Minggu, 31 Oktober 2010

Janganlah Menjauhkan Diri Dari Sunnah

Berkata Abul ‘Aliyah rahimahullah: “Kami jika hendak mengambil ilmu dari seseorang, maka kami melihat bagaimana shalatnya. Jika shalatnya baik, maka kamipun duduk mengambil ilmu darinya, dan kami nyatakan,“… amalannya yang lain (juga) baik”. Namun apabila jelek shalatnya, maka kamipun pergi meninggalkannya, dan kami nyatakan, “amalannya yang lain juga jelek.””. (Sunan Ad-Darimi, 1/93-94)
Saudaraku sekalian, ungkapan Abul Aliyah ini tidaklah berlebihan jika kita melihatnya dengan hati yang jernih. Bagaimana tidak, jiwa kita ini laksana sebuah bejana yang siap untuk diisi berbagai macam pemikiran. Jika kita menghendaki agar jiwa kita terisi oleh hal-hal yang baik saja, maka seyogyanya kita menuangkan ke dalam bejana tersebut hal-hal yang bermanfaat saja. Namun apabila kita tidak memperhatikannya, bejana itu akan diisi dengan berbagai macam hal, dari yang baik sampai yang jeleknya sekalipun.
Oleh karenanya, kita pun teramat butuh untuk memperhatikan bejana kita itu. Apakah ia mau diisi dengan hal-hal yang baik atau justru sebaliknya, atau apakah kita ingin mengadakan penyeimbangan antara yang baik dan jelek?!
Saudaraku seiman, jika kita menelaah lebih jauh sikap yang dimunculkan oleh Abul Aliyah tadi, maka kita dapati di sana adanya satu hal penting yaitu bagaimana kita bersikap. Beliau membuat standar point atas kelayakan seseorang apakah layak diambil keilmuannya atau tidak dengan meninjau baik tidaknya ia dalam dalam mengerjakan shalat. Mengapa harus shalat ? Jawabannya ialah dikarenakan amalan tersebut mencakup berbagai permasalahan sunnah. Apabila sunnah ditegakkan di dalamnya, niscaya shalatnya menjadi baik, tentu dengan konsekuensi-konsekuensi lainnya. Namun apabila sunnah tidak ditegakkan di dalamnya, niscaya ia hanyalah sebuah ritual yang tidak memiliki nilai.
Saudaraku, sunnah bagi mereka (ulama salaf) merupakan tanda kecintaan seseorang terhadap Rabb-nya yang telah memberinya kehidupan, rezeki dan seluruh hal yang dibutuhkan oleh hamba-hamba-Nya. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Dzun Nun al-Mishri dalam Risalah al-Qusyairiyah (1/75): “Termasuk dari tanda kecintaan seseorang kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ialah mengikuti kekasih-Nya Shalallahu ‘alaihi wassalam baik dalam akhlaq, perbuatan, perintah-perintah maupun sunnah-sunnahnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Katakanlah (wahai Nabi): “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Ali Imran: 31)
Berkata al-Hasan al-Bashri: “Tanda kecintaan mereka kepada Allah adalah mengikuti sunnah rasul-Nya. (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam tafsirnya 2/204)
Demikianlah, mereka jadikan sunnah sebagai tanda dan bukti kecintaan seseorang terhadap Rabb-nya. Semakin kuat kecintaan terhadap Rabb-Nya, maka semakin kuat pula dorongan arus ittiba’nya terhadap sunnah nabi-Nya. Semakin ia ingin membuktikan rasa cintanya kepada Allah, pada saat itu pula ittiba’nya kepada sunnah menjulang tinggi.
Namun, kelompok para penegak sunnah ini tidak luput dari sengatan bisa orang-orang yang jahil dan para pengikut hawa nafsu pada setiap masa. Mereka senantiasa menebarkan berbagai macam makar yang mereka persiapkan untuk menentang sunnah dan para penegaknya, serta memancangkan bendera permusuhan dan membiuskan hawa kedustaan.
Tidaklah kita dapati di zaman ini kelompok yang lebih keras penentangannya serta lebih besar kedustaannya dari mereka yang berusaha menjegal para penegak sunnah dengan tuduhan: kaku, kasar, memecah-belah umat, dungu, jumud dan lain-lain.
Saudaraku semoga Allah merahmati kita- tuduhan yang dilontarkan oleh mereka yang menyatakan bahwa para penegak sunnah adalah orang-orang kaku dan keras sangatlah tidak berdasar. Apakah pengertian yang mereka maukan dengan istilah “keras” dan “kaku”? Apakah mereka menganggap bahwa dakwah kepada tauhid adalah keras? Apakah mengajak kepada manusia untuk berpegang dengan sunnah dianggap ekstrim? Atau apakah memberantas kesyirikan dan kebid’ahan adalah kaku dan kasar? Jika ini yang mereka maksudkan, berarti mereka telah menuduh dakwah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam dan para nabi adalah ekstrim, kaku, kasar dan lain-lain.
Sesungguhnya yang dikatakan ekstrim, berlebih-lebihan atau keras adalah jika bermuara pada dua arus sebagai berikut:
1. Beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan peribadatan yang tidak pernah disyari’atkan oleh-Nya.
2. Berlebih-lebihan (ghuluw) dan berdalam-dalam mencari-cari yang tidak disyari’atkan dalam beragama (tanathu’).
Adapun mereka ahlus sunnah (para penegak sunnah), mereka tidaklah beribadah kepada Allah kecuali dengan apa-apa yang disebutkan dalam al-Qur’an dan hadits.
Bahkan mereka –alhamdulillah- jauh dari kebid’ahan dan perkara-perkara yang di ada-adakan. Karena mereka berilmu dan beramal sesuai dengan konsekuensi hadits Aisyah yang diriwayatka oleh Bukhari dan Muslim, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan kami ini yang tidak ada contohnya maka ia tertolak.
Dalam lafadz imam Muslim:
Barangsiapa yang beramal suatu amalan yang tidak ada perintah kami padanya, maka ia tertolak. (Muttafaq ‘alaihi)
Demikian pula dengan tuduhan mereka terhadap ahlus sunnah bahwa dakwah ahlus sunnah adalah dakwah yang mengajak pada perpecahan dan ikhtilaf (perselisihan), mencerai-beraikan barisan kaum muslimin dengan kecaman-kecamannya terhadap kelompok-kelompok lain.
Kita nyatakan kepada mereka “Jika yang kalian maukan adalah memecah antara haq dengan yang kebatilan, antara petunjuk dan kesesatan, maka kita jawab dengan tegas: “Ya”. Karena itulah misi ahlus sunnah wal jama’ah. Mereka, dengan dakwahnya yang senantiasa menyadarkan pada al-Qur’an dan sunnah dengan pemahaman salafus shalih menyebabkan terpisahnya haq dan kebatilan, sunnah dan kebid’ahan serta terpisahnya antara ahlus sunnah dengan ahlul bid’ah dan menyebabkan semakin jelasnya siapa yang berpegang dengan aqidah yang shahih dengan yang berpegang dengan aqidah yang rusak.
Inilah yang diistilahkan dalam al-Qur’an dengan al-furqan yakni pembeda antara haq dengan kebatilan. Hal ini tidak lain karena mereka menjalankan firman Allah:
Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar… (Ali Imran: 110)
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Tamiyah: “Seorang mukmin terhadap mukmin lainnya, seperti dua belah tangan yang saling membersihkan. Terkadang tidak hilang kotoran kecuali dengan sesuatu yang kasar, tetapi yang demikian agar tangan menjadi bersih dan lembut. Sehingga kekasaran tadi adalah terpuji dengan tujuan tersebut”. (Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, juz 28 hal. 53-54 melalui Irsyadul Bariyyah Ila syar’iyyatil intisa lis Salafiyah, hal. 56, Abu Abdussalam Hasan bin Qasim ar-Riimi)
