Pukul 13.45 WIB saya sudah sampai rumah. Ini tadi ngapain juga berangkat ke kampus? Dosen mendadak minta libur tanpa memberi kabar ke mahasiswa sebelumnya. Padahal mahasiswa juga sudah bertanya dari tadi malam. Mungkin kurang puas kalau nggak ngerjain mahasiswa kali yaa...Kasian yang rumahnya jauh, termasuk saya. Kasian juga mereka yang mau pada pulang kampung, weekend. Suatu hari kalau saya jadi dosen nggak mau seperti itu ah. Aamiin.
Karena kejadian tersebut, rasa emosi dalam diri saya masih meninggi sekalipun sudah sampai rumah. Saya putuskan untuk segera ambil air wudhu dan sholat. Setelah itu, saya baru ingat perut saya masih sakit, diare. Lapar pula. Lengkap deh ya.
“Bu, masak apa?”
“Ibu nggak masak!” jawab ibu.
Masyaallah, batin saya, ‘Ibu seharian ngapain?’
“Sariminya masih buk?” tanya saya pada ibu.
“Masih.”
Saya berjalan gontai menuju dapur. Saya hidupkan kompor dan meletakkan panci kecil, mengisinya dengan air.
‘Ya Allah, akhir-akhir ini ibu kenapa? Mulai cuek dengan saya. Apakah saya terlalu menuntut? Apa saya terlalu manja? Sekarang kalau masak tidak perduli selera saya. Bapak mulu yang dipenuhi. Akhirnya saya jarang makan. Kurang bersyukurkah saya ini? Masyaallah, saya cemburu dengan bapak?
Bukan, seharusnya ibu kan bisa lebih adil. Saya berdialog dengan diri saya sendiri sambil menyajikan bumbu mie instan di dalam mangkuk.
Air-nya sudah mendidih. Saya masukkan mie instan. Aduk perlahan menunggu empuk. Setelah cukup empuk, saya tiriskan dan saya bawa mangkuk berisi mie itu ke ruang TV bersama ibu.
Uap kuah mie instan itu menyeruak menembus lubang hidung saya. Ada sesuatu yang aneh. Baunya tak seperti biasa. Ternyata ibu menyadari apa yang saya alami.
“Itu tadi pakai panci yang kecil ya?”
Saya mengangguk.
“Ya, rasanya aneh kan? Soalnya kemarin panci itu hangus pas ibu pakai masak ikan.” terang ibu.
Masyaallah, ibu! Rasanya darahku langsung nancep sampai ubun-ubun. Kenapa sih nggak mau bilang dari tadi? Kalau seperti ini kan mie-nya jadi mubadzir.
Ah, tidak. Mau nggak mau mie itu tetap harus saya makan. Sungguh nggak selera. Ya Allah, ingin rasanya membuang mie ini. Ha! Ibu.
Selesai sudah acara makan mie aneh ini. Saya bawa mangkuk ke belakang dan kembali bersama ibu.
“Ibu nggak maem?”
“Lagi males.” jawab ibu singkat.
Mendengar jawaban ibu ingin rasanya saya segera menidurkan tubuhku. Namun tak lama ibu berjalan ke belakang. Ada suara gesekan-gesekan layaknya orang yang sedang marut kelapa. Ngapain ibu ini?
“Dek, mau?”
Saya mendekati ibu. Ternyata ibu membuat nasi urap kelapa. Huooo, enak nih. Ah...ibu selalu tahu apa yang saya inginkan. Dengan sigap ibu langsung menyuapi saya. Sekali, duakali dan berkali-kali hingga piring itu bersih.
Suasana mulai mencair.
Ah, ibu. Selalu saja membuat anakmu ini malu dengan sikapnya sendiri. Malu karena terlalu berpikiran buruk kepada ibu. Pikiran saya langsung melayang-layang. Melakukan flashback tentang ibu. Semuanya! Terlebih apa yang telah ibu berikan kepada anak tunggalnya ini.
Disaat emosi sedang memuncak, seringkali saya lupa bagaimana pengorbanan ibu, ya pengorbanan sekaligus menjadi kebiasaan ibu yang mengalah untuk kami (saya dan bapak). Misalnya, ibu selalu memilih lauk ayam yang ukurannya paling kecil dibandingkan ayam untuk saya dan punya bapak, sampai pada kebiasaan ibu yang mengalah untuk makan belakangan pas nasi di magic com ternyata habis dan ibu harus nunggu sampai nasinya matang lagi.
Saya baru sadar, semua ibu di dunia ini memiliki sisi mengagumkan seperti ibu. Ibu Anda juga kan? Huh! Ingin rasanya saya segera memeluk ibu dan meminta maaf. Tapi lagi-lagi saya terlalu gengsi, saya tidak bisa seperti itu. Kaku rasanya.
Saya malu. Saya hanya bisa mengungkapkannya melalui tulisan, entah ibu membacanya atau tidak.
Kalau bicara tentang ibu, mungkin tidak akan ada buku yang muat untuk mencatat semua yang telah ibu lakukan. Dan yang satu pasti untuk kejadian siang ini, saya baru sadar baju di almari telah tertata rapi lengkap dengan bau wangi parfum setrika. Oh ibu.... maafkan saya telah mempertanyakan apa yang ibu lakukan seharian ini. Maafkan adik buk...