Bapak sakit. Keangkuhanku, keegoisanku mulai muncul. Kalau saja bapak sampai meninggal. Siapa yang akan membiayai kuliahku? Keangkuhanku begitu besar ketika sampai pada pertanyaan tersebut.
Bapakku adalah tipe orang yang suka sekali mengkonsumsi obat – obatan, bukan narkoba. Tapi obat sakit kepala samapi obat sakit gigi. Dan bapak ku juga gemar sekali minum jamu tradisional seperti seseorang yang hobi makan makanan favoritnya. Obat adalah makanan favoritnya, begitu pikirku. Kalau yang tradisioal aku tak pernah berpikir tentang efek sampingnya, meskipun setiap yang kita minum pasti memberikan efek samping pada tubuh. Tapi ini obat – obat yang mengandung zat kimia. Sampai – sampai aku pernah berteriak keras pada bapak untuk jangan minum obat sehari sampai 5 butir. Ya Allah.. jagalah ginjal bapak. Terlebih bapak kadang juga susah sekali minum air putih. Hatiku semakin ciut.
Sudah empat hari ini bapak mengeluh giginya sakit. Tiap malam tidak pernah bisa tidur. Dan kami pun, Ibu dan aku, tertular penyakitnya, tak bisa tidur. Dan ritual yang sering bapak lakukan ketika tengah malam adalah keluar pergi ke warung untuk membeli obat lagi sekiranya sakit gigi segera pergi dari mulutnya.
Semakin ke sini, aku sadari bahwa ketakutanku seandainya bapak pergi bukanlah sebatas siapa nantinya yang akan membiayai kuliahku, tapi aku belum siap untuk ditinggal pergi bapak kembali kepada-Nya. Ya, aku begitu takut sekali. Aku takut semua akan berubah begitu cepat.
Hingga malam ini, aku bermimpi ada dua keranda mayat yang melintasiku bahkan ada salah satu keranda yang melewati bahkan meloncati motorku. Aku teringat beberapa tahun yang lalu, ketika aku bermimpi hal yang sama dan ternyata itu pertanda meninggalnya kakekku. Tapi mimpi itu dan hari meninggalnya kakekku agak lama. Tapi entahlah, aku serahkan kembali kepada-Nya. Tapi aku benar – benar takut.
Telat sahur. Aku bangun ketika waktu sahur tinggal 7 menit. Aku makan seadanya dan sesempat – sempatnya bersama Ibu. Aku ceritakan apa yang aku mimpikan.dan ibu hanya terdiam. Tidak tahu apa yang ia pikirkan. Dan akhirnya aku dan Ibu pun pergi jamaah sholat subuh di masjid.
Udara hari ini begitu menusuk tulang. Mukena sudah ku kenakan dari rumah, tapi rasanya tetap bbrrrrr.... dingin sekali. Aku pun berusaha menggelayut pada ibu, karena biasanya juga seperti itu. Tak diduga. Ibu sedikit marah seakan risih aku menggelayut padanya. Sampai aku berkata pada Ibu, “Nanti kalau tidak ada yang menggelayuti lagi, kangen.....”.
Aku tidak tahu kenapa tiba – tiba aku bicara seperti itu. Dan ibu tetap pergi meninggalkanku dan aku mengekor di belakang ibu. “Bu, jangan pernah tinggalkan aku sendirian” batinku. Rasanya hatiku hancur. Lebih hancur dari perasaan ketika diabaikan dengan pacar. Rasanya airmataku ingin jatuh. Tak tertahan. Di lain sisi aku berpikir, apakah perkataanku tadi menyakiti ibu? Entahlah aku sibuk dengan apa yang ku rasakan. Dan kembali memandangi punggung Ibu. “Ayo....!” Ku dengar ajakan ibu, tapi entahlah rasanya kaki ini enggan mendekat.
Kata – kataku dengan ibu tadi. Rasa ini muncul kembali. Aku takut hari ini aku akan meninggal. Aku takut hari ini adalah hari terakhirku bersama bapak dan ibu. Teringat masa – masa yang sudah terlewati. Aku belum bisa membahagiakan mereka. Terlebih, terakhir kali aku tidak bisa mempersembahkan IPK terbaikku. Hal yang selalu mereka harapkan dan mendengar bahwa IPKku naik bahkan tertinggi di kelas. Ya Allah.......Rasanya aku tidak ingin meninggal hari ini. Aku belum pernah memberikan kebahagiaan bagi mereka. Ya Allah, urungkanlah niatmu untuk menyabut nyawaku hari ini. Berikanlah kesempatan padaku. Aku ingin membahagiakan mereka. Seperti niat tulus semua anak kepada kedua orangtuanya. Aamiin.
0 komentar:
Posting Komentar