Adapun jika yang dimaksud oleh mereka bahwa ahlus sunnah telah membikin perpecahan ummat dalam arti mengajak pada perpecahan dan perselisihan dikarenakan hawa nafsu dan kesesatan yang telah dilarang oleh syari’at, maka ini adalah sebuah kedustaan dan mengada-ada. Karena alhamdulilah ahlus sunnah berada di atas jalan rasulnya Shalallahu ‘alaihi wassalam dan para salafus shalih dari kalangan para shahabat dan tabi’in yang mereka mengajak pada persatuan di atas tauhid dan sunnah, di atas perinsip “La ilaha illallah” dan prinsip “Muhammadan Rasulullah”. Dengan demikian yang menyebabkan berpecahnya umat adalah mereka yang menarik kaum muslimin dari Tauhid ke dalam syirik dan dari Sunnah ke dalam bid’ah.
Karena kesyirikan dan kebid’ahan merupakan perkara yang diada-adakan oleh mereka sendiri, maka otomatis akan muncul berbagai macam bentuk kesyirikan dan kebid’ahan yang berbeda-beda dan saling berselisih, dan masing-masing bangga dengan apa yang mereka ada-adakan.
Dan janganlah kamu termasuk orang-orang musyrik, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka. (ar-Ruum: 31-32)
Saudaraku, tuduhan-tuduhan tadi serta masih banyak lagi yang lainnya adalah makar yang mereka persiapkan guna melemahkan kecintaan hati kaum muslmin terhadap sunnah rasul. Apakah karena hasad dan dengki atau bisa jadi memang karena benci kepada agama dan sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam ini.
Bagi mereka kita katakan mengapa tidak kalian akui saja kalau kalian memang lemah dalam menerapkan sunnah-sunnah nabinya tanpa perlu memperolok-olok para pelaku sunnah, yang pada akhirnya hanya akan membuahkan celaan-celaan terhadap sunnah itu sendiri? –naudzu billah min dzalik.
Atau paling tidak kalian akui saja bahwa kalian cemburu kepada mereka yang telah berhasil menghidupkan sunnah, sedangkan kalian belum bisa menerapkannya karena kelemahan kalian. Dengan sikap seperti ini kalian tidak akan terjerumus ke dalam dosa yang lebih besar lagi dan lubang kekufuran disebabkan celaan kalian terhadap sunnah nabi. Dengan mengakui kelemahan kita yang belum bisa menerapkan beberapa sunnah akan membawa kita beristighfar dan meminta ampun kepada Allah serta berdoa dan harapan kepada Allah agar suatu saat bisa menerapkannya.
Sungguh tepat apa yang dikatakan oleh Syaikh Sulaiman bin Sahman: “Kalau setiap orang yang menghidupkan sunnah yag telah ditinggalkan umat dianggap sebagai orang yang membingungkan umat, niscaya sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam akan mati dan pintu ilmu akan tertutup serta akan muncul kerusakan-kerusakan yang tidak terhitung kecuali oleh Allah”. (Dinukil secara makna dari kitab Dlarurarul Ihtimam bis Sunan an-Nabawiyyah, hal. 84-85)
Syaikhul Islam pun berkata: “Boleh saja seseorang meninggalkan perkara-perkara yang mustahab (yang apabila dikerjakan mendapatkan pahala, dan jika ditinggalkan tidak mendapatkan dosa). Namun kita tidak boleh meninggalkan keyakinan kalau perkara itu adalah perkara sunnah yang dicintai dan dianjurkan. Karena meyakini dianjurkannya amalan tersebut adalah wajib, agar tidak hilang sedikitpun dari agama ini”. (Majmu’ Fatawa 4/436 dan lihat Daruratul Ihtimam, hal. 84-86)
Dengan ucapan-ucapan ulama di atas, kita mengetahui bahwa perkara sunnah -walaupun tidak sampai kepada wajib—tetap harus kita hormati dan muliakan. Bahkan walaupun kita tidak mengerjakannya, hati kita tetap harus meyakini kemuliaan amalan tersebut. Dengan hati yang dipenuhi kecintaan kepada amalan-amalan sunnah, maka ia akan menghormati pula orang-orang yang telah mendahuluinya dalam menghidupkan sunnah-sunnah tersebut.
Saudaraku yang kami hormati –barakallahu fiikum-, bisa jadi ada di antara kita yang membisikkan suara sumbang: “Mengapa kita harus mempersoalkan perkara-perkara yang tidak diwajibkan? Apakah kita akan mengerjakan semua perbuatan-perbuatan nabi?!” Wallahul musta’an.
Apakah dia tidak mengerti bahwa matinya sunnah –-meskipun pada perkara yang tidak diwajibkan—merupakan sebesar-besar musibah. Karena dengan matinya sunnah satu demi satu, Islam akan berkurang sedikit demi sedikit. Karena Islam tidak lain merupakan kumpulan sunnah-sunnah ajaran Rasulullah r.
Hal itu sebagaimana dikatakan oleh imam al-Barbahari: “Islam adalah sunnah dan sunnah adalah Islam”. (Syarhus Sunnah, Imam al-Barbahari).
Demikian pula Abdulah bin ad-Dailami berkata: “Sesungguhnya awal hilangnya agama adalah ditinggalkannya sunnah, Islam akan berkurang satu sunnah demi satu sunnah seperti putusnya tali satu kekuatan demi satu kekuatan”. (Lamu ad-Duuril Mantsur Minal Qaulil Ma’tsur, hal. 21)
Dengan meremehkan sunnah, tidak mengamalkannya, tidak membahas dan tidak mengajarkan amalan tersebut, maka generasi mendatang tidak lagi akan mengenalinya lagi. Hingga akhirnya akan muncul kebid’ahan menggantikannya. Jika hal ini berlangsung terus-menerus, dari tahun ke tahun dan dari satu generasi ke generasi berikutnya, maka akan hilanglah syariat ini.
Perhatikan apa yang telah dikatakan oleh Ibnu Abbas Radiyallahu ‘anhu : “Tidaklah datang kepada manusia suatu masa, melainkan mereka membuat satu kebid’ahan dan mematikan padanya satu sunnah, hingga hiduplah kebid’ahan-kebid’ahan dan matilah sunnah-sunnah”. (Diriwayatkan oleh Ibnu Wadlah dalam Bida’ Wan Nahyu ‘anha, hal. 38-39).
Akhirnya kita mengingatkan kepada seluruh kaum muslimin untuk senantiasa berupaya menghidupkan ajaran nabinya, menerapkannya pada diri-diri kita, keluarga dan masyarakat kita. Kalau kita belum bisa mengamalkannya, janganlah hilang keyakinan kalau amalan tersebut adalah sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam yang mulia. Dan janganlah menjauhkan umat dari sunnah dengan berbagai macam alasan apapun yang dibuat-buat.
Wallahu a’lam.
(Sumber Bulletin Dakwah Manhaj Salaf Edisi: 14/Th. I tanggal 24 Dulqo’dah 1424 H/16 Januari 2004 M , judul asli “Jangan menjauhkan diri dari Sunnah”. Risalah Dakwah MANHAJ SALAF, Insya Allah terbit setiap hari Jum’at. Infaq Rp. 100,-/exp. Pesanan min. 50 exp di bayar di muka. Diterbitkan oleh Yayasan Dhiya’us Sunnah, Jl. Dukuh Semar Gg. Putat RT 06 RW 03, Cirebon. telp. (0231) 222185. Penanggung Jawab: Ustadz Muhammad Umar As-Sewed; Redaksi: Muhammad Sholehuddin, Dedi Supriyadi, Eri Ziyad; Sekretaris: Ahmad Fauzan; Sirkulasi: Arief Subekti, Agus Rudiyanto, Zaenal Arifin; Keuangan: Kusnendi. Pemesanan hubungi: Arif Subekti telp. (0231) 481215.) 

