Cinta itu anugerah. Siapapun berhak merasakan apa itu cinta.
Cinta tak pernah pandang bulu.
Datangnya cinta juga kurang ajar, di mana dan dengan siapa, terserah.
Aku rasa zaman sekarang pun anak usia PAUD sudah ada yang jatuh cinta. Betul tidak? Jadi kalau tahun 1999-an pas aku duduk di kelas 2 SD sudah jatuh cinta boleh juga kan? #boleh!
Layaknya, aku sebut cintaku dulu itu cinta monyet. Akan tetapi, Wikipedia mengartikan cinta monyet itu adalah perasaan cinta yang terjadi antara sepasang anak muda yang masih dalam masa remaja. Masa remaja? Aku saat itu masih kelas 2 SD, jadi bukan cinta monyet, melainkan cinta anak monyet.
Cinta yang aku kenal saat itu hanyalah sebuah perasaan deg-deg-an tiap kali saling berpandangan atau saat berpapasan dengannya. Tiap kali mendapatkan senyumannya, alamaak langsung panas pipiku dan salah tingkah. Bisik-bisik dengan teman sebangkuku adalah pelarian yang manjur. Itulah cinta dalam artianku. Ah, kalau mengingatnya aku hanya bisa nyengir.
Namanya Joko Samudro. Anak baru pindahan dari Solo. Pertama masuk kelas, dia berkenalan layaknya cerita anak sekolahan seperti di sinetron-sinetron masa kini. Dari perkenalan itu, aku memiliki panggilan sayang untuknya, Jojo (dia dulu kayak Joshua, sekarang???)
“Anak Mami!”
Jojo memang mendapat julukan anak mami. Setiap hari dijemput ibunya di depan kelas. Mungkin dulu aku juga termasuk yang memberikan julukan seperti itu. Tapi sekarang sih tahu kenapa Jojo selalu dijemput, maklum anak baru.
Jojo itu pemalu, makanya dia tak cepat punya teman. Hal itu diperparah lagi dengan keberadaan teman-teman cowok di kelasku yang hobi banget nge-bully. Dia salah satu korbannya. Melihat Jojo (orang lain juga) di-bully, siapa yang tahan? Datanglah aku sebagai pahlawan kesiangan. Dengan ketomboy-an yang melekat dalam diriku, aku sering belain Jojo di depan anak-anak cowok (nyengir lagi kalau ingat). Jangan dibayangin ya kalau Jojo kemudian jatuh cinta padaku karena sudah aku bantuin waktu dijahilin teman-teman. Yang ada Jojo justru sangat dingin.Tak tahu terimakasih dan sok cool, menurutku.
Foto jadul. Coba tebak aku yang mana? Hihihi...yang topi putih itu lho. Tomboy banget kan? |
Sedingin apapun Jojo, aku malah semakin penasaran (aku kalau ingat malah nyengir lagi). Setiap di kelas aku sering curi-curi pandang ke arah Jojo. Sayangnya, tak selalu ku dapati Jojo juga memandang ke arahku (kasian banget aku). Sekali berpapasan, akunya malah gelagapan sendiri. Idiih.. anak kecil woy!
Teknologi saat itu tak secanggih masa kini, sudah beberapa bulan (aku lupa) dia ada di sekolah aku makin beringasan. Ku nanti dia di depan kelas sambil tanganku menggenggam sesuatu.
“Joko, iki surat kanggo kowe (ini surat buat kamu).”
Di depan teman-teman aku memberikan surat cinta kepada Jojo. Bukan Jojo namanya kalau nggak sok cool. Jojo tidak mau menerima suratku. Aku sedikit memaksa, dan tahu apa yang dia lakukan? Membuka surat itu saja tidak tapi dia langsung merobek dan dibuangnya di tempat sampah. Apakah aku malu? Jangan ditanya!!!
Seingatku, semenjak kejadian itu aku jadi nggak respect dengan Jojo. Biasa saja, mungkin karena patah hati juga. Berbeda dengan teman-teman, justru mereka sangat ramai memasangkan aku dengan dia. Seringkali aku lihat ada teman yang menulis di papan tulis, Ika CS (cinta selalu) Joko. Hah! Anak-anak (kenapa aku baru sadar sekarang ya?)! Sampai saat kami kelas 6 SD ujung-ujungnya justru dia yang ngejar-ngejar aku. Dia baru tahu kali ya kalau aku ini begitu menggoda (Hahahaha).
Yang masih ku ingat tentang Jojo, kita pernah naik sepeda berdua, pakai payung berdua. Hahaha, ceritanya dulu kita les privat pada guru yang sama. Setiap hari dia jemput aku, sumpah! Kalau malam pun dia sering belajar bersama di rumahku (Aku nyengir lagi nih). Dia juga pernah memberikan hadiah coklat padaku. Bahkan ketika aku ulang tahun dia memberikan tempat pensil yang diberi nama JIKA (Joko dan Ika). Kita juga punya lagu favorit, Jikustik dengan judul Puisi.
Apakah cerita cintaku ini happy ending atau mungkin sad ending?
Dulu, satu minggu setelah ujian sekolah, dia menitipkan surat kepada Mas Rasad (tetanggaku sekaligus teman sekelasku juga). Mau tahu isinya apa? Iya, dia bilang suka denganku. Senangnya hatiku. Seperti ada bunga sepatu yang terbang di belakangku. Tapi kebahagiaan itu tak sampai di tanda titik akhir surat darinya. Surat itu sekaligus penyampai salam perpisahan dari Jojo. Jojo kembali ke Solo.
Rasanya saat itu aku benar-benar sadar dan bisa merasakan apa itu patah hati. Sangat pedih. Anak berusia 12 tahun sudah tahu apa itu ditinggalkan tanpa pamit, digantung (Aku ini dewasa sebelum waktunya deh)? Di sinilah aku merasakan peran bapak dan ibu yang begitu besar. Mereka selalu memotivasiku untuk fokus sekolah. Mereka memilihkan sekolah yang terbaik untukku dan di sekolah baru ini aku harus belajar sungguh-sungguh agar tetap bisa di berada di kelas unggulan.
Satu bulan, dua bulan, setiap kali weekend Jojo sering pulang ke rumah, dia juga main ke rumahku, tiga bulan tidak ada kabar, sampai akhirnya dia lenyap. Terakhir kali bertemu dengan Jojo satu tahun lalu. Deg-deg-an, perasaan itu masih ada. Tapi tak seperti dulu. Dari cerita Jojo, ku tahu saat ini Jojo kuliah di salah satu sekolah kesehatan di Semarang.
Aku punya cerita jalan hidupku, begitu dengan Jojo.
Dia hanya kenangan.
Satu bulan, dua bulan, setiap kali weekend Jojo sering pulang ke rumah, dia juga main ke rumahku, tiga bulan tidak ada kabar, sampai akhirnya dia lenyap. Terakhir kali bertemu dengan Jojo satu tahun lalu. Deg-deg-an, perasaan itu masih ada. Tapi tak seperti dulu. Dari cerita Jojo, ku tahu saat ini Jojo kuliah di salah satu sekolah kesehatan di Semarang.
Aku punya cerita jalan hidupku, begitu dengan Jojo.
Dia hanya kenangan.
Tulisan ini dikutsertakan dalam #GivewayBlogMamad
0 komentar:
Posting Komentar