Namaku dipanggil pada urutan ketiga ketika hari kelulusan tiba. Aku menjadi lulusan terbaik di SMP tercintaku. “Terimakasih ya Allah.”
***
Malam itu aku berdoa ketika bapak dan ibuku terlelap. Aku memohon kepada-Nya, aku lulus dan diterima di SMA pilihan ibu. Semua terkabul. Sebagai balas cinta Allah kepadaku, aku berjanji ketika masuk SMA aku akan menutup auratku.
Janjiku itu setengah hati.
Aku tomboy. Aku yang sering main sepak bola bersama teman laki-laki di kelasku, aku yang selalu dipanggil pertama kali ketika bola basket menggelinding di lapangan, aku yang dengan terpaksa memakai rok ketika sekolah, dan aku yang selalu jadi juara ketika lomba lari di sekolah, serta aku yang berkulit sawo matang lengkap dengan rambut keritingku. Aku malu kawan-kawanku tak bisa menerimaku.
Aku adalah Ika Hardiyan Aksari yang menutup aurat karena malu dengan kulit sawo matangku dan rambut keritingku. Bukan karena Allah. Bukan karena janji dengan Allah.
***
Tiga tahun aku menyelami duniaku di SMA pilihan ibu dengan rasa hampa. Jalanku seperti terseok-seok. Tak sadar apakah penyebabnya.
Suatu hari, aku bertandang ke rumah kawanku. Sebut saja namanya Akbar. Kami sama. Sama-sama satu kelas, sama-sama anak tunggal. Tapi kami juga berbeda. Dia dilahirkan di tengah keluarga yang sering membuatku iri.
Hari itu, aku, Akbar dan Ayah Akbar sedang sholat dzuhur berjamaah. Rasanya begitu hikmat. Tak ku duga air mataku menetes. Aku iri. Aku rindu. Aku ingin seperti ini. Aku ingin berjamaah juga dengan bapakku. Aku diam. Mereka meninggalkan aku bersama bulir-bulir air yang tumpah dari mataku.
Semenjak hari itu, tepat hari terakhir aku merasakan seragam putih abu-abuku, aku memutuskan untuk menutup auratku dengan sungguh-sungguh. Aku ingin memenuhi janjiku yang selama ini tertunda kepada Allah. Aku yang dulu ketika sekolah memakai jilbab lebar, tapi ketika di rumah hanya memakai kaos gombrong dan celana pendek di atas lutut. Aku ingin berubah.
***
Aku pandangi kaca panjang di dinding kamar kos ku. Aku cantik. Memuji diri sendiri. Dengan jilbab lebar warna merah jambu dan baju bermotif bunga-bunga kecil berwarna dasar ungu. Aku bertekad, “Ya Allah akan ku penuhi janjiku.”
Aku pulang ke rumah. Memasuki gang rumah dengan senyum siap menyapa. Rasanya ini adalah babak baru dalam hidupku. Aku ingin segera bertemu dengan bapak ibuku. Tak sabar.
Namun, apa yang aku dapat. Aku bertemu dengan orang yang mungkin sudah dikirim oleh Allah untuk menyentilku. “Bapaknya saja tidak pernah masuk masjid, anaknya kok berjilbab.” Aku berlari. Sekuat-kuatnya meninggalkan orang tersebut. Merasa ingin segera menenggelamkan tubuhku di bawah kolong kasurku. Rasanya seakan-akan ada petir yang menyambar kepalaku di siang bolong.
Aku tidak memperdulikan lagi bapak yang siap menantiku di depan rumah. Aku segera masuk kamar dan membanting tubuhku di atas ranjang. Berbincang dengan diriku sendiri. Menghakimi diriku sendiri.
“Apakah karena bapakku tidak pernah pergi sholat Jumat kemudian aku tidak pantas melaksanakan kewajibanku kepadaMu, ya Allah? Apakah karena aku terlambat memenuhi janjiku kepadaMu?” Aku masih terisak dalam sedihku. Terbayang wajah bapakku. Sekelebat rasa benci itu hadir. Bapakku. Bagaimanapun juga dia adalah bapakku. Aku tidak bisa merequest bagaimana bapakku sesuai dengan keinginan kepada Allah. Aku tetap bangga pada bapakku. Karenanya aku ada di dunia ini. Karenanya aku bisa berdiri setegak ini. Tidak hanya ibu yang menjadi ibu terhebat di dunia bagiku, tapi juga bapakku. Bapak terhebat di dunia.
0 komentar:
Posting Komentar