***

Jumat, 29 Oktober 2010

Tata Cara Menangkal dan Menanggulangi Sihir

Akhir-akhir ini banyak sekali tukang-tukang ramal yang mengaku dirinya sebagai tabib, dan mengobati orang sakit dengan jalan sihir atau perdukunan. Mereka kini banyak menyebar di berbagai negeri; orang-orang awam yang tidak mengerti sudah banyak menjadi korban pemerasan mereka.
Maka atas dasar nasihat (loyalitas) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kepada hamba-hambaNya, saya ingin menjelaskan tentang betapa besar bahayanya terhadap Islam dan umat Islam adanya ketergantungan kepada selain Allah dan bahwa hal tersebut bertolak belakang dengan perintah Allah dan RasulNya.
Dengan memohon pertolongan Allah Ta’ala saya katakan bahwa berobat dibolehkan menurut kesepakatan para ulama. Seorang muslim jika sakit hendaklah berusaha mendatangi dokter yang ahli, baik penyakit dalam, pembedahan, saraf, maupun penyakit luar untuk diperiksa apa penyakit yang dideritanya. Kemudian diobati sesuai dengan obat-obat yang dibolehkan oleh syara’, sebagaimana yang dikenal dalam ilmu kedokteran.
Dilihat dari segi sebab dan akibat yang biasa berlaku, hal ini tidak bertentangan dengan ajaran tawakkal kepada Allah dalam Islam. Karena Allah Ta’ala telah menurunkan penyakit dan menurunkan pula obatnya. Ada di antaranya yang sudah diketahui oleh manusia dan ada yang belum diketahui. Akan tetapi Allah Ta’ala tidak menjadikan penyembuhannya dari sesuatu yang telah diharamkan kepada mereka.
Oleh karena itu tidak dibenarkan bagi orang yang sakit, mendatangi dukun-dukun yang mendakwakan dirinya mengetahui hal-hal ghaib, untuk mengetahui penyakit yang dideritanya. Tidak diperbolehkan pula mempercayai atau membenarkan apa yang mereka katakan, karena sesuatu yang mereka katakan mengenai hal-hal yang ghaib itu hanya didasarkan atas perkiraan belaka, atau dengan cara mendatangkan jin-jin untuk meminta pertolongan kepada jin-jin tersebut sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Dengan cara demikian dukun-dukun tersebut telah melakukan perbuatan-perbuatan kufur dan sesat.
Berikut ini beberapa penjelasan tentang usaha menjaga diri dari bahaya sihir sebelum terjadi, begitu pula usaha dan cara pengobatannya bila terkena sihir, yakni cara-cara yang dibolehkan menurut hukum syara’:
Pertama: Tindakan preventif, yakni usaha menjauhkan diri dari bahaya sihir sebelum terjadi. Cara yang paling penting dan bermanfaat ialah penjagaan dengan melakukan dzikir yang disyari’atkan, membaca do’a dan ta’awwudz sesuai dengan tuntunan Rasulullah ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya seperti di bawah ini:
A. Membaca ayat Kursi setiap selesai shalat lima waktu, sesudah membaca wirid yang disyari’atkan setelah salam, atau dibaca ketika akan tidur. Karena ayat Kursi termasuk ayat yang paling besar nilainya di dalam Al-Qur’an. Rasulullah ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam salah satu hadits shahihnya :
Barangsiapa membaca ayat Kursi pada malam hari, Allah senantiasa menjaganya dan syetan tidak mendekatinya sampai Shubuh.”
Ayat Kursi terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 255 yang bunyinya :
Allah tidak ada Tuhan selain Dia, Yang hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhlukNya), tidak mengantuk dan tidak tidur, kepunyaanNya apa yang ada di langit dan apa yang di bumi. Siapakah yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izinNya? Allah mengetahui apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendakiNya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
B. Membaca surat Al-Ikhlas, surat Al-Falaq, dan surat An-Naas pada setiap selesai shalat lima waktu, dan membaca ketiga surat tersebut sebanyak tiga kali pada pagi hari sesudah shalat Shubuh, dan menjelang malam sesudah shalat Maghrib, sesuai dengan hadits riwayat Abu Dawud, At-Tirmidzi dan An-Nasa’i.
C. Membaca dua ayat terakhir dari surat Al-Baqarah yaitu ayat 285-286 pada permulaan malam, sebagaimana sabda Rasulullah :
Barangsiapa membaca dua ayat terakhir dari surat Al-Baqarah pada malam hari, maka cukuplah baginya.”
Adapun bacaan ayat tersebut adalah sebagai berikut:
Rasul telah beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat, kitab-kitab dan rasul-rasulNya. (Mereka mengatakan), ‘Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang (dengan yang lain) dari rasul-rasulNya’. (Mereka berdo’a): ‘Ampunilah kami, ya Tuhan kami, dan kepada Engkaulah tempat kembali.”
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya, ia mendapat pahala (dari kewajiban) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo’a), ‘Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau bersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya, beri maaflah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, maka tolonglah kami terhadap orang-orang yang kafir.”
D. Banyak berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna.
Hendaklah dibaca pada malam hari dan siang hari ketika berada di suatu tempat, ketika masuk ke dalam suatu bangunan, ketika berada di tengah padang pasir, di udara atau di laut. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
Barangsiapa singgah di suatu tempat dan dia mengucapkan: ‘A’uudzu bi kalimaatillahi attaammaati min syarri maa khalaq’ (aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan makhluk ciptaanNya), maka tidak ada sesuatu pun yang membahayakannya sampai ia pergi dari tempat itu.”
E. Membaca do’a di bawah ini masing-masing tiga kali pada pagi hari dan menjelang malam :
Dengan nama Allah, yang bersama namaNya, tidak ada sesuatu pun yang membahayakan, baik di bumi maupun di langit dan Dia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.” (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi)
Bacaan-bacaan dzikir dan ta’awwudz ini merupakan sebab-sebab yang besar untuk memperoleh keselamatan dan untuk menjauhkan diri dari kejahatan sihir atau kejahatan lainnya. Yaitu bagi mereka yang selalu mengamalkannya secara benar disertai keyakinan yang penuh kepada Allah, bertumpu dan pasrah kepadaNya dengan lapang dada dan hati yang khusyu’.
Kedua: Bacaan-bacaan seperti ini juga merupakan senjata ampuh untuk menghilangkan sihir yang sedang menimpa seseorang, dibaca dengan hati yang khusyu’, tunduk dan merendahkan diri, seraya memohon kepada Allah agar dihilangkan bahaya dan malapetaka yang dihadapi. Do’a-do’a berdasarkan riwayat yang kuat dari Rasulullah untuk menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh sihir dan lain sebagainya adalah sebagai berikut:
1. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam me-ruqyah (mengobati dengan membaca ayat-ayat Al-Qur’an atau do’a-do’a) sahabat-sahabatnya dengan bacaan :
Artinya: “Ya Allah, Tuhan segenap manusia….! Hilangkanlah sakit dan sembuhkanlah, Engkau Maha Penyembuh, tidak ada penyembuhan melainkan penyembuhan dariMu, penyembuhan yang tidak meninggalkan penyakit.” (HR. Al-Bukhari).
2. Do’a yang dibaca Jibril , ketika meruqyah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dengan nama Allah, aku meruqyahmu dari segala yang menyakitkanmu, dan dari kejahatan setiap diri atau dari pandangan mata yang penuh kedengkian, semoga Allah menyembuhkanmu, dengan nama Allah aku meruqyahmu.” Bacaan ini hendaknya diulang tiga kali.
3. Pengobatan sihir cara lainnya, terutama bagi laki-laki yang tidak dapat berjimak dengan istrinya karena terkena sihir. Yaitu, ambillah tujuh lembar daun bidara yang masih hijau, ditumbuk atau digerus dengan batu atau alat tumbuk lainnya, sesudah itu dimasukkan ke dalam bejana secukupnya untuk mandi; bacakan ayat Kursi pada bejana tersebut; bacakan pula surat Al-Kafirun, Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Naas, dan ayat-ayat sihir dalam surat Al-A’raf ayat 117-119, surat Yunus ayat 79-82 dan surat Thaha ayat 65-69.
Surat Al-A’raf ayat 117-119 yang bunyinya:
Dan Kami wahyukan kepada Musa: ‘Lemparkanlah tongkatmu!’ Maka sekonyong-konyong tongkat itu menelan apa yang mereka sulapkan. Karena itu, nyatalah yang benar dan batallah yang selalu mereka kerjakan. Maka mereka orang-orang yang hina.”
Surat Yunus ayat 79-82:
Fir’aun berkata (kepada pemuka kaumnya): ‘Datangkanlah kepadaku semua ahli sihir yang pandai’. Maka tatkala ahli-ahli sihir itu datang, Musa berkata kepada mereka: ‘Lemparkanlah apa yang hendak kamu lemparkan’. Maka setelah mereka lemparkan, Musa berkata: ‘Apa yang kamu lakukan itu, itulah sihir, sesungguhnya Allah akan menampakkan ketidakbenaran mereka. Sesungguhnya Allah tidak akan membiarkan terus berlangsung pekerjaan orang-orang yang membuat kerusakan. Dan Allah akan mengokohkan yang benar dengan ketetapanNya, walaupun orang-orang yang berbuat dosa tidak menyukai(nya).
Surat Thaha ayat 65-69 yang bunyinya :
Mereka bertanya,’Hai Musa (pilihlah), apakah kamu yang melemparkan (dahulu) atau kamilah yang mula-mula melemparkan?’ Musa menjawab,’Silahkan kamu sekalian melemparkan’. Maka tiba-tiba tali-tali dan tongkat-tongkat mereka, terbayang oleh Musa seakan-akan ia merayap cepat lantaran sihir mereka. Maka Musa merasa takut dalam hatinya. Kami berfirman: ‘Janganlah kamu takut, sesungguhnya kamulah yang paling unggul (menang). Dan lemparkanlah apa yang ada di tangan kananmu, niscaya ia akan menelan apa yang mereka perbuat, sesungguhnya apa yang mereka perbuat itu adalah tipu daya tukang sihir (belaka). Dan tidak akan menang tukang sihir itu dari mana saja ia datang.”
Setelah selesai membaca ayat-ayat tersebut di atas hendaklah diminum sedikit airnya dan sisanya dipakai untuk mandi.)
Dengan cara ini mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala menghilangkan penyakit yang sedang dideritanya.
4. Cara pengobatan lainnya, sebagai cara yang paling bermanfaat ialah berupaya mengerahkan tenaga dan daya untuk mengetahui di mana tempat sihir terjadi, di atas gunung atau di tempat manapun ia berada, dan bila sudah diketahui tempatnya, diambil dan dimusnahkan sehingga lenyaplah sihir tersebut.
Inilah beberapa penjelasan tentang perkara-perkara yang dapat menjaga diri dari sihir dan usaha pengobatan atau cara penyembuhannya, dan hanya kepada Allah kita memohon pertolongan.
Adapun pengobatan dengan cara-cara yang dilakukan oleh tukang-tukang sihir, yaitu dengan mendekatkan diri kepada jin disertai dengan penyembelihan hewan, atau cara-cara mendekatkan diri lainnya, maka semua ini tidak dibenarkan karena termasuk perbuatan syirik paling besar yang wajib dihindari.
Demikian pula pengobatan dengan cara bertanya kepada dukun,’arraaf (tukang ramal) dan menggunakan petunjuk sesuai dengan apa yang mereka katakan. Semua ini tidak dibenarkan dalam Islam, karena dukun-dukun tersebut tidak beriman kepada Allah; mereka adalah pendusta dan pembohong yang mengaku mengetahui hal-hal ghaib, dan kemudian menipu manusia.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan orang-orang yang mendatangi mereka, menanyakan dan membenarkan apa yang mereka katakan, sebagaimana telah dijelaskan hukum-hukumnya di awal tulisan ini.
Kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kita memohon, agar seluruh kaum muslimin dilimpahkan kesejahteraan dan keselamatan dari segala kejahatan, dan semoga Allah melindungi mereka, agama mereka, dan menganugerahkan kepada mereka pemahaman dan agamaNya, serta memelihara mereka dari segala sesuatu yang menyalahi syari’atNya.
(Dikutip dari tulisan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, dikirim : oleh al Akh Hari Nasution. Diterbitkan oleh Depar-temen Urusan KeIslaman, Wakaf, Dakwah Dan Bimbingan Islam, Saudi Arabia)

***
Dikutip dari Salafy.or.id offline Penulis: Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Judul: Hukum tentang Sihir dan Perdukunan/Paranormal
 

