“Seharusnya kamu SMS beliau dulu kalau nggak jadi bertemu. Jadi, ada tembunge.”
“Hehehe.”
“Kalau dosenku pasti sudah kena semprot.”
“Tadi aku juga disemprot, tapi nggak terlalu juga sih. Namanya juga lupa, mau diapain lagi.”
Itu sepenggal obrolan saya bersama teman saat saya menceritakan kalau saya baru saja kena semprot dosen penguji sidang skripsi saya. Ceritanya saya bertanya kepada beliau hari Senin bisa bertemu pukul berapa dan beliau menyanggupi pukul 08.00 WIB. Tanpa diduga motor saya dipinjam kondangan sampai sore, saya pun tak jadi ke kampus dan sibuk nyelesaikan pekerjaan rumah dan nge-print kerjaan. Awalnya saya berpikir, saya SMS dosen nggak ya, ah nanti, ah bentar lagi, alhasil deh, saya lupa SMS dosen saya untuk memberi tahu bahwa saya tidak bisa ke kampus sesuai janji saya.
Ah, besok ke kampus sambil minta maaf.
“Kamu itu bagaimana? Kan janjinya datang hari Senin kok baru ke sini hari ini (Selasa).” kata dosen penguji saya sambil sedikit marah.
Kata teman saya itu memang benar. Pantas kalau dosen penguji saya marah. Alangkah baiknya saya bisa meluangkan waktu untuk mengkonfirmasikan kabar bahwa saya tidak bisa ke kampus. Berapa lama sih ketik SMS? Berapa rupiah pula biaya SMS?
Rasa-rasanya setelah kejadian tersebut saya tahu kalau saya memang yang salah. Keadaan lupa tak lagi bisa ditolerir. Mungkin ini hanya perkara sepele tapi ini berkaitan dengan tata krama. Saya juga tidak boleh minta selalu dingertiin, “ah, paling si itu juga tahu kalau saya begini. Ah, si itu tahu lah mungkin begono...”. Betapa kecewanya mereka dengan sikap saya. Egois sekali ya.
Karma itu tak lama. Saya bersikap seperti itu dengan dosen (meskipun dengan embel-embel lupa), gantian ibu dan abi yang bersikap seperti itu kepada saya. Hasilnya? Saya sangat kecewa. Bukankah ini buah dari sikap saya sendiri?
Tak mau lagi menyepelekan perkara ini. Pernahkah Anda merasakannya?
0 komentar:
Posting Komentar