Saya matikan kompor dan segera menghampiri Ibu.
“Jemput Bapakmu, nduk.”
“Di mana?” tanya saya pada Ibu.
Setelah mendengar cerita singkat Ibu, saya pun bergegas mengenakan jilbab sekenanya dan tancap gas. Tapi jujur dalam hati, “Ini skripsi bagaimana kabarnya?” Tepat disaat saya sedang semangat mengerjakan bab 4 sambil membantu Ibu memasak, malah ada kejadian seperti ini.
Satu jam lebih, saya harus bertempur dengan kejamnya jalanan sepanjang Mintreng-Gubug-Kedungjati-Tepusan(8 KM dari Bringin, Salatiga-hutan yang biasanya saya kunjungi). Naik-turun-terjun, ibarat diblender dengan kecepatan full. Semua untuk Bapak.
Sepanjang perjalanan justru banyak hal yang melintas dalam otak saya. Skripsi saya yang tak kelar-kelar, berbagai hambatan dan godaan, sampai pada kejadian yang menimpa Bapak. Bahkan semua yang terjadi selama 3 bulan ini seperti ujian bagi saya. Seberapa kuatkah saya mengerjakan skripsi ini? Kuliah dari semester awal sampai semester 7 ini rasanya begitu mulus, inikah ujian yang sesungguhnya?
Inilah hidup. Apa yang terjadi nanti, tak ada yang tahu. Tapi orang di luar sana adakah yang ingin tahu masalah apa yang terjadi pada diri setiap insan? Tak penting. Survive-lah!
“Skripsi saya akan selesai di waktu yang tepat.” saya mengademkan hati.
“Bapak lebih butuh saya saat ini.” saya meyakinkan hati kembali.
Handphone bapak hilang di hutan, saat kembali ke hutan untuk mencarinya tiba-tiba ban motor bapak meletus. Inilah, “sudah jatuh tertimpa tangga pula.” Kami pun harus menikmatinya.
Saat saya sampai di sana, di rumah warga yang biasanya jadi tempat pemberhentian bapak sebelum ke hutan, tampak bapak langsung menyambut saya.
“Kok cepet banget? Ngebut ya?” saya hanya nyengir. Bapakpun segera memposisikan motor.
Kami pulang dengan dua motor. Bapak menggunakan motor saya dengan keranjang penuh dengan pisang. Saya mendapat pinjaman motor warga di sana. Ada yang bertanya kenapa dijemput? Kenapa nggak pinjam motor warga sana? Tak mungkin-lah motor warga sana digunakan untuk memuat pisang sebanyak itu. Kalau seandainya rusak kan motor saya sendiri.
“Bapak depan saja, tak ikutin dari belakang.” kata saya.
Sepanjang perjalanan, dari belakang, saya pandangi punggung Bapak. Dengan posisi yang tak nyaman, posisi duduk yang lebih sempit (motor bapak motor laki, ini pakai motor perempuan-bukan jenis kelamin ya), tapi bapak tetap saja tak mengeluh. Padahal saya tahu persis, pasti pegal banget. Terlebih lagi jalanan yang kami lewati tak semulus jalan tol. Terbukti, selama perjalanan kami beristirahat empat kali, bapak hanya diam, dan saya selalu siap di belakangnya.
Inikah bapak saya?
Bapak yang dulu terlihat ganteng, kata ibu.
Bapak yang dulu seringkali bela-belain jemput saya di kos sepulang kerja meskipun cuaca sedang hujan deras.
Bapak yang menangis saat melihat saya diruwat (tradisi orang Jawa).
Bapak yang selalu nge-banggain saya di depan orang (sungguh berbanding terbalik dengan ibu)
Bapak yang selalu bilang, “Ini kaos hadiah nulis yo? Waah, apik.”
Bapak yang pernah bilang, “Mending Bapak saja yang sakit dan diinfus daripada kamu, nduk.”
Bapak yang...
Bapak yang...
Rasanya saya tak sanggup lagi menyebutkan satu per satu, terlalu banyak.
Tapi apa yang sudah saya berikan pada Bapak? Untuk menjemput bapak saja harus saya awali dengan ngedumel. Kalaupun saya capek, pasti akan lebih capek bapak. Pun tahu Bapak tidak ingin skripsi saya terbengkalai begitu saja, tapi tak layak jika skripsi selalu jadi alasan ajaib yang harus saya lontarkan.
Apa yang sudah saya persembahkan untuk bapak? Sebagai anak semata-wayangnya, belum ada yang saya persembahkan untuknya. Saya tahu bapak pun tidak berharap saya memberikan sebongkah emas, berhektar-hektar tanah, asalkan saya jadi anak yang penurut saja, bapak senang. Tapi, penurutkah saya?
Saya berjanji, mulai hari ini, setiap hari akan selalu berusaha menanyakan pada diri saya sendiri, “Sudahkah saya berbakti pada Bapak dan Ibu, hari ini?”
0 komentar:
Posting Komentar