Rabu, 27 Oktober 2010

Jangan Kau Duakan Ibadahmu

Kesyirikan tidak hanya terjadi pada jaman jahiliyyah saat Rasulullah belum diutus. Kesyirikan juga merebak di masa kini meski dikemas dengan bungkus baru. Kehati-hatian agar tidak terjatuh pada perbuatan syirik sangatlah penting karena Allah menyebut perbuatan ini sebagai dosa besar yang paling besar dan tidak akan memberi ampunan pada pelakunya kecuali ia telah bertaubat.
Dalam beberapa edisi yang telah lalu, telah dibahas permasalahan seputar aqidah, terutama kaitannya dengan pembahasan bagaimana seseorang bisa memperbaiki hubungannya dengan Allah  atau yang diistilahkan dengan ibadah. Pada edisi mendatang insya Allah  akan dibahas suatu permasalahan yang sangat besar yang bisa menjadikan peribadatan seseorang menjadi amalan yang sia-sia bahkan bisa menjadi adzab baginya. Itulah lawan dari ibadah yaitu syirik.
Untuk mengawali pembahasan seputar syirik, pada edisi ini akan dipaparkan sejarah kemunculan syirik yang terjadi pada umat manusia. Sementara bagaimana hakikat kesyirikan itu sendiri, jenis-jenisnya, serta pengaruhnya dalam kehidupan sebagai individu, masyarakat, dan bernegara, akan dibahas pada edisi mendatang, insya Allah . Selain itu, kajian mendatang juga akan membongkar praktek syirik yang berkembang di masyarakat.
Awal Terjadinya Kesyirikan
Allah menciptakan jin dan manusia dengan suatu tujuan, yang dengannya Allah mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan manusia dalam mewujudkan tujuan tersebut. Dalam Al Qur’an, Allah menyebut tujuan penciptaan jin dan manusia:
“Dan tidaklah aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menginginkan dari mereka sedikitpun dari rizki. Dan Aku tidak menginginkan sedikitpun dari mereka untuk memberi-Ku makan. Sesungguhnya Dia, Allah Maha Pemberi rizki, Pemilik kekuatan lagi Sangat kokoh.” (Adz-Dzariyat: 56-58)
Sesungguhnya, tugas yang diemban jin dan manusia sangatlah ringan bila dibandingkan dengan segala jenis kenikmatan yang telah Allah meimpahkan. Akan tetapi untuk mewujudkan perkara yang ringan ini, butuh pengorbanan dan perjuangan yang sangat besar, karena rintangan dan penghalang di jalan ini juga sangatlah besar.
Dengan tugas ini, bukan berarti Allah  butuh kepada hamba sehingga sehingga kita diperintah untuk sujud dan ruku’ di hadapan-Nya. Akan tetapi sebagai perwujudan semata-mata kebutuhan kita kepada Allah . Karena kita sadar bahwa setiap saat, tidak ada satu makhluk pun yang tidak butuh kepada-Nya. Oleh karena itu Allah menetapkan bahwa di sana ada tali penghubung antara diri hamba-Nya dengan Allah . Itulah ibadah.
Amanah ibadah ini diakui oleh semua orang, namun dalam prakteknya sangat terkait dengan fitrah yang diberikan Allah kepada tiap manusia. Artinya, apabila fitrahnya belum disentuh oleh penyimpangan dan segala bentuk noda yang mengotori tentu akan menyambut tugas tersebut sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Allah  Sebaliknya, bila fitrah itu rusak maka perwujudan ibadah akan bisa diarahkan kepada selain Pemiliknya. Allah menjelaskan keberadaan fitrah ini dalam firman-Nya:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah). (Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.” (Ar-Rum: 30)
Rasulullah bersabda:
“Setiap anak dilahirkan di atas kesucian, kedua orangtuanyalah yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 1278 dan Muslim no. 2658 dari hadits Abu Hurairah )
Ayat dan hadits di atas, secara gamblang menjelaskan bahwa asal kehidupan seseorang di muka bumi ini adalah kesucian fitrah yaitu Islam. Ini sebagai bantahan untuk kelompok Mu’tazilah yang mengatakan bahwa asal kehidupan manusia adalah kufur.
Di atas kemurnian fitrah inilah, Allah menurunkan kemurnian agama-Nya yang meliputi ajaran dan aturan, perintah dan larangan, keterangan tentang tauhid dan syirik, sunnah dan bid’ah. Dan di atas kesucian fitrah ini pula, setiap orang akan menyambut seruan syariat tersebut.
Adapun orang yang telah ternodai fitrahnya, ia akan mengelak dengan berbagai cara untuk bisa keluar dari larangan, ancaman, dan perintah sehingga bebas merdeka tanpa ada aturan yang mengikat. Berjalan sesuai kehendak sendiri, melaksanakan apa yang diinginkan dengan tidak mengindahkan aturan-aturan yang ada.
Siapakah yang menjadi dalang kerusakan ini? Kapankah kerusakan itu mulai terjadi? Kerusakan apakah yang terbesar menimpa fitrah seseorang?
Dalang kerusakan fitrah manusia itu adalah iblis dan bala tentaranya dari kalangan jin dan manusia. Allah menerangkan dalam firman-Nya:
“Demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan jin. Sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah untuk menipu manusia.” (Al-An’am: 112)
“Demikianlah Kami jadikan bagi setiap nabi itu musuh dari orang-orang yang berdosa.” (Al-Furqan: 31)
Kesyirikan di Masa Nabi Nuh 
Usaha iblis dan tentaranya untuk merusak fitrah manusia dimulai ketika dia dijauhkan dari rahmat Allah menjadi terkutuk dan terlaknat, serta divonis menjadi calon penghuni neraka. Keberhasilan yang “gemilang” adalah pada kurun kesepuluh masa Nabi Nuh . Dengan kata lain, terjadinya penyimpangan fitrah besar-besaran adalah pada generasi Nabi Nuh .
Ibnu ‘Abbas c berkata ketika menafsirkan firman Allah :
“Dan mereka berkata, jangan sekali-kali kalian meninggalkan penyembahan tuhan-tuhan kalian dan jangan sekali-kali kalian meninggalkan Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr.” (Nuh: 23)
“Berhala-berhala yang dulu disembah oleh kaum Nabi Nuh telah menjadi (sesembahan) di negeri Arab setelahnya. Wadd adalah (sesembahan) Bani Kalb di Daumatul Jandal. Suwa’ adalah (sesembahan) Bani Hudzail, Yaghuts adalah sesembahan Bani Murad dan Bani Guthaif di Jauf (negeri Saba’). Ya’uq (sesembahan) Bani Hamdan, dan Nasr (sesembahan) Bani Himyar pada keluarga Dzil Kala’. Mereka adalah nama orang-orang shalih pada kaum Nabi Nuh . Ketika mereka meninggal, setan membisikkan kepada orang-orang agar membuat berhala/ gambar di majelis-majelis mereka dan setan memerintahkan: ‘Namakanlah dengan nama-nama mereka (orang-orang shalih tersebut).’
Mereka melakukannya dan (pada waktu itu berhala tersebut) belum disembah hingga mereka (para pembuat berhala) binasa dan ilmu terlupakan (dihapus), maka berhala itu menjadi sesembahan.” (Shahih, HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 4599)
Inilah kerusakan yang paling besar dan pertama kali menimpa fitrah manusia di masa Nabi Nuh  Yaitu kerusakan i’tiqad (keyakinan) yang berwujud kesyirikan kepada Allah,Kerusakan ini pula yang menimpa umat Rasulullah  sampai hari kiamat. Pada akhirnya, di atas kerusakan ini mereka mendapat kehinaan dan penghinaan, kerendahan dan perendahan, malapetaka demi malapetaka, kehancuran, kerusakan, kemunduran, dsb. Sunnatullah ini telah menimpa umat Rasulullah sehingga harus terwarnai hidup mereka dengan kesyirikan di dunia. Bahkan apa yang mereka lakukan telah mencapai puncaknya di mana menjadikan kesyirikan sebagai wujud ketauhidan kepada Allah dan kecintaan kepada wali-wali Allah.
Tentang kebenaran sunnatullah ini, dijelaskan Rasulullah di dalam haditsnya:
“Kalian benar-benar akan mengikuti langkah umat-umat sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta. Kalaupun seandainya mereka masuk ke lubang binatang dhab (semacam biawak), niscaya kalian akan memasukinya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 3456, Muslim no. 2669 dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri z)
Kesyirikan Sebelum Diutusnya Rasulullah
Sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, umat ini akan terus mengikuti langkah umat sebelumnya. Tentunya juga tidak terlepas dari mengikuti mereka dalam peribadatan kepada selain Allah  Hal yang demikian ini akan terjadi sampai hari kiamat. Rasulullah bersabda:
“Tidak akan terjadi hari kiamat sampai kabilah-kabilah dari umatku mengikuti orang-orang musyrik.” (HR. Abu Dawud no. 4252, Ibnu Majah no.3952 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud, 3/801 no. 3577 dan dalam Shahih Ibnu Majah, 2/352 no. 3192 dari shahabat Tsauban)
Sebelum Rasulullah diutus, bangsa Arab terbagi menjadi dua. Satu kelompok mengikuti agama-agama terdahulu seperti agama Yahudi, Nasrani, dan Majusi sedangkan satu kelompok lagi mengikuti agama Nabi Ibrahim yang lurus, terlebih di negeri Hijaz, Makkah Al-Mukarramah. Sampai pada akhirnya muncul seseorang yang bernama ‘Amr bin Luhai Al-Khuza’i, seorang raja di negeri Hijaz. Dia dikenal sebagai ahli ibadah, shalih, dsb.
Suatu waktu, ia pergi ke negeri Syam untuk berobat. ‘Amr bin Luhai melihat penduduk negeri Syam menyembah berhala dan dia menganggap baik perbuatan tersebut. Pulang dari Syam, ‘Amr bin Luhai membawa patung yang digali dari peninggalan kaum Nuh . Lalu dia membagikannya kepada kabilah Arab dan memerintahkan untuk menyembahnya. Orang-orang pun menyambut dan menerima seruan tersebut hingga menjadikan kesyirikan masuk ke negeri Hijaz dan negeri lainnya.
Rasululllah bersabda tentang ‘Amr bin Luhai Al-Khuza’i:
“Aku menyaksikan ‘Amr bin Luhai Al-Khuza’i menarik isi perutnya di dalam neraka.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 3521 dan Muslim no. 2856 dari shahabat Abu Hurairah z , lihat Syarah Masail Al-Jahiliyyah karya Asy-Syaikh Shalih Fauzan dan Mukhtashar Sirah karya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdulwahhab, hal. 12)
Islam dan Syirik
Syirik merupakan satu praktek ibadah kepada selain Allah . Dengan kata lain, menjadikan tandingan bagi Allah  dalam segala wujud peribadatan. Atau memalingkan peribadatan yang semestinya diberikan kepada Allah kepada selain-Nya. Ini merupakan wujud kedzaliman dan kegelapan karena memberikan hak peribadatan kepada selain Allah .
Allah  berfirman:
“Sesungguhnya kesyirikan adalah kedzaliman yang besar.” (Luqman: 13)
Islam adalah agama rahmat, agama keselamatan dan agama yang terang benderang, malamnya seperti siangnya. Diturunkan Allah  sebagai agama nikmat yang telah diridhainya.
“Pada hari ini aku sempurnakan agama kalian dan aku cukupkan atas kalian nikmat-Ku dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian.” (Al-Maidah: 3)
“Agama yang benar di sisi Allah adalah Islam.” (Ali ‘Imran: 19)
“Barangsiapa mencari selain Islam sebagai agama maka tidak akan diterima oleh Allah dan dia termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali ‘Imran: 84)
Islam sangat menentang segala bentuk kesyirikan, memerangi segala bentuk kedzaliman, dan menyinari kegelapan hidup dengan lentera wahyu Al Qur’an dan As Sunnah. Kesyirikan bukan dari Islam sedikitpun sehingga (tidak pantas) dihidupkan. Kesyirikan bukan lambang tauhid yang harus diperjuangkan. Kesyirikan adalah agama iblis dan tentara-tentaranya. Kesyirikan adalah kesesatan, kehinaan, kerendahan, kegelapan, kedzaliman, kegagalan dan kehancuran dunia akhirat. Wallahu a’lam. 

