Rabu, 18 Januari 2012

Jimat Dalam Islam


Bagi masyarakat Indonesia jimat bukan sesuatu yang asing. Dari rakyat kecil sampai orang kaya pun menggunakannya. Mereka gantungkan urusan mereka kepada jimat. Sebagai agama yang telah sempurna, Islam telah menerangkan kepada kita bagaimana menyikapinya.

Pengertian Jimat

Jimat adalah segala sesuatu yang diyakini menjadi sebab datangnya manfaat atau hilangnya kesulitan, namun bukan merupakan sebab yang dibolehkan oleh syari’at (baik secara syar’i atau qodari) (At-Tamhid lisyarhi Kitabi at-Tauhid karya Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu asy-Syaikh).

Secara syar’i berarti ditunjukan oleh dalil yang benar (Al-Qur’an atau Hadits shahih) sedangkan secara qodari berarti terbukti secara ilmiah. Jadi, benda yang dijadikan jimat tidak harus yang bernuansa mistis dan ngeri, namun sebuah gelas dapat menjadi jimat jika diyakini menjadi sebab dapat menyembuhkan penyakit. Contoh jimat yang tersebar meluas di Indonesia antara lain: jimat penglaris, rajah, susuk, dan lain-lain.

Dalil Umum Pelarangan Jimat

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya jampi-jampi, jimat-jimat, dan guna-guna adalah syirik” (HR. Abu Dawud, shahih). Dalam hadits ini secara tegas Rasul menyebut jimat dengan kemusyrikan. Dalam hadits lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang menggantungkan jimat maka sungguh dia telah berbuat kemusyrikan” (HR. Ahmad, shahih).

Dalil dari Al-Qur’an adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya): (“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka menjawab: “Allah.” Katakanlah: “Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmatNya?. Katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku.” Kepada- Nyalah bertawakkal orang-orang yang berserah diri.” QS. Az-Zumar : 38).
Dari ayat ini dapat disimpulkan bahwa berhala yang disembah oleh kaum musyrikin diyakini oleh mereka sebagai sebab untuk mendatangkan manfaat dan menghilangkan kesulitan. Akan tetapi berhala-berhala tersebut bukanlah sebab yang boleh dimanfaatkan menurut syari’at, dan juga mereka tidak mampu untuk memenuhi sedikit pun perkara yang diminta. Begitu pula orang yang menggunakan jimat, mereka menjadikannya sebab yang tidak dibolehkan oleh syari’at.

Macam dan Hukum Jimat

Jimat dibagi menjadi dua macam, yaitu jimat yang berasal dari Al-Qur’an atau do’a-do’a Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan jimat yang bukan berasal dari keduanya. Adapun hukum jimat yang bukan berasal dari Al-Qur’an atau do’a Nabi, maka termasuk ke dalam kemusyrikan. Tergolong ke dalam syrik kecil jika seseorang meyakini jimat tersebut hanya sebagai sebab/sarana, namun tetap meyakini hanya Allah yang maha kuasa untuk menghilangkan bahaya dan mendatangkan manfaat. Dapat termasuk ke dalam syirik besar (yang mengeluarkan dari Islam) jika meyakini jimat tersebutlah dengan sendirinya yang mendatangkan manfaat dan menghilangkan kesusahan tanpa meyakini adanya kekuasaan Allah dalam memberikan pengaruh dari sebab yang diambil (Majmu’ Fatawa Wa Rasail karya Syaikh Utsaimin).

Sedangkan jimat yang berasal dari Al-Qur’an, maka terdapat perselisihan diantara para ulama apakah hal tersebut diperbolehkan atau tidak. Alasan diperbolehkannya karena Al-Qur’an bukan termasuk makhluk melainkan Kalamullah. Namun yang lebih tepat adalah pendapat yang melarang penggunaan Al-Qur’an sebagai jimat. Hal tersebut didasarkan atas beberapa alasan:
(1) Keumuman dalil pelarangan jimat dan tidak ada dalil lain yang mengkhususkan bolehnya hal tersebut;
(2) Dapat menyebabkan penghinaan terhadap Al-Qur’an karena dibawa ke tempat najis dan kotor;
(3) Demi menutup jalan-jalan kemusyrikan, yaitu perbuatan menggantungkan selain Al-Qur‘an sebagai jimat;
(4) Tidak adanya dalil dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang membolehkan hal tersebut (Haasyiatu Kitabi at-Tauhid karya Syaikh Abdurrahman bin Qaasim). Jadi kesimpulannya seluruh bentuk jimat adalah terlarang dalam syari’at Islam, baik yang berasal dari Al-Qur’an atau selain Al-Qur’an.

