Pernah membayangkan kalau cerita di film-film terjadi pula di dalam kehidupan Anda? Sedikitpun tidak, bagi saya. Tapi ternyata dugaan saya salah.
Apakah Anda pernah menonton sebuah film dengan judul Hari untuk Amanda? Film yang mengisahkan seorang gadis bernama Amanda. Ia hampir saja tergoda dengan mantan pacarnya saat hari pernikahannya bersama laki-laki pilihannya tinggal menghitung hari.
Pun saya seperti Amanda. Tanpa sengaja saya bertemu cinta pertama saya. Cinta yang sejak lama saya tunggu semenjak perpisahan itu. Perpisahan yang tidak kami inginkan. Dia harus pindah ke Solo karena melanjutkan sekolah (SMP) di sana. Aih, kalau ingat janjinya akan selalu mengirim kabar kepada saya, jadi ngilu.
Pertemuan itu terjadi saat saya membeli air minum isi ulang tak jauh dari rumah. Saat saya sedang menunggu antrian, saya duduk menghadap ke arah jalan raya. Di depan sana, di sebuah konter ada seorang laki-laki yang sepertinya saya kenal.
Agak ragu, kami saling menunjuk. Saya menyebut namanya, begitu juga dengannya. Seperti di film-film.
Tahukah apa yang saya rasakan? Deg-deg-ser, jedag-jedug!! Rasa itu serta merta dan tanpa aba-aba memenuhi dada saya. Seiring dengan langkahnya menghampiri saya. Semakin dekat, jedag-jedugnya semakin menjadi-jadi.
Benarkah laki-laki yang ada di depan saya ini adalah dia, orang yang pernah meninggalkan saya dengan janjinya yang terbawa hingga SMA?
“Apa kabar?” tanyanya.
Dia sudah berubah. Dia tidak lagi seperti dulu. Laki-laki pemalu yang hanya mau berbicara dengan saya seorang.
“Baik sekali.” jawab saya mantab. Meskipun terdengar agak bergetar dan jelas, saya gugup. Dia? Sepertinya biasa saja. Atau?
Kami berbicara ngalor-ngidul. Membicarakan kabar teman SD, soal kuliah, dan apa-apa yang bisa dibahas. Di depannya saya tak bisa berkutik. Bahkan terlihat sangat blo-on. Otak jadi buntu mau bahas apa. Deg-deg-ser.
“Kemana saja selama ini?” bibir saya tak bersahabat. Mengucapkan kalimat yang tentu akan membuatnya GR. Tapi saya pikir kapan lagi.
Dia hanya diam. Tersenyum. Ah, inilah khas dia.
“Ya, sekolah, kuliah, dan sekarang mau cari kerja.” jawabannya membuat dada saya sesak. Saya yakin sebenarnya dia tahu apa yang saya maksud.
“Lama tak tunggu-tunggu kamu nggak pernah datang ke rumah. (Diam sejenak-saya menelan ludah). Desember akhir, aku menikah.” Saya beranikan diri menatapnya langsung. Ingin tahu ekspresinya.
Dia tampak terkejut. Bahkan meyakinkan apakah saya serius.
“Usahain datang yaa. Biar kamu bisa tahu kalau rumahku nggak pindah ke mana-mana.”
***
Seminggu sebelum pernikahan, saya kirimkan undangan khusus untuknya. Saya mengantarnya langsung. Sayang, saya hanya bertemu dengan ibunya.
Pas hari H pernikahan saya, dia menjadi salah satu tamu yang saya nanti-nantikan kehadirannya. Sayang, kalimat “Terima kasih atas pelajaran menunggu darimu. Karenamu aku menemukan kebahagiaan yang sebenarnya, yaitu dipertemukan dengan suamiku.” ini harus saya simpan rapat-rapat. Entah sampai kapan.
Semoga dia bahagia. Selalu. Aamiin.