***
Dikutip dari http://www.asysyariah.com Penulis : Al-Ustadz Abu Usamah bin Rawiyah An-Nawawi Judul asli : Jangan kau Duakan Ibadahmu

Senin, 25 Oktober 2010

Keistimewaan Dan Keutamaan Orang Bertauhid

Tauhid adalah inti agama para nabi dan rasul. Mereka mengajak kepada tauhid dan merealisasikannya pada diri mereka sendiri dan pengikutnya. Seorang yang mewujudkan tauhid dan merealisasikannya dalam keyakinan dan perbuatannya adalah orang yang mendapatkan kedudukan istimewa di sisi Allah Robbul alamin.
Pembaca yang budiman, mungkin anda bertanya, “Bagaimana cara merealisasikan dan mewujudkan tauhid pada diri seseorang?! “Tentunya dengan membersihkan dan menyucikannya dari segala noda-noda syirik dan bid’ah, dan tidak terus-menerus melakukan maksiat. Barangsiapa yang demikian kondisinya, maka ia telah merealisasikan tauhid. [Lihat Qurroh Uyun Al-Muwahhidin (hal. 23) karya Syaikh Abdur Rahman bin Hasan Alusy Syaikh, cet. Dar Ash-Shumai'iy, 1420 H]
Jadi, seorang yang bertauhid haruslah memberikan ibadahnya kepada Allah -Ta’ala- saja, bukan untuk selain-Nya. Jika ia berdo’a dan memohon, maka ia tak berdo’a dan memohon, kecuali kepada Allah. Jika ia mengharap dan takut, maka ia tak mengharap dan takut, kecuali kepada Allah. Dia tak akan takut atau mengharap kepada makhluk, walau makhluk itu memiliki kehebatan dan keistimewaan apapun. Dia tak akan takut kepada jin-jin, roh-roh, kuntilanak, gondoruwo, wewe gombel, setan, kuburan dan makhluk halus; atau apapun diantara makhluk yang ditakuti oleh sebagian orang-orang jahil. Bahkan ia hanya takut kepada Allah, Pencipta mereka sehingga mereka hanya mengharap karunia, dan rahmat-Nya.
Selain itu , seorang yang ingin merealisasikan dan menyempurnakan tauhidnya, ia harus meninggalkan bid’ah (ajaran-ajaran yang tak ada contohnya dalam agama, walaupun dianggap baik oleh sebagian orang). Contoh bid’ah: perayaan tahun baru hijriyyah atau masehi, perayaan maulid Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, perayaan Isra’-Mi’raj, peringatan Nuzulul Qur’an, dan lainnya. Jadi, seorang harus meninggalkan bid’ah-bid’ah semacam ini, karena bid’ah akan membuat tauhid kita akan keruh dan ternodai. Orang yang melakukan bid’ah telah keluar dari tuntunan syari’at Allah -Ta’ala- yang telah Allah wahyukan kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-; pelaku bid’ah tidaklah taat kepada Allah secara murni. Andai ia meyakini Allah sebagai Robb dan ilah-nya (sembahannya), maka ia akan taat dan tak keluar dari tuntunan-Nya. [Lihat Al-Qoul As-Sadid Syarh Kitab At-Tauhid (hal. 24) karya Syaikh Abdur Rahman Ibn Nashir As-Sa'diy, cet. Wuzaroh Asy-Syu'un Al-Islamiyyah, 1421 H]
Realisasi tauhid akan semakin sempurna, jika seseorang menanggalkan dan menjauhi maksiat, seperti dusta, ingkar janji, pacaran, korupsi, zina, musik, minum khomer dan lainnya. Sebab ini adalah tanda bahwa hatinya memurnikan ketaatannya kepada Sang Pencipta dan Sembahannya, yakni Allah -Azza wa Jalla-[Lihat At-Tamhid li Syarh Kitab At-Tauhid (hal. 34), karya Syaikh Sholih bin Abdul Aziz Alusy Syaikh, cet. Dar At-Tauhid, 1423 H]
Perealisasian dan penerapan tauhid yang murni dan bersih dari syirik amatlah susah kita temukan di tengah kebanyakan manusia pada hari ini, kecuali orang yang diberi petunjuk untuk menapaki jalan para nabi dan rasul yang berlandaskan tauhid. Orang yang mengaku bertauhid banyak, tapi realita mengingkarinya.
Pembaca yang budiman, kalau hati kalian penasaran, maka layangkan pandangan kalian kepada ayat dan hadits berikut, niscaya kalian akan memahami makna tauhid dan cara merealisasikannya.
Allah -Ta’ala- berfirman,
Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan HANIF. dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan), (lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus“. (QS. An-Nahl : 120-121).
SyaikhMuhammad Ibn Sholih Al-Utsaimin-rahimahullah- berkata, “Orang yang HANIF adalah orang yang menghindar dari kesyirikan, menjauhi segala perkara yang menyelisihi ketaatan“. [Lihat Al-Qoul Al-Mufid (1/93), cet. Dar Ibn Al-Jauziy, 1421 H]
Barangsiapa yang mau merealisasikan tauhid secara sempurna sehingga ia mendapatkan pujian dari Allah sebagaimana yang dialami Ibrahim -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, maka seorang harus memiliki 4 sifat yang ada pada Nabi Ibrahim :
* Sifat Keteladanan dan Kepemimpinan
* Sifat Selalu Patuh kepada Allah -Azza wa Jalla-
* Sifat Hanif : menjauhi kesyirikan.
* Sifat Syukur terhadap nikmat lahir dan batin.
Inilah empat sifat yang harus dimiliki oleh seorang yang ingin merealisasikan tauhidnya dengan sempurna. Keempat sifat ini tak akan terwujud kecuali jika dibarengi dengan ilmu dan konsekuensinya berupa keyakinan terhadap sesuatu yang kita ilmui, dan tunduk kepadanya. [Lihat Fathul Majid (hal. 75-76) karya Syaikh Abdur Rahman bin Hasan At-Tamimiy, cet. Dar Al-Fikr, 1412 H, dan Al-Qoul Al-Mufid (1/91) karya Al-Utsaimin]
Al-Imam Abu Bakr Ibn Qoyyim Al-Jauziyyah-rahimahullah- berkata menjelaskan maksud Allah menyebutkan empat sifat itu, “Maksudnya, Allah -Subhanahu- memuji kekasih-Nya (yakni, Ibrahim) dengan empat sifat ini. Empat sifat ini kembali kepada ilmu, pengamalan konsekuensi ilmu tersebut, mengajarkannya, dan menyebarkannya. Jadi, semua kesempurnaan itu kembali kepada ilmu dan pengamalan konsekuensinya, serta mendakwahi makhluk menuju kepada ilmu itu“. [Lihat Miftah Dar As-Sa'adah (1/174)]
Jadi, seorang yang mau merealisasikan tauhid secara total dan murni, maka ia harus mengetahui dan mengilmui bahwa dirinya harus menjauhi kesyirikan. Oleh karena itu, Allah -Ta’ala- berfirman,
“Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Tuhan mereka (sesuatu apapun)”. (QS. Al-Mukminun : 59).
Maksiat –menurut makna umumnya- adalah syirik, karena maksiat timbul dari hawa nafsu yang menyelisihi syari’at. Tak heran jika Allah berfirman,
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya“. (QS. Al-Jatsiyah: 23).
Syaikh Al-Utsaimin berkata saat menafsiri ayat 59 dari Surah Al-Mukminun, “Yang dimaksud dengan SYIRIK adalah syirik dalam artian yang lebih umum, sebab perealisasian tauhid tak akan terjadi, kecuali dengan jalan menjauhi syirik –menurut artiannya yang lebih umum-. Tapi bukanlah maksudnya, seseorang (yang merealisasikan tauhid) tak akan muncul darinya kemaksiatan, sebab setiap anak cucu Adam adalah orang-orang yang pernah bersalah, tak ma’shum. Namun jika mereka bermaksiat, maka mereka segera bertaubat, dan tidak terus-menerus di atas maksiat”. [Lihat Al-Qoul Al-Mufid (1/96)]
Seorang yang merealisasikan tauhid dengan hati dan raganya akan selalu menjauhi maksiat. Kalaupun ia terjatuh dalam maksiat, maka ia akan segera sadar dan siuman dari kelalaiannya seraya mengingat bahwa ia tak diciptakan untuk mendurhakai Allah, tapi ia diciptakan untuk taat kepada Allah -Azza wa Jalla-. Merekalah yang Allah singgung dalam firman-Nya,
Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka ; dan tak ada yang dapat mengampuni dosa selain Allah. Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui“. (QS. Ali Imran : 135).
Karena jauh dari kesyirikan, seorang yang merealisasikan tauhidnya dengan murni akan selalu tergantung hatinya kepada Allah, ia selalu bertawakkal kepada-Nya sehingga ia diberi keutamaan oleh Allah -Ta’ala- untuk masuk dalam golongan 70 ribu orang yang masuk surga tanpa hisab (perhitungan), dan siksaan. Inilah yang disebutkan oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam hadits ini,
“Umat-umat telah diperlihatkan kepadaku; aku melihat seorang nabi dan bersamanya sekelompok kecil pengikutnya; seorang nabi lagi bersama satu-dua orang (dari kalangan pengikutnya), dan seorang nabi lagi yang tak ada seorangpun bersamanya. Tiba-tiba diangkatkan kepadaku kelompok besar; aku kira bahwa mereka adalah umatku. Lalu disampaikan kepadaku, “Ini adalah Musa -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dan kaumnya. Tapi lihatlah ke ufuk!” Lalu aku lihat (ke ufuk), maka tiba-tiba ada sebuah kelompok besar. Kemudian disampaikan kepadaku, “Lihatlah ke ufuk yang lain”. Lalu tiba-tiba ada sebuah kelompok besar lagi. Dikatakan kepadaku, “Ini adalah umatmu, bersama mereka ada 70 ribu orang yang akan masuk surga tanpa hisab (perhitungan), dan siksaan”. Kemudian Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bangkit dan masuk ke rumahnya. Manusia pun berbincang-bincang tentang orang-orang yang akan masuk surga tanpa hisab dan siksaan. Ada yang berkata, “Mungkin mereka adalah yang telah menemani Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-”. Sebagian lagi berkata, “Mungkin mereka adalah orang-orang yang dilahirkan dalam Islam, dan tidak mempersekutukan Allah (dalam beribadah kepada-Nya)”. Lalu mereka menyebutkan beberapa perkara lain. Kemudian Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- keluar menemui mereka seraya bersabda, “Apa yang kalian perbincangkan?” Mereka pun mengabarkan hal itu kepada beliau. Beliau bersabda, “Mereka adalah orang-orang yang tidak ber-tathoyur (merasa sial karena suatu hari atau benda), tidak pernah meminta ruqyah (jampi), dan tidak pula berobat dengan cos (besi panas), dan mereka hanya bertawakkal kepada Robb-nya”. Lalu bangkitlah Ukkasah bin Mihshon seraya berkata, “Berdoalah kepada Allah agar Dia menjadikan aku termasuk diantara mereka”. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Engkau termasuk diantara mereka”. Kemudian ada lagi seorang laki-laki yang lain berdiri seraya berkata, “Berdoalah kepada Allah agar Dia menjadikan aku termasuk diantara mereka”. Beliau bersabda, “Engkau telah didahului Ukkasayah”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (3410, 5705, 5752, 6472, & 6541), dan Muslim dalam Shohih-nya (220)]
Perhatikanlah keutamaan yang diraih oleh orang yang bertawakkal secara sempurna kepada Allah; ia akan masuk surga, tanpa hisab dan siksaan. Inilah salah satu bentuk realisasi tauhid. Seorang yang bertauhid akan memurnikan tawakkalnya kepada Allah.
Hadits ini memberikan faedah bahwa meminta ruqyah, melakukan tathoyyur, berobat dengan dengan cara kay (cos : besi panas); semua ini adalah perkara-perkara yang mengurangi tawakkal seorang yang melakukannya, karena saat ia melakukan satu diantaranya, maka dalam hatinya akan terdapat semacam kecondongan dan ketergantungan kepada selain Allah, yakni ia yakin kepada orang-orang membantunya melakukan hal-hal itu. Namun bukan berarti bahwa seorang dilarang berobat ke dokter dengan cara medis, selain cara-cara yang disebutkan dalam hadits Ukkasyah di atas, Wallahu a’lam. [Lihat At-Tamhid li Syarh Kitab At-Tauhid (hal. 39-40)]
Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaliy -hafizhahullah- berkata, “(Di dalam hadits ini) terdapat keutamaan tawakkal kepada Allah -Ta’ala- dan bersandar kepadanya dalam mencegah suatu musibah, atau mendatangkan manfaat”. [Lihat Bahjah An-Nazhirin (1/153)]
Inilah keutamaan besar yang Allah janjikan dan karuniakan kepada orang-orang yang merealisasikan tauhidnya hanya untuk Allah -Azza wa Jalla-. Semoga Allah menjadikan kita orang-orang yang mendapatkan keutamaan ini sebagaimana halnya sahabat yang mulia, Ukkasyah bin Mihshon Al-Asadiy Al-Badriy -radhiyallahu ‘anhu-.

