Di negeri ini, terutama di pulau Jawa, sudah jamak orang-orang melakukan ziarah ke makam para tokoh atau yang dianggap Ulama (misal, Wali songo). Dengan koordinasi seseorang yang ditokohkan, mereka pun berangkat menuju makam-makam itu. Jarak yang jauh dan persiapan bekal yang banyak, tidak menjadi soal bagi para peziarah. Sebab dengan ‘perjalanan spiritual’ ini akan banyak manfaat yang dapat mereka peroleh. Sebelum berangkat, para peziarah ini mempunyai tujuan tertentu. Mereka berharap semua tujuannya tercapai setelah menjalani perjalanan spiritual ke makam-makam orang yang dianggap wali atau makam Ulama karismatis, tidak peduli siapa dia. Inilah cuplikan apa yang terjadi di sekitar kita. Apakah yang seperti ini dibenarkan oleh syariat Islam?
Ibnul Hâj, seorang tokoh Sufi menjelaskan mekanisme ziarah kubur versi mereka yang jelas-jelas bertentangan dengan risâlah yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. As-Sya’rânimemasukkan nama Ibnul Hâj dalam kitab Thabaqât Shûfiyah al-Kubra. Kata Ibnul Hâj dalam al-Madkhal,
“(Saat berziarah kubur) hendaknya peziarah mendoakan mayit, juga berdoa di sisi kubur saat muncul persoalan sulit yang menimpa dirinya atau kaum Muslimin. Jika penghuni kubur termasuk orang yang diharapkan keberkahannya, maka peziarah bertawassul kepada Allah Azza wa Jalla dengannya…. Kemudian bertawasul dengan para penghuni kubur dari kalangan orang-orang shaleh dari mereka untuk menyelesaikan persoalanpersoalannya dan mengampuni dosa-dosanya. Lantas baru berdoa bagi kebaikan dirinya, kedua orang tuanya, guru-gurunya, kaum kerabat dan keluarga penghuni kubur dan seluruh kaum Muslimin dan seterusnya”.
Ia meneruskan: “Siapa saja ada keperluan, hendaknya mendatangi mereka dan bertawasul dengan mereka. Sebab mereka adalah perantara antara Allah Azza wa Jalla dan makhluk-Nya dan seterusnya.”
Tentang ziarah kubur para Nabi, ia mengatakan: “Jika peziarah datang mengunjungi mereka, hendaknya bersikap menghinakan diri, merasa membutuhkan, dan menundukkan diri, mengkonsentrasikan hati dan pikirannya kepada mereka dan membayangkan sedang melihat mereka dengan mata hatinya dan seterusnya memohon kepada mereka, meminta kepada mereka penyelesaian persoalan (yang sedang dihadapi) dan meyakini akan dikabulkan karena keberkahan mereka dan optimis di dalamnya. Sebab mereka adalah pintu Allah Azza wa Jalla yang terbuka. Dan telah menjadi hukum Allah Azza wa Jalla, masalah-masalah tertuntaskan melalui tangan-tangan mereka. Siapa saja yang tidak bisa mengunjungi kuburan mereka, hendaknya mengirimkan salam kepada mereka sambil menyebutkan kepentingannya, permohonan ampun dan penutupan kesalahannya dll…”.
