Waktu menuliskan cerita ini radio di hapeku sedang memutar lagu “Selimut Hati”. Suara laki-laki gondrong yang kerap dipanggil Once itu sungguh khas di telingaku.
“Selimuti hatiku...”
“Selimuti hatiku...”
Begitulah ending lagu tersebut.
Selimut hati. Otakku mulai mengencer, mencari arti dua kata tersebut. Selimut dalam KBBI berarti pelindung tubuh, sedangkan hati adalah organ tubuh yang berwarna kemerah-merahan di bagian kanan atas rongga perut. Jadi, secara harafiah selimut hati adalah pelindung organ tubuh. Haha.. ya paling tidak seperti itulah.
Menurut kamu selimut hati itu apa? Bagaimana kalau aku mengartikan sebagai salah satu “penghambat” dalam diri. Selimut itu menutupi, apabila langkah kita ada yang menutupi pasti langkah kita pun akan terbatas. Layaknya ketika musim hujan, aku hanya nyaman ketika berada di balik selimut. Tak ingin lepas dan hanya ingin bermalas-malasan di atas tempat tidurku.
Aku pastikan lagi, ini selimut hati bagiku.
3 minggu ini, aku merasakan ada ketidak-beresan dalam diriku. Ada oenghambat. Bodohnya aku tak tahu apa penyebabnya dan bagaimana cara mengendalikannya. Naluri ibu, seringkali mencium ketidak beresan pada diriku.
“Cah ayu, akhir-akhir ini kok jarang sekali megang skripsi?” tanya ibu sambil mengelus punggungku, malam kemarin.
Akunya malah nyengir. “Ngumpulin semangtnya susah buk.” jawabku sekenanya.
Ya, setiap kali hendak menghidupkan notebook rasanya begitu berat. Sampai ada teman blogger yang berujar, “Jangan sampai terlena dan down.” nasihat beliau.
Yah, beliau sudah pernah melewati masa itu. Tahu persis apa yang aku rasakan. Dan kedua kata tersebut saat ini aku rasakan dan rasanya begitu menguasai hatiku.
Kembali ke cerita tentang ibu. Setelah mendengar jawabanku, ibu malah mencari dompetnya.
“Ini buat beli pulsa, tapi harus semangat lagi ya?” kata ibu terdengar renyah di telingaku.
“Lho sejak kapan ibu harus memberi jatah beli pulsaku?”cegahku. Belum selesai cegahku, bapak ikutan membuka dompetnya.
“Bapak ya kasih Rp 10.000 wis.”
“Waduh, apa-apaan ini kok malah menakutkan.” kataku nggak nyambung banget, aku pun sadar.
“Loh, kok menakutkan to?” ibu heran.
Aku tak menjawab dan masuk kamar. Tak ku sadari ibu menyusulku.
“Ini diterima saja.” Ibu memberikan dua lembar uang sepuluh ribuan.
“Ibu ngerti semangatmu nggak bisa dibeli dengan uang Rp 20.000, tapi bue pengen kamu semangat lagi.”
“Halah...ibu.” elakku, namun aku mengharu.
“Sudahlah, ini (memberikan uang sepuluh ribu) uang bayaran jahitan tadi, dari ibu. Yang ini (memberikan lagi uang sepuluh ribu) dari bapak, batine dodol (keuntungan menjual) pisang. Diterima ya? Maaf, bapak ibu baru bisa membeli semangatmu dengan uang Rp 20.000.” ibu undur diri.
Aku mematung di tempat. Menangis.
0 komentar:
Posting Komentar