***
Sumber: http://almakassari.com/ Penulis: Buletin Jum’at At-Tauhid Judul: Keistimewaan Orang Bertauhid

Senin, 18 Oktober 2010

Kenapa kita harus mengikuti AS SALAF ?

Sesungguhnya kata kata “as Salaf” ma`ruufun (sangat dikenal) dalam bahasa `arab dan di dalam syari`at ini, yang terpenting bagi kita disini adalah pembahasannya dari sisi syari`at.
Sesungguhnya telah shohih dari pada Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam, bahwasanya beliau `Alaihi wa Sallam pernah berkata kepada anaknya Faathimah radhiallahu `anha sebelum beliau `Alaihi wa Sallam wafat :
((فاتقي الله واصبري، فإنه نعم السلف أنا لك……)). رواه مسلم (2450) (98).
Artinya : Bertaqwalah kamu kepada Allah dan bersabarlah, sesungguhnya sebaik baik “salaf” bagi kamu adalah saya…”[1]
Penggunaan kalimat ‘salaf” sangat ma`ruf dikalangan para `ulama salaf dan sulit sekali untuk dihitung dan diperkirakan, cukup bagi kita satu contoh dari sekian banyak contoh contoh yang digunakan oleh mereka dalam rangka untuk memerangi bid`ah bid`ah.
كل خير في اتباع من سلف وكل شر في ابتداع من خلف
Setiap kebajikan itu adalah dengan mengikuti orang salaf dan setiap kejelekan tersebut adalah yang diada adakan oleh orang khalaf”.
Ada sebahagian orang yang menda`wakan memiliki `ilmu, mengingkari penisbahan kepada “salaf”, dengan da`waan bahwa nisbah ini tidak ada asalnya. Dia berkata : “Tidak boleh bagi seseorang muslim untuk mengatakan saya seorang “salafiy,” seolah olah dia mengatakan juga : “Tidak boleh bagi seseorang mengatakan saya muslim yang mengikuti para “salafus shoolih” dengan apa apa mereka di atasnya dalam bentuk `aqidah, `ibadat dan akhlaq.” Maka tidak diragukan lagi bahwa pengingkaran seperti ini kalau benar benar dia ingkari, sudah tentu diwajibkan juga bagi dia untuk berlepas diri dari Islam yang benar, yang telah dijalani oleh para “salafus shoolih”, Rasuulullahi Shollallahu `alaihi wa Sallam telah mengisyaratkan dalam hadist hadist yang mutawaatir diantaranya :
((خير أمتي قرني، ثم الذين يلونهم، ثم الذين يلونهم)).
Artinya : “Sebaik baik ummat saya adalah yang hidup sezaman dengan saya (sahabatku), kemudian orang orang yang mengikuti mereka (at Taabi`uun), kemudian orang orang yang mengikuti mereka (at Baaut Taa`bi`iin)….”[2]
Maka tidak boleh bagi seorang muslim untuk berlepas diri dari penisbahan kepada as Salafus Shoolih, sebagaimana kalau seandainya berlepas diri juga dari penisbahan yang lainnya, tidak mungkin bagi seorang ahli `ilmu untuk menisbahkannya kepada kekufuran atau kefasikan.
Orang yang mengingkari penamaan seperti ini (nisbah kepada “salaf”). Apakah kamu tidak menyaksikan, bukankah dia menisbahkan dirinya kepada satu madzhab dari sekian madzhab yang ada?, apakah madzhab ini berhubungan dengan `aqidah atau fiqh. Sesungguhnya dia mungkin Asy`ariy, Maaturiidiy dan mungkin juga dia dari kalangan ahlul hadist atau dia Hanafiy, Syaafi`ii, Maalikiy atau Hanbaliy diantara apa apa yang termasuk kedalam penamaan ahlus Sunnah wal Jamaa`ah, padahal seseorang yang menisbahkan dirinya kepada madzhab asy`Ariy atau kepada madzhab yang empat, sebenar dia telah menisbahkan dirinya kepada pribadi pribadi yang bukan ma`suum tanpa diragukan, walaupun diantara mereka ada juga para `ulama yang benar, alangkah aneh dan sangat mengherankan sekali, kenapa dia tidak mengingkari penisbahan kepada pribadi yang tidak ma`suum ini???
Adapun seorang yang mengintisabkan dirinya kepada “as Salafus Shoolih”, sesungguhnya dia telah menyandarkan dirinya kepada seseorang yang ma`suum secara umum (yang dimaksud Nabi Muhammad Shollallahu `alaihi wa Sallam), Nabi Muhammad Shollallahu `alaihi wa Sallam telah menyebutkan tentang tanda tanda “al Firqatun Naajiyyah” yaitu seseorang yang berpegang teguh dengan apa yang Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam dan para shohabatnya ada di atasnya, maka barang siapa yang berpegang teguh dengan jalan mereka secara yaqin, dia betul betul berada di atas petunjuk Robnya.
Nisbah kepada “as Salaf” ini merupakan nisbah yang akan memuliakan seseorang menisbahkan dirinya kepadanya, kemudian memudahkan baginya untuk mengikuti jalan kelompok orang yang selamat tersebut, tidak sama dengan seseorang yang menisbahkan dirinya kepada nisbah yang lain, karena penisbahan itu tidak akan terlepas dia diantara dua perkara :
Pertama, dia mungkin meng-intisabkan dirinya kepada seseorang yang bukan ma`suum, atau kepada orang orang yang mengikuti manhaj (methode) orang yang bukan ma`suum ini, yang tidak ada sifat suci baginya, berbeda dengan shahabat Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam yang memang diperintahkan kita oleh Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam untuk berpegang teguh dengan sunnah (cara/methode)nya dan sunnah para shahabatnya setelah beliau wafat.
Dan kita akan terus menerus menganjurkan dan menerangkan agar pemahaman kita terhadap al Quraan dan as Sunnah benar benar sesuai dengan pemahaman para shahabatnya Shollallahu `alaihi wa Sallam, supaya kita terjaga daripada berpaling dari kanan dan kekiri, juga terpelihara dari penyelewengan pemahaman yang khusus, sama sekali tidak ada dalil yang menunjukan atas pemahaman itu dari Kitaabullahi Subhaana wa Ta`aalaa dan Sunnah RasulNya Shollallahu `alaihi wa Sallam.
Kemudian, kenapa tidak cukup bagi kita untuk menisbahkan diri kepada al Quraan as Sunnah saja?
Jawabannya kembali kepada dua sebab :
Pertama : Berhubungan dengan nash nash syar`ii.
Kedua : Melihat kepada keadaan firqoh firqoh (golongan golongan) islaamiyah pada sa`at ini.
Ditinjau dari sebab yang pertama : kita menemukan dalil dalil syar`ii memerintahkan untuk menta`ati sesuatu yang lain disandari kepada al Kitab dan as Sunnah, sebagaimana dikatakan oleh Allah Ta`aalaa :
((يأيها الذين آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولى الأمر منكم….)) النساء (59).
Artinya : “Hai orang orang yang beriman, tha`atilah Allah dan tha`atilah RasulNya, dan ulil amri diantara kalian.” An Nisaa` (59).
Kalau seandainya ada waliyul amri yang dibai`at dikalangan kaum muslimin maka wajib untuk mentha`atinya sebagaimana kewajiban mentha`ati al Kitab dan as Sunnah, bersamaan dengan demikian kadang kadang dia salam serta orang orang disekitarnya, namun tetap wajib mentha`atinya dalam rangka mencegah kerusakan daripada perbedaan pandangan pandangan yang demikian dengan syarat yang ma`ruuf, demikian disebutkan dalam hadist yang shohih :
((لا طاعة في معصية إنما الطاعة في المعروف)).