“Secara khusus bagi peziarah yang mengunjungi kubur Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia harus lebih menghinakan diri dan merasa butuh kepadanya. Karena beliau pemberi syafaat yang sudah memperoleh idzin. Syafaat beliau tidak tertolak. Dan orang yang mendatangi beliau dan meminta tolong kepadanya tidak kembali dengan tangan hampa. Siapa saja yang bertawassul kepadanya, atau mengharapkan beliau menyelesaikan masalah-masalahnya pasti tidak tertolak dan akan sukses”. [al-Madkhal hal. 254-258]
Kebatilan Tata Cara Ziarah Kubur Versi Sufi
Dari keterangan Ibnul Hâj di atas, tampak betapa jauh perbedaannya dengan tujuan ziarah kubur yang disyariatkan. Mengenai perkataan Ibnul Hâj berkait tata cara ziarah kubur para nabi yang berbunyi
“Jika peziarah datang mengunjungi mereka, hendaknya bersikap menghinakan diri…”
Syaikh Ahmad an-Najmi berkomentar:
“Ini adalah syirik besar yang menyebabkan pelakunya abadi di neraka. Saya tidak tahu kemana akal mereka di hadapan ayat-ayat al-Qur`ân dan hadits-hadits yang menyatakan kebatilan dan rusaknya keyakinan tersebut serta perbedaannya yang jauh dengan ajaran Islam dan ajaran Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesungguhnya bersikap menghinakan diri, merasa membutuhkan, dan menundukkan diri, mengkonsentrasikan hati dan pikirannya kepada mereka dan berdoa, ini semua adalah hal-hal yang mesti dilakukan seorang hamba kepada Rabbnya (Allah Azza wa Jalla). Siapa saja mengarahkannya kepada malaikat atau nabi (atau manusia-red), sungguh ia telah berbuat syirik besar…” [Kemudian Syaikh Ahmad an-Najmi hafizhahullâh membawakan beberapa ayat al-Qur‘ân, surat al-An’âm:1, al-An’âm: 88, al-A’râf:191, 194, az-Zumar: 65. (Audhahul Isyârah Fir Raddi ‘ala Man Ajâzal Mamnû’ minaz Ziyârah hal. 203-205)]
Selanjutnya beliau menambahkan,
Selanjutnya beliau menambahkan,
“Orang ini telah mengadakan tandingan bagi Allah Azza wa Jalla. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Ibnu ‘Abbas: “Jika engkau meminta, mintalah kepada Allah Azza wa Jalla “. Sementara Ibnul Hâj mengatakan: “Mintalah kepada Rasulullah Azza wa Jalla “. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Minta tolonglah kepada Allah Azza wa Jalla,” namun Ibnul Hâj yang mengatakan: “Minta tolonglah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan persembahkan sikap menghinakan, membutuhkan dan kemelaratan kepadanya”.
Agar lebih jelas lagi, berikut ini beberapa pernyataan Ulama Sufi yang mengajak para pengikutnya untuk mendatangi kubur-kubur mereka saat ditimpa persoalan.
As-Sya’râni mengutip pernyataan Syaikh Muhammad bin Ahmad al-Farghal(meninggal tahun 850 H), ia mengatakan: “Saya termasuk orang yang sanggup menangani urusan-urusan saat berada di alam kubur. Siapa saja memiliki kepentingan, hendaknya datang kepada (kubur)ku dan menyampaikannya kepadaku. Aku akan menyelesaikannya.” [Thabaqât as-Sya’râni (2/93)]
As-Sya’râni juga mengutip pernyataan Syaikh Syamsuddin di detik-detik kematiannya: “Siapa saja memiliki urusan penting hendaknya mendatangi kuburku dan menyampaikan keperluannya, pasti akan aku tuntaskan [Ibid (2/86)]
As-Sya’râni berkata tentang Ma’rûf al-Kurkhi: “Kuburannya dijadikan tempat untuk meminta hujan (saat kekeringan)”
Mengenai Syaikh Ahmad az-Zâhid, as-Sya’râni berkomentar: “Kuburannya terkenal, sering dikunjungi. Orang-orang mencari berkah darinya”.
Tentang Syaikh Ahmad bin ‘Asyir (seorang tokoh Sufi), dikatakan: “Kuburannya didatangi oleh orang-orang yang menderita penyakit dan cacat tubuh (untuk menyembuhkannya)”.
Inilah sebagian nukilan yang sudah cukup mewakili bagaimana jauhnya mereka dari petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berziarah kubur. Gambaran yang sekaligus mewakili realita orang-orang yang mendatangi kuburan orang yang dikeramatkan atau diagungkan.
Syaikh ‘Abdur Razzâq al-’Abbâd hafizhahullâh menegaskan kekeliruan mereka ini dengan berkata: “Inilah petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berziarah kubur selama dua puluh sekian tahun sampai beliau wafat (telah diterangkan dengan jelas-red). Demikian pula petunjuk Khulafâur Râsyidin dan seluruh Sahabat dan Tabi`în. Apakah mungkin ada orang di muka bumi ini yang sanggup membawakan riwayat dari mereka (generasi Sahabat dan Tabi’în) baik dengan jalur yang shahîh, lemah atau terputus bahwa mereka dahulu bila menghadapi urusan penting datang ke kubur-kubur dan berdoa di sana serta mengusapusap pusara. Apalagi riwayat bahwa mereka mengerjakan shalat di kuburan dan meminta kepada Allah Azza wa Jalla melalui mereka atau meminta penghuni kubur untuk mewujudkan keperluan-keperluan mereka (lebih tidak ada lagi, red). Seandainya ini merupakan perkara Sunnah atau sebuah keutamaan, sudah barang tentu akan ada riwayat dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia. Dan para Sahabat dan Tabi’în pun pasti akan melakukannya…”. [Fiqhul “Ad’iyah (2/125)]
Penutup
Agar lebih jelas lagi, berikut ini beberapa pernyataan Ulama Sufi yang mengajak para pengikutnya untuk mendatangi kubur-kubur mereka saat ditimpa persoalan.
