Guru adalah pendidik. Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Ibarat pena, guru adalah tinta emas, yang akan menggoreskan seuntai harapan pada selembar kertas putih.
Potret yang cukup memprihatinkan yang dialami para guru honor dengan gaji yang tidak menentu dan sering disebut sebagai guru honor murni yang jauh dibawah standar Upah Minimum Regional (UMR).
Entah, karena memang mengalami nasib yang tidak menentu, persoalan guru honor banyak orang yang tidak mengetahui atapun tidak peduli kepada nasibnya. Kita sering tidak menyadari bahwa masih banyak ketimpangan bahkan ketidakadilan yang dialami guru honor, baik yang mengajar di sekolah negeri ataupun swasta.
Di Kabupaten Kebumen, guru honor atau sering disebut dengan Guru Tidak Tetap (GTT) memiliki honor cukup rendah, yaitu berkisar Rp. 100 – 150 ribu perbulan. Dan bila dibandingkan dengan tenaga honor kontrak daerah di beberapa dinas instansi akan tampak jelas ketidakadilan, yakni mereka rata-rata menerima Rp. 600 ribu/bulan.
Ketimpangan gaji tersebut, benar-benar tidak adil mengingat kewajiban tugas mendidik adalah tugas mulia. Guru sebagai sebuah profesi yang terhormat di masyarakat (officium nobile), guru memiliki peran yang sangat vital dalam pembangunan sumber daya manusia (SDM) suatu bangsa, dan bisa dibayangkan bagaimana jadinya keberlangsungan suatu bangsa jika tidak ada yang namanya guru?
Dan perosoalan ini akan terus mengemuka, bila pemerintah tidak memperbaiki nasib para GTT. Honor yang jauh dari rasa kemanusian menjadi kenyataan yang banyak terjadi di berbagai daerah, termasuk di kabupaten yang dikenal dengan makanan khas lanting ini.
Para GTT ini hanya mengandalkan pendapatan dari Dana Bantuan Sekolah (BOS) yang diperuntukkan 20% dari anggaran BOS di masing-masing sekolah.
Bila dilihat dari tugas dan tanggung jawab yang di emban GTT jauh lebih berat daripada tenaga honorer yang ada di lingkup pemerintahan. GTT setiap hari harus berhadapan langsung dengan siswa-siswa yang memiliki karakter berbeda dan berusaha mendidik mereka ke arah yang lebih baik, tanpa mengenal lelah dan menahan segala emosional jika ada siswa yang bertindak kurang baik. “Yang paling berat juga GTT harus mencapai target pembelajaran seperti yang telah di canangkan pemerintah.
Dua orang GTT juga mempertanyakan ” Mengapa kami GTT yang telah lama mengabdi sampai 10 tahun dan paling rendah 5 tahun tidak mendapatkan insentif dari Pemda Kebumen? “Sedangkan tenaga honorer yang hanya menjadi tenaga kebersihan, sopir yang baru 6 bulan mengabdi, pada tahun 2012 ini sudah mendapatkan honor yang kami pandang cukup signifikan sampai Rp.600 perbulan, ada apa ini?” Tanya kedua guru honor ini.
Bahkan puluhan guru menilai, kalau pemerintah Kab. Kebumen lebih memperhatikan tenaga honor di kantor daripada guru honor yang mengajar di sekolah. Ironis memang, jika penilaian itu betul-betul terjadi, sementara para pejabat KAB. KEBUMEN dalam setiap kesempatan berpidato, selalu mengakui kalau SDM KAB. KEBUMEN cukup rendah bila dibandingkan dengan kabupaten lain di provinsi Jawa Tengah.
Seharusnya pemda KAB. KEBUMEN memperhatikan kondisi ini dalam mengambil sebuah kebijakan untuk penetapan anggaran, sehingga polemik demikian tidak mencuat di berbagai tempat di KAB. KEBUMEN khususnya GTT yang sudah mendidik dan membantu meningkatkan sumber daya manusia.
Sedangkan hasil wawancara dengan beberapa guru yang berstatus PNS mengaku, gaji yang mereka terima dinilai kurang mencukupi kebutuhan hidupnya. “Gaji habis hanya untuk menutupi pinjaman di Bank saja, karena kalau tidak berani minjam kapan lagi kami punya rumah, sementara sepeda motor yang kami gunakan pergi mengajar setiap hari hasil kreditan, belum lagi menutupi kebutuhan anak yang sekolah”, kata seorang guru SD yang enggan dipublikasikan namanya.
