Memiliki anak yang cerdas memang idaman setiap orang tua. Tapi yang perlu diingat, itu semua tidak bisa dipukul rata untuk setiap anak. Mereka memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Seperti halnya keponakan saya, Rena.
Oktober nanti Rena berusia 5 tahun. Saat ini sudah masuk TK (tanpa masuk PAUD). Sudah bisa apa dia? Alhamdulillah, dia sudah bisa memegang pensil dengan benar dan pandai meniru. Meniru baik dalam hal menulis, menari, menyanyi, bahkan membuat sesuatu. Satu kekurangannya, dia belum bisa membedakan warna. Kalau hanya menirukan ucapan merah, kuning, hijau, dia handal, tapi kalau menghafalkan?
|
Rena mengantuk tapi masih ingin belajar |
Ya, selama ini dia menyebutkan warna merah dengan warna stoberi, warna oranye dengan warna jeruk, warna hijau dengan warna daun, dll. Inilah PR penting bagi saya. Dia mewarnai OK, bahkan menggambar hooo~ jangan ditanya, dia sudah bisa menggambar “kakak laki-laki dengan mengenakan topi” lho.
Setiap ada kesempatan, setelah pulang mengaji, kira-kira pukul 19.00 WIB, Rena selalu datang ke rumah saya lengkap dengan tasnya. Mengambil meja dan kursi kemudian masuk kamar dan “Ayo De Ka, belajar!”
Kala itu saya berpikir dia harus belajar membedakan warna. Kapan lagi? Tahukah Anda cara apa yang saya gunakan?
Cara pertama, secara konvensional saya menggunakan krayon yang dia miliki sebagai media. Mengambil satu per satu krayon saya tunjukkan kemudian menyebutkan warnanya dan dia menirukan. Awalnya saya menyebutkan 6 warna, tak satupun dia hafal. GAGAL.
Cara kedua, dengan cara pertama saya modifikasi dengan hukuman. Apa hukumannya? Tenang, hukumannya dijamin aman. Bedak. Ya, jadi kalau Rena salah menyebutkan warna maka wajahnya akan saya coret. Sebaliknya, kalau dia benar maka wajah saya yang akan dicoret olehnya. Berhasilkah cara saya ini? Lumayan, tapi saat istirahat sebentar kemudian saya ulang, eh eh eh Rena lupa lagi. Ini anak memang cara belajarnya lemah pada mengahafal. GAGAL.
|
Wajah Rena yang cemong |
Cara ketiga, Gara-gara meja belajarnya ada gambarnya, saya jadi mengaitkan warnya yang ada dengan warna krayon yang dia miliki. Pas saya menyebutkan warna merah, kuning, dan hijau, tahu-tahu Rena bilang, “Itu tho kayak werno pelangi, aku ngerti (Itu seperti warna pelangi, aku tahu)”. Terbesitlah, kenapa tidak dengan bernyanyi saja?
Tahu lah ya, lagu apa yang saya maksud. Yups! Pelangi-pelangi! Menyanyilah kami, saat sampai pada lirik “merah, kuning, hijau, di langit yang biru”, saya sambil menunjukkan krayon dengan warna tersebut. Apa yang terjadi? Cara ini BERHASIL lho. Ya sih hanya 4 warna, tapi yang penting sudah ada kemajuan lah ya.
Namanya juga anak-anak, otaknya akan lebih mudah menerima sesuatu yang konkret. Hehehe. Kenapa nggak kepikiran dari kemarin-kemarin ya? Tapi apa yang Rena alami bisa jadi terjadi juga pada anak atau saudara Anda, bisa jadi juga tidak. Selain itu, kita juga tidak bisa menyamakan cara berpikir kita kepada mereka. Jangan sering mengagungkan kata “kamu harus bisa”. Lebih baik pahami kelebihan apa yang mereka miliki, dan poles pelan-pelan kekurangan mereka. Ingat! Anak itu bukan robot yang baterainya bisa kita ganti setelah ngambek.