-baiknya wanita adalah wanita Anshar. Rasa malu tidaklah menghalangi mereka untuk bertafaqquh, memahami agama ini.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam apabila mereka membutuhkan penjelasan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mereka tidak malu untuk langsung bertanya, sebagaimana yang dilakukan oleh Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha. Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, beliau berkisah,
Ummu Sulaim datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu terhadap kebenaran. Apakah seorang wanita wajib mandi jika bermimpi?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ya, apabila ia melihat air (mani).” (Muttafaqun ‘alaihi)
Rasa malu yang menghalangi seseorang dari tafaqquh fiddin, memahami agama, bukanlah rasa malu yang terpuji. Sebaliknya rasa malu yang semacam ini adalah rasa malu yang tercela.
Dari Abu Waqid al-Harits bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu bahwasanya pada suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sedang duduk dalam masjid beserta orang banyak. Lalu ada tiga orang yang datang. Kedua orang itu berdiri di depan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Adapun yang seorang, setelah ia melihat ada tempat yang lapang dalam majelis itu, lalu terus duduk di situ, sedang yang satu lagi duduk di belakang orang banyak, sedangkan orang ketiga terus menyingkir dan pergi. Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selesai beliau bersabda, “Tidakkah engkau semua suka kalau saya memberitahukan perihal tiga orang? Adapun yang seorang (yang melihat ada tempat lapang terus duduk di situ – pent), maka ia menempatkan dirinya kepada Allah, kemudian Allah memberikan tempat padanya. Adapun yang lainnya (yang duduk di belakang orang banyak – pent), ia adalah malu, maka Allah pun malu padanya, sedangkan yang seorang lagi (yang menyingkir dari majelis – pent), ia memalingkan diri, maka Allah juga berpaling dari orang itu.” (Muttafaq ‘alaih)
Demikianlah sedikit pembahasan tentang malu. Semoga bisa bermanfaat. Wallahu ta’ala a’lam bishshawab.
_________________
Oleh: Abu Umar Al Bankawy
Referensi: - Syarah Riyadhis Shalihin, Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
0 komentar:
Posting Komentar