Bisa kita banyangkan kalau guru PNS saja dengan gaji yang jauh lebih tinggi dari honor guru tidak tetap masih belum bisa memenuhi kebutuhan dasarnya, apalagi seorang GTT yang juga memiliki istri, anak misalnya harus hidup dengan honor sebesar Rp. 100.000,- sampai Rp.200.000,- perbulannya? Pasti tekor terus…!Kondisi yang demikian akhirnya memaksa kebanyakan dari mereka harus mencari pekerjaan sampingan untuk bisa mencukupi kebutuhan dasarnya seperti menarik ojek dan lain-lain.
Kalau sudah demikian keadaannya maka sulit kita bayangkan bagaimana seorang GTT akan menjalani profesinya, sebagai tugas yang mulia? Bagaimana seorang GTT menyiapkan rencana pembelajarannnya? Bagaimana seorang GTT termotivasi untuk terus melakukan peningkatan kapasitas terhadap dirinya? Dan yang lebih memprihatinkan lagi bagaimana nasib peserta didiknya?
Negara sekelas Jepang-pun dalam kesejarahannya hingga mampu menjadi negara maju, juga tidak bisa dilepaskan oleh keyakinannya tentang vitalnya peranan seorang guru (tragedi Nagasaki dan Hirosima). Saat setelah terjadi Nuklir di Jepang, Apa yang pertama kali ditanyakan oleh Kaisar Jepang (Berapa guru yang selamat setelah bom Nuklir?) Tidak hanya Jepang, Negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Australia, juga menaruh perhatian yang serius terhadap tenaga pendidik, salah satunya dengan memberikan penghargaan yang proporsional kepada guru karena untuk memasuki profesi keguruan diperlukan persyaratan khusus yang tidak mudah diperoleh begitu saja.
Fenomena GTT di berbagai daerah, secara umum memiliki problematika yang relative sama yakni kerentanan dalam menjalankan kinerjanya sebagai seorang guru bahkan tidak jarang diantara mereka harus dipecat secara sepihak oleh pihak sekolah karena lemahnya status yang mereka miliki.
Memang, menjadi guru di bumi pertiwi ini, tidaklah sesulit seperti di Amerika bahkan Australia. Cukup dengan berbekal ijazah S1 pendidikan dan dengan dibekali Akta mengajar sudah bisa diterima menjadi guru, tidak hanya itu, ternyata ijazah non pendidikan pun juga bisa diterima menjadi seorang guru tentu ironis bukan? Meskipun hari ini Undang-undang guru dan dosen menggariskan bahwa seorang guru wajib memiliki sertifikasi, pada kenyataannya terkesan hanya profesionalisme yang komersil dan hanya memotivasi seorang guru secara sesaat saja.
Banyak fakta yang menggambarkan bahwa ketika awal mengajar (menjadi guru GTT) lebih karena dorongan orientasi minimalis yaitu pokoknya mengajar dulu, meskipun honornya tidak seberapa yang penting ada kegiatan dan maksimal masuk di data base guru honorer, ya minimal ada peluang untuk memudahkan menjadi guru difinitif (guru PNS), bahkan tidak sedikit yang harus membayar sekedar bisa menjadi seorang guru honorer di suatu sekolah tertentu. Pilihan ini tentunya banyak sedikitnya telah menyumbangkan pola relasi yang seringkali tidak adil di persekolahan, eksploitasi dan diskriminasi acapkali dialami oleh seorang GTT.
Guru walaupun bersatus GTT disatu sisi cukup disayang oleh para siswanya, namun disisi lain sungguh cukup malang nasibnya, karena honor yang diterimanya setiap bulan tidak sesuai dengan pengabdiannya untuk mendidik putra bangsa. Dan ratusan bahkan ribuan GTT bernasib menyedihkan karena dibayar dibawah UMR.
Ketimpangan yang terjadi terhadap GTT yang honornya jauh diatas honor seorang kepala dusun di KAB. KEBUMEN, benar-benar tidak adil mengingat kewajiban tugas mendidik adalah cukup berat. Bagaimana mungkin menggaji beda sedangkan pekerjaan mereka sama?, logika apa yang dapat memahami ketimpangan ini?
Kini para GTT menanti kebijakan yang adil dari si pemegang tampuk kekuasaan baik ditingkat daerah maupun pusat. Nasib mereka perlu diperhatikan. “Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk berlaku adil dan berbuat baik”.