Artinya : “Tidak ada ketha`atan di dalam ma`shiat, sesungguhnya ketha`atan itu hanya pada yang ma`ruuf.”[3]
Allah Tabaaraka wa Ta`aalaa berkata :
((ومن يشاقق الرسول من بعد ما تبين له الهدى ويتبع غير سبيل المؤمنين نوله ما تولى ونصله جهنم وساءت مصيرا)). النساء:(115).
Artinya : “Barang siapa menyakiti (menyelisihi) as Rasul Shollallahu `alaihi wa Sallam setelah sampai (jelas) kepadanya hudan (petunjuk), lalu dia mengikuti bukan jalan orang mu`minin (para shahabat), kami akan palingkan dia kemana sekira kira dia berpaling, lalu kami akan masukan dia keneraka jahannam yang merupakan sejelek jelek tempat baginya.” An Nisaa (115).
Sesungguhnya Allah `Azza wa Jalla Maha Tinggi dan Maha Suci Dia dari sifat kesia sia-an, tidak diragukan dan disangsikan lagi bahwasanya penyebutan jalan orang mu`miniin pada ayat ini sudah tentu ada hikmah dan faedah yang sangat tepat, yaitu; bahwasanya ada kewajiban yang penting sekali tentang pengikutan kita kepada Kitaabullahi Subhaana wa Ta`aalaa dan Sunnah RasulNya Shollallahu `alaihi wa Sallam wajib untuk dicocokan dengan apa apa yang telah dijalani oleh orang muslimiin yang pertama dikalangan ummat ini, mereka adalah shahabat Rasul Shollallahu `alaihi wa Sallam; kemudian orang orang yang mengikuti mereka dengan baik, inilah yang selalu diserukan oleh ad Da`watus Salafiyyah, dan apa apa yang telah difokuskan dalam da`wah tentang asas asas dan tarbiyahnya.
Sesungguhnya “ad Da`watus Salafiyyah”-merupakan satu satunya da`wah yang haq untuk menyatukan ummat ini, sementara apapun bentuk da`wah yang lain hanya memecah belah ummat ini; Allah `Azza wa Jalla berkata :
((وكونوا مع الصادقين)). التوبة (119).
Artinya : “Hendaklah kamu bersama orang orang yang benar.” At Taubah (119), dan barangsiapa yang membedakan diantara al Kitaab dan as Sunnah disatu sisi, dan antara “as Salafus Shoolih disisi yang lainnya dia bukan seorang yang jujur selama lamanya.
Ditinjau dari sebab yang kedua : Kelompok kelompok dan golongan golongan pada hari ini sama sekali tidak menghadap secara muthlaq untuk mengikuti jalan orang mu`miniin (jalan para shahabat radhiallahu `anhum) seperti yang disebutkan pada ayat diatas, dan dipertegas lagi dengan sebahagian hadist hadist yang shohih diantaranya : hadist al firaq (mengenai perpecahan) menjadi tujuh puluh tiga gologan, yang keseluruhannya di neraka kecuali satu, Rasuulullahu Shollallahu `alaihi wa Sallam telah menjelaskan tentang sifatnya bahwasanya dia :
“هي التي على مثل ما أنا عليه اليوم وأصحابي.”
Artinya : “Dia (al Firqatun Naajiyyah) itu adalah sesuai dengan apa apa yang saya hari ini dan para shahabat saya.”[4]
Dan hadist ini serupa dengan ayat diatas menyebutkan jalan orang mu`miniin, diantaranya juga hadist al `Irbaadh bin Saariyah radhiallahu `anhu :
“فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين من بعدي”.
Artinya : “Wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan Sunnah dan Sunnah al Khulafaaur Raasyidiin al Mahdiyiin setelah saya.”[5]
Jadi dihadist ini menunjukan dua Sunnah : Sunnatur Rasuul Shollallahu `alaihi wa Sallam dan Sunnatul Khulafaaur Raasyidiin.
Diwajibkan bagi kita-akhir ummat ini- untuk kembali kepada al Kitaab dan as Sunnah dan jalan orang mu`miniin (as Salafus Shoolih), tidak dibolehkan bagi kita mengatakan: kita akan memahami al Kitab dan as Sunnah secara bebas (merdeka) tanpa meruju` kepada pemahaman “as Salafus Shoolih!!”
Dan wajib adanya penisbahan yang membedakan secara tepat pada zaman ini, maka tidak cukup kita katakan : saya muslim saja!, atau madzhab saya adalah al Islam!, padahal seluruh firqah firqah yang ada mengatakan demikian : ar raafidhiy (as Syii`ah) dan al ibaadhiy (al Khawaarij/Firqatut takfiir) dan al qadiyaaniy (Ahmadiyyah) dan selainnya dari firqah firqah yang ada!!, jadi apa yang membedakan kamu daripada mereka keseluruhannya??
Kalau kamu mengatakan : saya muslim mengikuti al Kitab dan as Sunnah juga belum cukup, karena pengikut pengikut firqah firqah yang sesat juga mengatakan demikian, baik al `Asyaairah dan al Maaturiidiyyah dan kelompok kelompok yang lain- keseluruhan pengikut mereka juga menda`wakan mengikuti yang dua ini (al Kitab dan as Sunnah).
Dan tidak diragukan lagi adanya wujud penisbahan yang jelas lagi terang yang betul betul membedakan secara nyata yaitu kita katakan : “Ana muslim mengikuti al Kitab dan as Sunnah di atas pemahaman “as Salafus Shoolih,” atau kita katakan dengan ringkas : “Ana Salafiy.”
Dan diatas inilah; sesungguhnya kebenaran yang tidak ada penyimpangan padanya bahwasanya tidak cukup bersandarkan kepada al Kitab dan as Sunnah saja tanpa menyandarkan kepada methode pemahaman “as Salaf” sebagai penjelas terhadap keduanya dalam sisi pemahaman dan gambaran, al `ilmu dan al `amal, ad Da`wah serta al Jihad.
Kita mengetahui bahwasanya mereka-radhiallahu `anhum- tidak pernah fanatik kepada madzhab tertentu atau kepada pribadi tertentu, tidak terdapat dikalangan mereka ada mengatakan : “Bakriy (pengikut Abu Bakr), `Umariy (pengikut `Umar), `Utsmaaniy (pengikut `Utsman), `Alawiy (pengikuti `Ali) radhiallahu `anhum ajma`iin, bahkan salah seorang dari kalangan mereka apabila memudahkan baginya untuk bertanya kepada Abu Bakr atau `Umar atau Abu Hurairah dia akan bertanya; yang demikian itu dikarenakan mereka betul betul yaqin bahwasanya tidak dibolehkan meng-ikhlashkan “ittibaa`” (pengikutan) kecuali pada seorang saja, ketahuilah dia adalah Rasulullahi Shollallahu `alaihi wa Sallam; dimana beliau tidak pernah berbicara dengan hawa nafsunya melainkan wahyu yang diwahyukan padanya.
Kalau kita terima bantahan para pengeritik ini bahwasanya kita hanya menamakan diri kita “kami orang muslim”, tanpa menisbahkan kepada “as Salafiyyah”-padahal nisbah itu merupakan nisbah yang mulia dan benar-, apakah mereka (para pengeritik) akan melepaskan dari penamaan dengan golongan golongan mereka, atau madzhab madzhab mereka, atau thoriiqah thoriiqah mereka- yang padahal penisbahan dan penyadaran itu bukan disyari`atkan dan tidak benar?!!
فحسبكم هذا التفاوت بيننا
وكل إناء بما فيه ينضح.
Artinya : “Cukuplah bagi kalian perbedaan ini diantara kita
Dan setiap bejana akan menuangkan apa apa yang ada padanya.
Dan Allah Tabaaraka wa Ta`aalaa yang Menunjuki kita ke jalan yang lurus, dan Dia-Subhaana wa Ta`aalaa- Yang Maha Penolong.
Diterjemahkan oleh Abul Mundzir-Dzul Akmal as Salafiy
Dari Majallah as Ashoolah (no.9/86-90), dengan judul : “Masaail wa Ajwibatuha.”

