Keterbatasan yang dimiliki oleh Bakri (40) yaitu kehilangan kaki sebelah kiri tak membuatnya minder, apalagi malas untuk berkarya.
Dengan memaksimalkan potensi yang dimiliki, ia sukses mendirikan Sekolah Luar Biasa (SLB) Fajar Amanah di Perawang Kecamatan Tualang, walau dua tahun harus merasa pahit mendapat hinaan.
Dengan wajah berkaca-kaca, Muhammad Bakri maju ke lapangan upacara untuk menerima penghargaan dari Bupati Siak Drs H Syamsuar MSi pada perayaan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2 Mei.
Penghargaan yang diberikan kepada pria kelahiran Air Tiris Kabupaten Kampar ini, atas dedikasinya dalam mengelola SLB bagi semua anak yang memiliki cacat tubuh.
Awal mendirikan sekolah sebut Kepala Sekolah Fajar Amanah ini, bermula saat dirinya mendapat kecelakaan kerja di PT IKPP tahun 2001. Kecelakan itu membuat satu anggota tubuhnya yaitu kaki kiri harus hilang dan saat ini menggunakan kaki palsu, sehingga mebuatnya dirinya cacat.
Selama setahun menjalani perawatan yang ditanggung oleh perusahaan ia kembali bekerja, alhasil pekerjaan yang dia geluti tak berjalan maksimal. ‘’Saya mendapat nilai C terus,’’ kata dia mengenang kejadian itu.
Bekerja dengan kondisi cacat selama lima tahun, membuatnya tak nyaman. Tepat tahun 2006, suami Bustari ini mengundurkan diri dari perusahaan tempatnya bekerja.
Bahkan keputusan berat yang diambilnya itu mendapat dukungan penuh dari istri tercinta. ‘’Memang terasa berat memutuskan hal itu, karena harus hilang pekerjaan yang sudah barang tentu tak ada penghasilan. Akan tetapi saya meyakini rezeki itu sudah diatur, asalkan mau berusaha,’’ kata dia.
Tak kala dia mengundurkan diri dari perusahaan, lanjutnya, sang istri sudah memiliki usaha sampingan dengan berjualan di rumah. Perlahan demi perlahan, tak tega ia melihat istrinya mencari nafkah mulai berfikir untuk mencari kerja.
Dengan memaksimalkan potensi yang dimiliki, iapun memanfaatkan uang dari klaim Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) sebesar Rp32 juta untuk mendirikan sekolah yang diperuntukkan bagi anak-anak yang mengalami cacat.
Namun, sebelum niatnya mendirikan sekolah itu diwujudkan, selama dua tahun dirinya mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan berupa ejekan, makian, dan hinaan dari warga tempatnya berada.
‘’Niat saya kala itu ingin mengajak warga mendirikan sekolah bagi anak cacat, namun bukan dukungan malah sebaliknya. Saya diludahi empat kali,’’ kata dia sedih.
Perlakuan yang tak mengenakkan itu kata Fikri, membuatnya termotivasi untuk giat dan bersemangat membuktikan jika dirinya mampu mewujudkan hal itu.
Berbekal pengalaman sebelum dapat musibaah yaitu melaksanakan baksi sosial kepada anak-anak cacat, dirinya tahu untuk memulainya. ‘’Anda dapat rasakan jika di posisi saya mendapat perlakuan seperti itu,’’ ujar dia.
Perjuangan dalam mendirikan sekolah ini diakui dia mendapat tantangan terberat dalam hidupnya, dengan berbekal rasa keyakinan dan prinsip jangan menghitung anggota tubuh yang hilang, melainkan manfaatkan apa yang tersisa akhirnya impiannya itu terwujud. ***
Dengan memaksimalkan potensi yang dimiliki, ia sukses mendirikan Sekolah Luar Biasa (SLB) Fajar Amanah di Perawang Kecamatan Tualang, walau dua tahun harus merasa pahit mendapat hinaan.
Dengan wajah berkaca-kaca, Muhammad Bakri maju ke lapangan upacara untuk menerima penghargaan dari Bupati Siak Drs H Syamsuar MSi pada perayaan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2 Mei.
Penghargaan yang diberikan kepada pria kelahiran Air Tiris Kabupaten Kampar ini, atas dedikasinya dalam mengelola SLB bagi semua anak yang memiliki cacat tubuh.
Awal mendirikan sekolah sebut Kepala Sekolah Fajar Amanah ini, bermula saat dirinya mendapat kecelakaan kerja di PT IKPP tahun 2001. Kecelakan itu membuat satu anggota tubuhnya yaitu kaki kiri harus hilang dan saat ini menggunakan kaki palsu, sehingga mebuatnya dirinya cacat.
Selama setahun menjalani perawatan yang ditanggung oleh perusahaan ia kembali bekerja, alhasil pekerjaan yang dia geluti tak berjalan maksimal. ‘’Saya mendapat nilai C terus,’’ kata dia mengenang kejadian itu.
Bekerja dengan kondisi cacat selama lima tahun, membuatnya tak nyaman. Tepat tahun 2006, suami Bustari ini mengundurkan diri dari perusahaan tempatnya bekerja.
Bahkan keputusan berat yang diambilnya itu mendapat dukungan penuh dari istri tercinta. ‘’Memang terasa berat memutuskan hal itu, karena harus hilang pekerjaan yang sudah barang tentu tak ada penghasilan. Akan tetapi saya meyakini rezeki itu sudah diatur, asalkan mau berusaha,’’ kata dia.
Tak kala dia mengundurkan diri dari perusahaan, lanjutnya, sang istri sudah memiliki usaha sampingan dengan berjualan di rumah. Perlahan demi perlahan, tak tega ia melihat istrinya mencari nafkah mulai berfikir untuk mencari kerja.
Dengan memaksimalkan potensi yang dimiliki, iapun memanfaatkan uang dari klaim Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) sebesar Rp32 juta untuk mendirikan sekolah yang diperuntukkan bagi anak-anak yang mengalami cacat.
Namun, sebelum niatnya mendirikan sekolah itu diwujudkan, selama dua tahun dirinya mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan berupa ejekan, makian, dan hinaan dari warga tempatnya berada.
‘’Niat saya kala itu ingin mengajak warga mendirikan sekolah bagi anak cacat, namun bukan dukungan malah sebaliknya. Saya diludahi empat kali,’’ kata dia sedih.
Perlakuan yang tak mengenakkan itu kata Fikri, membuatnya termotivasi untuk giat dan bersemangat membuktikan jika dirinya mampu mewujudkan hal itu.
Berbekal pengalaman sebelum dapat musibaah yaitu melaksanakan baksi sosial kepada anak-anak cacat, dirinya tahu untuk memulainya. ‘’Anda dapat rasakan jika di posisi saya mendapat perlakuan seperti itu,’’ ujar dia.
Perjuangan dalam mendirikan sekolah ini diakui dia mendapat tantangan terberat dalam hidupnya, dengan berbekal rasa keyakinan dan prinsip jangan menghitung anggota tubuh yang hilang, melainkan manfaatkan apa yang tersisa akhirnya impiannya itu terwujud. ***
Laporan:Alfiadi, Siak alfiadi@riaupos.co.id
0 komentar:
Posting Komentar