As-Sya’râni mengutip pernyataan Syaikh Muhammad bin Ahmad al-Farghal(meninggal tahun 850 H), ia mengatakan: “Saya termasuk orang yang sanggup menangani urusan-urusan saat berada di alam kubur. Siapa saja memiliki kepentingan, hendaknya datang kepada (kubur)ku dan menyampaikannya kepadaku. Aku akan menyelesaikannya.” [Thabaqât as-Sya’râni (2/93)]
As-Sya’râni juga mengutip pernyataan Syaikh Syamsuddin di detik-detik kematiannya: “Siapa saja memiliki urusan penting hendaknya mendatangi kuburku dan menyampaikan keperluannya, pasti akan aku tuntaskan [Ibid (2/86)]
As-Sya’râni berkata tentang Ma’rûf al-Kurkhi: “Kuburannya dijadikan tempat untuk meminta hujan (saat kekeringan)”
Mengenai Syaikh Ahmad az-Zâhid, as-Sya’râni berkomentar: “Kuburannya terkenal, sering dikunjungi. Orang-orang mencari berkah darinya”.
Tentang Syaikh Ahmad bin ‘Asyir (seorang tokoh Sufi), dikatakan: “Kuburannya didatangi oleh orang-orang yang menderita penyakit dan cacat tubuh (untuk menyembuhkannya)”.
Inilah sebagian nukilan yang sudah cukup mewakili bagaimana jauhnya mereka dari petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berziarah kubur. Gambaran yang sekaligus mewakili realita orang-orang yang mendatangi kuburan orang yang dikeramatkan atau diagungkan.
Syaikh ‘Abdur Razzâq al-’Abbâd hafizhahullâh menegaskan kekeliruan mereka ini dengan berkata: “Inilah petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berziarah kubur selama dua puluh sekian tahun sampai beliau wafat (telah diterangkan dengan jelas-red). Demikian pula petunjuk Khulafâur Râsyidin dan seluruh Sahabat dan Tabi`în. Apakah mungkin ada orang di muka bumi ini yang sanggup membawakan riwayat dari mereka (generasi Sahabat dan Tabi’în) baik dengan jalur yang shahîh, lemah atau terputus bahwa mereka dahulu bila menghadapi urusan penting datang ke kubur-kubur dan berdoa di sana serta mengusapusap pusara. Apalagi riwayat bahwa mereka mengerjakan shalat di kuburan dan meminta kepada Allah Azza wa Jalla melalui mereka atau meminta penghuni kubur untuk mewujudkan keperluan-keperluan mereka (lebih tidak ada lagi, red). Seandainya ini merupakan perkara Sunnah atau sebuah keutamaan, sudah barang tentu akan ada riwayat dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia. Dan para Sahabat dan Tabi’în pun pasti akan melakukannya…”. [Fiqhul “Ad’iyah (2/125)]
Penutup
Ziarah kubur termasuk ibadah dan amal shaleh, karena itu harus dikerjakan sesuai dengan rambu-rambu syariat. Bila tidak, hanya akan menjerumuskan kepada pelanggaran syariat. Wallâhu a’lam
_____________________________________________________
Sumber:
1. Taqdîsul Asy-khâs Fil Fikris Shûfi, Muhammad Ahmad Luh (2/111-132)
2. Fiqhul Ad’iyah Abdur Razzâq al-’Abbâd, dalam bab khuthûratut ta’alluq bil qubûr/bahaya bergantung dengan kuburan (1/124-129)
3. Baitul ‘Ankabût, Khalîl Ibrâhim Amîn, pengantar Syaikh Shâlih al-Fauzân, Dârul Muqtathaf
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi, 03/Tahun XIII/1430/2009M]
Sumber:
1. Taqdîsul Asy-khâs Fil Fikris Shûfi, Muhammad Ahmad Luh (2/111-132)
2. Fiqhul Ad’iyah Abdur Razzâq al-’Abbâd, dalam bab khuthûratut ta’alluq bil qubûr/bahaya bergantung dengan kuburan (1/124-129)
3. Baitul ‘Ankabût, Khalîl Ibrâhim Amîn, pengantar Syaikh Shâlih al-Fauzân, Dârul Muqtathaf
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi, 03/Tahun XIII/1430/2009M]
Dikutip dari Artikel : http://almanhaj.or.id/content/2802/slash/0/tujuan-ziarah-kubur-dalam-kaca-mata-sufi/
0 komentar:
Posting Komentar