***
Sumber: http://www.darussalaf.or.id Penulis: Al Muhaddist al `Allaamah Muhammad Naashiruddiin al Albaaniy rahimahullahu Ta`aala Judul: Kenapa kita harus mengikuti as Salaf?

Minggu, 17 Oktober 2010

Janganlah Mengolok-olok Sunnah

Mulia Dengan SunnahMengolok-olok atau menjadikan Sunnah Nabi sebagai bahan tertawaan merupakan perbuatan dosa besar, bahkan bisa menyebabkan pelakunya kafir.

Istihza’ (mengolok-olok) Sunnah Nabi berarti mengolok-olok Islam. Ini adalah perbuatan besar namun dinilai oleh sebagian orang sebagai suatu hal yang biasa. Bahkan terkadang disebut lelucon yang menggelikan karena dianggap perbuatan tersebut adalah main-main dan tidak serius sehingga seolah-olah ketika melakukannya tidak menanggung dosa atau tanggung jawab apa pun. Padahal perbuatan itu dinilai oleh syariat sangat berbahaya dalam segala keadaannya.

Terjadi di zaman Nabi ketika beliau bersama kaum muslimin pergi menuju perang Tabuk maka dalam sebuah majlis seseorang berkata: “Kami tidak melihat ada yang lebih rakus, lebih dusta, dan penakut seperti para pembaca Qur’an kita itu (dia maksudkan para sahabat Nabi).” Maka seseorang menanggapinya: “Kamu dusta, bahkan kamu adalah munafik. Saya benar-benar akan sampaikan kepada Rasulullah.” Maka berita itu sampai kepada Rasulullah dan turunlah ayat Al Qur’an kepada beliau. Abdullah bin Umar mengatakan: “Saya melihat orang itu bergantung dengan tali unta Rasulullah dan kakinya tersandung-sandung batu sambil mengatakan: “Wahai Rasulullah kami hanya main-main.” Namun Rasulullah terus mengatakan: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, Rasul-Nya kalian memperolok-olok? Jangan kalian cari udzur, kalian telah kafir setelah iman kalian” (At Taubah: 65-66) [Hasan, HR Ibnu Abi Hatim dan Ath Thabari dan dihasankan oleh Asy Syaikh Muqbil dalam Shahihul Musnad min Asbabin Nuzul, 108]

Mengomentari masalah ini Asy Syaikh Sulaiman bin Abdillah mengatakan: “Para ulama telah bersepakat atas kafirnya orang yang melakukan sesuatu darinya, maka barangsiapa yang mengolok-olok Allah atau kitab-Nya, atau Rasul-Nya, atau agama-Nya, maka dia telah kafir walaupun main-main dan tidak memaksudkan mengolok-oloknya secara ijma’ (kesepakatan para ulama).” (Taisir Al ‘Azizil Hamid hal. 617)

Hal yang serupa ditegaskan oleh Asy Syaikh Abdurrahman As Sa’di katanya: “Barangsiapa yang mengolok-olok sesuatu dari kitab Allah atau Sunnah Rasul-Nya yang shahih atau melecehkannya atau merendahkannya maka dia telah kafir terhadap Allah Yang Maha Besar.” (Taisir Al Karimir Rahman, 343)
Bahkan Asy Syaikh Shalih Al Fauzan mengatakan: “Barangsiapa yang mengolok-olok salah satu dari Sunnah berarti ia mengolok-olok semuanya, karena yang terjadi pada orang tersebut (pada kisah di atas-red) bahwa mereka mengolok-olok Rasul dan para sahabatnya sehingga turunlah ayat ini. Kalau begitu mengolok-olok perkara ini saling terkait.” (Kitabut Tauhid, 39)
Lalu bagaimana kalau mengolok-olok ilmu dan orang yang berilmu apakah termasuk dalam hukum ini?

Asy Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz menjelaskan masalah ini, katanya: “Yang benar dalam masalah ini adalah dirinci masalahnya. Kalau mengolok-olok ilmu syariat atau orang yang berilmu karena ilmunya maka yang demikian merupakan kemurtadan, tidak ada keraguan dalam masalah itu karena itu adalah perbuatan merendahkan dan meremehkan sesuatu yang Allah besarkan dan mengandung penghinaan dan pendustaan terhadapnya. Adapun mengolok-olok orang yang berilmu dari sisi lain seperti pakaian atau ambisinya terhadap dunia atau kebiasaannya yang tidak sesuai dengan kebiasaan manusia yang tidak ada hubungannya dengan syariat atau sebab yang serupa dengan itu maka yang semacam ini tidak sampai murtad karena perbuatannya ini tidak kembali kepada agama tapi kembali kepada perkara lain.” (footnote Asy Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz terhadap Fathul Majid hal. 526)

Semestinya ketika melihat sesuatu yang berkaitan dengan keagamaan dan sesuai dengan Sunnah Nabi jangan sampai kita mengolok-olok atau menghina, merendahkan, mengejek atau menjadikannya bahan tertawaan atau semacamnya. Walaupun Sunnah itu bertentangan dengan adat istiadat atau kita menganggapnya asing dan aneh serta belum bisa melakukannya. Mestinya kita mendukung dan meminta ampun kepada Allah karena belum bisa melaksanakannya, bukan malah mengejek.
Semoga Allah selalu memberikan taufik-Nya kepada kita untuk selalu melakukan apa yang Ia ridhai dan cintai.

Ukuran Hidayah
Karena begitu bahayanya mencela Sunnah Nabi maka para ulama menjadikan ukuran hidayah dengan istiqamahnya seseorang di atas As Sunnah. Sebaliknya mereka menilai seseorang yang mencela Sunnah Nabi berarti perlu diragukan keistiqamahannya di atas hidayah.

Al Imam Al Barbahari mengatakan: “Jika kamu dengar seseorang mencacat As Sunnah atau menolak As Sunnah atau mencari selain As Sunnah, maka tuduhlah dia pada keislamannya dan jangan kamu ragu bahwa dia adalah pengikut hawa nafsu, ahli bid’ah.” (Syarhus Sunnah, 51, Ta’dhimus Sunah, 29)
Abul Qasim Al Ashbahani mengatakan: “Ahlus Sunnah dari kalangan Salaf mengatakan bahwa jika seseorang mencacat As Sunnah maka semestinya ia dituduh pada keislamannya.” (Al Hujjah fii Bayanil Mahajjah, 2/428, Ta’dhimus Sunnah hal. 29).

Ayyub As Sikhtiyani berkata: “Jika kamu ajak bicara seseorang dengan Sunnah lalu dia mengatakan: ‘Tinggalkan kami dari yang ini dan beri tahu kami dengan Al Qur’an’, maka ketahuilah bahwa dia itu sesat.” (Miftahul Jannah, 137)

Orang yang melakukan perbuatan semacam ini berada dalam keadaan yang sangat berbahaya sehingga Imam Ahmad mengatakan: “Barangsiapa yang menolak hadits Nabi maka dia berada di atas jurang kebinasaan.” (Tabaqat Al Hanabilah, 2/15, Ta’dhimus Sunnah, 29). Wallahu a’lam.

__________________________________________________
Dikutip dari ttp://www.asysyariah.com, Penulis : Al Ustadz Qomar Suaidi, Lc, Judul asli: Hukum mengolok-olok sunnah Nabi

Arsip Blog