Jimat bukan sarana yang diizinkan syari’at

Pembahasan mengenai jimat sangat erat kaitannya dengan pembahasan kaidah pengambilan sebab. Karena orang-orang yang menggunakan jimat, mereka menjadikannya sebagai sebab agar tercapai keinginannya. Padahal tidak sembarang sebab boleh ditempuh menurut syari’at. Kesalahan dalam pengambilan sebab dapat menjerumuskan seseorang ke dalam kemusyrikan. Terdapat tiga kaidah yang harus dipahami dalam mengambil sebab (At-Tauhid Al-Muyassar karya ‘Abdullah Al-Huwaili) :

1. Sebab yang diambil harus terbukti secara syar’i atau qodari

Suatu sebab terbukti secara syar’i berarti terdapat dalil yang shahih, baik dari Al-Qur’an maupun hadits, yang menunjukkan bolehnya pengambilan sebab tersebut. Walaupun secara akal, hal tersebut belum terjangkau. Contohnya adalah cara menangkal racun pada bejana yang terjatuhi lalat yaitu dengan mencelupkan seluruh badannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila lalat jatuh di bejana salah satu diantara kalian maka celupkanlah karena pada salah satu sayapnya terdapat penyakit dan pada sayap lainnya terdapat obat penawarnya” (HR. Bukhari). Hadits ini menunjukkan kepada kita bahwa mencelupkan tubuh lalat yang masuk ke dalam bejana berisi cairan merupakan sebab yang diizinkan secara syar’i karena berdasarkan hadits yang shahih.

Sedangkan suatu sebab dapat terbukti secara Qodari berarti sebab tersebut dapat dibuktikan secara ilmiah dan akal dapat menjangkaunya. Atau dengan kata lain, sebab dan akibat yang ditimbulkan memiliki hubungan rasional. Seperti orang yang lapar, akan mengambil sebab makan sehingga ia dapat kenyang, atau orang yang ingin pergi ke masjid untuk sholat berjamaah, maka ia berjalan kaki dari tempat tinggalnya.

2. Tidak boleh bersandar kepada sebab

Setelah sebab yang diambil terbukti secara syar’i atau Qodari, maka selanjutnya kita tidak boleh bersandar kepada sebab yang telah diambil. Karena hal ini menunjukkan sifat kurangnya tawakal kepada Allah Ta’ala, karena sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Kuasa yang dapat menciptakan segala sesuatu. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya) “Katakanlah: Sekali-kali tidak akan menimpa Kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah pelindung Kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal” (QS. At-Taubah : 51).


3. Meyakini bahwa sebab hanya dapat berpengaruh dengan izin dari Allah dan tidak dengan sendirinya

Seorang Muslim harus meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, hanya dapat terjadi atas izin dari Allah Ta’ala. Begitu pula berpengaruhnya sebab, hanya dapat terjadi dengan izin dari Allah Ta’ala. Misalnya seorang pasien yang berobat ke dokter, kemudian dokter memberikan obat tertentu. Setelah obat tersebut diminum, penyakit yang dialami si pasien menjadi sembuh. Maka sesungguhnya yang memberikan kesembuhan adalah Allah Ta’ala, bukan dokter atau obat. Dokter dan obat hanya sebagai sebab kesembuhan pasien tersebut. Maka seorang muslim harus memiliki keyakinan seperti ini, terhadap seluruh sebab yang dia ambil.

Seseorang yang menggunakan jimat, berarti ia telah melanggar kaidah yang pertama, karena jimat merupakan sebab yang tidak diizinkan baik secara syar’i maupun qodari. Bahkan sebagian dari mereka (pengguna jimat) melanggar kaidah kedua dan ketiga. Mereka setelah menggunakan jimat, kemudian bersandar kepada jimat tersebut. Seolah-olah dengan tidak adanya jimat maka musibah akan melanda mereka. Yang lebih disayangkan lagi sebagian orang yang meyakini bahwa jimat tersebut dengan sendirinya dapat menolak bahaya. Keyakinan seperti itu adalah keyakinan yang harus dihindari, karena bertentangan dengan tauhid kepada Allah Ta’ala serta dapat mengeluarkan seseorang dari Islam.

[Ndaru Triutomo*]
http://buletin.muslim.or.id/aqidah/jimat-menurut-islam
IKLAN 3

0 komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog