TRIBUNNEWS.COM - Bulan Maret 2012, DPR-RI akan melakukan pembahasan intens (terakhir) mengenai Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi (RUU PT). Pembahasan ini merupakan pembahasan terakhir, sebab pembahasan RUU PT sudah masuk pada masa persidangan ketiga dan harus berakhir di akhir masa persidangan ini.
Oleh sebab itu, pembahasan RUU PT ini sangat penting untuk dicermati. Setelah UU BHP di-Judicial Review oleh Mahkamah Konstitusi pada 2010 silam, publik menaru harapan besar pada rancangan undang-undang yang akan menjadi payung hukum baru pelaksanaan pendidikan tinggi di Indonesia.
Namun, kendati telah mengalami masa pembahasan yang panjang, substansi yang diberikan pada draft terbaru RUU PT ini masih sangat mengecewakan. Dari draft yang dihasilkan per 22 Februari 2012 silam, masih banyak pasal yang substansi dan semangatnya justru tidak jauh berbeda dari UU BHP yang sudah dibatalkan. Semangat liberalisasi pendidikan masih berada dalam substansi RUU tersebut, walau dikemas dalam redaksi kata yang berbeda.
Artinya, jika tidak ada kritik yang signifikan atas RUU Pendidikan Tinggi saat ini, bisa dipastikan episode “kelam” UU BHP akan terulang kembali. Oleh sebab itu, sebelum kritik dan penolakan tersebut disampaikan secara terbuka, substansi dari RUU PT saat ini perlu dibedah secara lebih komprehensif.
Liberalisasi Pendidikan?
Diskursus mengenai liberalisasi pendidikan tinggi sudah muncul semenjak ditandatanganinya General Agreement on Trades in Services oleh negara anggota WTO (World Trade Organization). Dalam persetujuan itu, ada 12 sektor jasa yang sepakat untuk diliberalisasi, salah satunya sektor pendidikan tinggi.
Diskursus mengenai liberalisasi pendidikan tinggi sudah muncul semenjak ditandatanganinya General Agreement on Trades in Services oleh negara anggota WTO (World Trade Organization). Dalam persetujuan itu, ada 12 sektor jasa yang sepakat untuk diliberalisasi, salah satunya sektor pendidikan tinggi.
Dengan adanya liberalisasi sektor jasa tersebut –termasuk sektor pendidikan tinggi— arus globalisasi menjadi kian tak terperikan untuk ditolak. Indonesia mesti menerima proses internasionalisasi pendidikan tinggi, yang berarti membuka ruang-ruang kerjasama dengan pihak luar dalam konteks pengembangan pendidikan tinggi.
Masuknya proses globalisasi itu sendiri tak serta merta berdampak positif. Liberalisasi pendidikan tinggi juga akan bermakna transformasi pendidikan sebagai “komoditas”. Artinya, pembiayaan pendidikan tinggi juga akan dilepaskan dari sentralitas negara.
Mengapa? Karena pendidikan telah menjadi public goods –komoditas— proses pendidikan tinggi juga harus masuk pada logika “pasar”, sehingga pembiayaan pendidikan tidak lagi bertumpu pada subsidi pemerintah, tetapi pada pembiayaan yang mandiri dari universitas.
Konsekuensi dari liberalisasi pendidikan adalah lepasnya peran negara dalam membiayai pendidikan. Sebagai gantinya, perguruan tinggi akan mencari sumber pembiayaan lain untuk memastikan operasionalisasi akademik tetap berjalan.
Konsekuensi dari liberalisasi pendidikan adalah lepasnya peran negara dalam membiayai pendidikan. Sebagai gantinya, perguruan tinggi akan mencari sumber pembiayaan lain untuk memastikan operasionalisasi akademik tetap berjalan.
Dengan demikian, kenaikan biaya masuk pendidikan tinggi menjadi tak terhindarkan. Selain kuliah kian mahal, kampus juga berpotensi besar melakukan komersialisasi atas fasilitas pendidikan. Ini yang kemudian terjadi dalam konsep PT BHMN maupun BHP yang telah dibatalkan.
Konsep Pendidikan Tinggi
Jika kita lacak konsep pendidikan, UU Sisdiknas No 20 tahun 2004 telah menegaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terncana untuk mewujdkan suasana belajar dan pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Jika kita lacak konsep pendidikan, UU Sisdiknas No 20 tahun 2004 telah menegaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terncana untuk mewujdkan suasana belajar dan pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Artinya, dari definisi tersebut, pendidikan bukan semata-mata usaha seorang warga negara untuk memastikan dirinya –secara individual— dapat memenuhi kualitas hidup yang lebih baik, melainkan juga ada dimensi etik dan transformasi sosial di dalamnya.
Dimensi etik itu diwujudkan ke dalam pendidikan karakter dan kepribadian, sementara transformasi sosial diwujudkan dalam pengabdian kepada masyarakat. Hal ini telah ditegaskan dalam cita-cita UGM yang termaktub dalam Statuta 1950, yang merupakan dokumen filosofis pertama bagi pendidikan tinggi negeri di Indonesia.
Cita-Cita UGM, sebagai contoh, memiliki tiga dimensi besar: pertama, membentuk manusia susila yang cakap dan punya tanggung jawab mengembangkan kesejahteraan masyarakat; kedua, memajukan pengetahuan; dan ketiga, menyelenggarakan usaha memelihara kebudayaan dan kemasyarakatan.
Artinya, nilai-nilai etika dan transformasi sosial tersebut akan berlawanan dengan semangat liberalisasi pendidikan yang dibawa oleh GATS. Dengan demikian, usaha-usaha memasukkan unsur liberalisasi pendidikan tinggi dalam RUU yang akan disahkan harus dilawan agar tidak berdampak sistemik terhadap konsep pendidikan tinggi.
Liberalisasi dalam RUU PT
Dalam Rancangan UU Pendidikan Tinggi kali ini, jeratan liberalisasi pendidikan ternyata masih menghimpit. Beberapa klausul yang ditawarkan oleh perumus masih saja memuat beberapa hal yang bertendensi pada liberalisasi sektor pendidikan.
Dalam Rancangan UU Pendidikan Tinggi kali ini, jeratan liberalisasi pendidikan ternyata masih menghimpit. Beberapa klausul yang ditawarkan oleh perumus masih saja memuat beberapa hal yang bertendensi pada liberalisasi sektor pendidikan.
Sebagai contoh, di pasal 77, pemerintah melakukan pemilahan perguruan tinggi menjadi tiga jenis: (1) otonom; (2) semi-otonom; (3) otonom terbatas. Konsep otonomisasi perguruan tinggi masih menjadi hal yang problematis karena memuat “liberalisasi” dalam pembiayaan.
Di pasal 80, PTN yang berstatus otonom menerima mandat pelaksanaan pendidikan tinggi dengan wewenang mengelola dana secara mandiri (ayat 2 huruf f), serta mendirikan badan usaha dan mengembangkan dana abadi (ayat 2 huruf h).
Di pasal 80, PTN yang berstatus otonom menerima mandat pelaksanaan pendidikan tinggi dengan wewenang mengelola dana secara mandiri (ayat 2 huruf f), serta mendirikan badan usaha dan mengembangkan dana abadi (ayat 2 huruf h).
Dalam hal pemenuhan hak mahasiswa (pasal 90), pemerintah memiliki opsi yang cukup aneh, yaitu memberikan dan/atau mengusahakan pinjaman dana kepada mahasiswa (ayat 2 huruf c). Pinjaman dana kepada mahasiswa ini diberikan tanpa bunga atau dengan bunga (ayat 3) dan dilunasi selepas lulus kuliah atau mendapatkan pekerjaan.
Jelas, klausul ini melegitimasi kapitalisme pendidikan yang melihat pendidikan bukan sebagai tanggung jawab negara, tetapi dalam kerangka profit. Dalam bahasa lain, UU ini mengajarkan warga negara untuk berutang. Padahal, dalam pasal 31 UUD 1945 ayat (2), pendidikan adalah hak rakyat.
Secara sosiologis, kita bisa memotret pola relasi pembiayaan seperti ini sebagai upaya mendidik warga negara untuk berutang. Artinya, alih-alih menyiapkan subjek pendidikan agar piawai melakukan transformasi sosial bagi masyarakatnya (sebagaimana dikehendaki UU Sisdiknas dan cita-cita perguruan tinggi), pemerintah justru membuat warga negara “berpikir keras” melunasi utangnya kepada warga negara.
Hal ini tentu tidak sesuai dengan cita-cita mulia pendidikan, apalagi dalam konteks semangat kerakyatan yang diharapkan tampil dalam perguruan tinggi. Bagi BEM KM UGM yang mengemban semangat kampus kerakyatan, RUU PT menjadi “wajib” untuk ditolak.
Korporatisme Menteri?
Korporatisme Menteri?
Hal lain yang perlu dikritisi dari RUU Pendidikan Tinggi adalah kewenangan menteri yang terlalu besar. Hampir seluruh BAB di RUU PT diakhiri dengan “ketentuan lebih lanjut diatur dalam Peraturan Menteri”, termasuk mengenai mahasiswa, pelaksanaan tridharma, dan lain-lain.
Ada 3 pasal yang mengatur spesifik mengenai mahasiswa, yaitu pasal 14 tentang posisi mahasiswa sebagai sivitas akademika, pasal 15 tentang kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler, serta pasal 91 tentang organisasi kemahasiswaan.
Pasal 15 menyebutkan bahwa kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler dilaksanakan melalui organisasi kemahasiswaan (penjelas, ayat 2), sementara peraturan mengenai kegiatan tersebut diatur dalam Peraturan Menteri. Sementara itu, organisasi kemahasiswaan diatur lebih lanjut dalam AD/ART Organisasi (pasal 91 ayat 6).
Tiga pasal di sini tumpang tindih satu sama lain. Mana yang bisa dijadikan acuan, Peraturan Menteri yang baru atau AD/ART Ormawa? Jika yang diacu adalah peraturan menteri, bagaimana cara melakukan penyeragaman di semua organisasi kemahasiswaan di Indonesia? Artinya, klausul mengenai peraturan menteri di Pasal 15 akan memberi kerumitan sendiri dalam pelaksanaannya.
Kritik utama dari RUU PT adalah kewenangan menteri yang terlalu besar. Semua urusan, termasuk dalam hal kemahasiswaan, diserahkan kepada menteri. Adanya peraturan menteri yang mengatur posisi mahasiswa bisa menjadi bentuk “korporatisme” negara atas posisi kemahasiswaan.
Adanya peraturan menteri mengenai mahasiswa bisa dibaca sebagai bentuk “korporatisme baru” atas aktivitas mahasiswa. Ini mengingatkan kita pada bentuk “korporatisme lama” dalam bentuk NKK/BKK. Korporatisme berpotensi melahirkan represi negara atas warganya, yang mana akan sangat bertentangan dengan kebebasan sipil dan politik mahasiswa.
Seluruh elemen kemahasiswaan, tak terkecuali BEM, Pers Mahasiswa, UKM, maupun gerakan mahasiswa ekstrakampus harus mewaspadai hal ini. Jika RUU PT lolos di parlemen, dampaknya akan fatal bagi aktivitas kemahasiswaan Indonesia.
Perihal Internasionalisasi
Bab berikutnya yang cukup bermasalah adalah internasionalisasi pendidikan tinggi yang diatur dalam dua pasal: Pasal 58 dan 59. Pasal 58 mengatur tentang internasionalisasi yang berisi peningkatan peranan pendidikan tinggi Indonesia di kancah internasional, sementara pasal 59 mengatur kerjasama internasional.
Bab berikutnya yang cukup bermasalah adalah internasionalisasi pendidikan tinggi yang diatur dalam dua pasal: Pasal 58 dan 59. Pasal 58 mengatur tentang internasionalisasi yang berisi peningkatan peranan pendidikan tinggi Indonesia di kancah internasional, sementara pasal 59 mengatur kerjasama internasional.
Di pasal 58 ayat (2), internasionalisasi dilakukan dengan integrasi dimensi internasional dan lintas budaya dalam kegiatan akademik. Kebijakan nasional mengenai internasionalisasi akan diatur dalam peraturan menteri (ayat 4). Sementara itu, arahan kebijakan nasional tersebut akan setidaknya memuat beberapa hal, antara lain pembentukan komunitas ilmiah, pemberian wawasan internasional, dan pemajuan nilai-nilai budaya bangsa (ayat 6).
Adapun pasal 59 menjelaskan bahwa kerjasama internasional dalam bidang pendidikan dilakukan melalui pendidikan, penelitian, pengabdian masyarakat, pengembangan pendidikan tinggi, dan bidang lain yang menjadi kepentingan nasional (ayat 3). Kerjasama tersebut dapat mencakup kegiatan pendidikan bergelar atau non-gelar (ayat 4), dan dilakukan bersama-sama perwakilan Indonesia di luar dan dalam negeri.
Perspektif mengenai kerjasama internasional bisa dilihat secara positif sebagai pengembangan mutu pendidikan dalam negeri. Mobilitas mahasiswa Indonesia ke luar negeri menjadi lebih mudah, seperti dalam hal beasiswa atau pembiayaan riset.
Akan tetapi, ada satu hal yang perlu dikritisi: internasionalisasi harus dibaca sebagai alat untuk encountering globalization. Perspektif mengenai globalisasi harus diulas. Dalam perspektif transformasionalis, internasionalisasi harus dibaca sebagai alat untuk menghadapi globalisasi dengan memajukan budaya lokal dan nasional.
Sementara itu, dalam perspektif hiperglobalis, internasionalisasi justru dimaknai sebagai upaya memproteksi budaya lokal dan nasional agar tahan menghadapi gempuran budaya asing. Perspektif ini mengimplikasikan adanya kebijakan pendidikan yang menitikberatkan pada pemeliharaan budaya lokal dan nasional untuk menghadapi globalisasi.
Artinya, dalam melihat kebijakan internasionalisasi sebagaimana diatur dalam pasal 58 dan 59 ini, perlu ada tools yang jelas ke arah mana RUU ini akan bergulir. Sayangnya, internasionalisasi hingga saat ini belum dibaca sebagai alat dalam meng-encounter globalization.
Jika dilihat lagi secara lebih seksama, ada satu pasal lagi yang sangat gamblang menjelaskan posisi internasionalisasi dalam RUU PT ini: pasal 114. Di pasal ini, perguruan tinggi negara lain dapat menyelenggarakan pendidikan di Indonesia (ayat 1). Prosesnya dilakukan melalui kerjasama dengan perguruan tinggi Indonsia dan mengangkat dosen serta tenaga kependidikan dari warga negara Indonesia (ayat 2),
Pasal ini terkesan “menipu” sebab berada terpisah dari pasal lain mengenai internasionalisasi. Padahal, justru substansi dari internasionalisasi terdapat pada pasal ini. Dengan “boleh”-nya perguruan tinggi negara lain masuk ke Indonesia tanpa ada “filter kultural”, internasionalisasi menjadi unsteerable juggernaut travelling through space –seperti kata Anthony Giddens. Pendidikan akan menjadi tak terkontrol –dari segi etik dan budaya.
Kerjasama internasional menjadi tidak bermasalah jika ada “filter budaya” berupa pengarusutamaan nilai-nilai kejindonesiaan. Namun, jika perguruan tinggi asing bisa dengan mudah masuk ke Indonesia, mekanisme untuk menyaring transfer budaya asing ke Indonesia menjadi lemah. Sehingga, klausul pasal 114 menjadi patut untuk ditolak dalam konteks kebudayaan Indonesia.
Justru, konstruksi UU mengamini globalisasi secara utuh tanpa cara pandang yang jelas. Hal ini terlihat dari tidak jelasnya upaya memproteksi budaya bangsa dalam pendidikan tinggi. Hal ini sebenarnya merupakan satu kesatuan besar dalam ranah diskursus liberalisasi pendidikan tinggi, GATS, dan upaya menjadikan pendidikan sebagai komoditas.
Tolak Draft RUU PT versi DPR!
Dari pembacaan beberapa pasal krusial di atas, BEM KM UGM dengan ini menyatakan sikap untuk menolak draft RUU Pendidikan Tinggi yang akan disahkan oleh DPR-RI per 22 Februari 2012. Draft RUU Pendidikan Tinggi ini masih sangat bernuansa liberalisasi pendidikan, dan oleh sebab itu harus direvisi segera.
Dari pembacaan beberapa pasal krusial di atas, BEM KM UGM dengan ini menyatakan sikap untuk menolak draft RUU Pendidikan Tinggi yang akan disahkan oleh DPR-RI per 22 Februari 2012. Draft RUU Pendidikan Tinggi ini masih sangat bernuansa liberalisasi pendidikan, dan oleh sebab itu harus direvisi segera.
Untuk menindaklanjuti sikap tersebut, BEM KM UGM memberikan dua rekomendasi langkah bagi Komisi X DPR-RI.Pertama, segera melakukan perubahan atas beberapa pasal yang bermasalah di draft RUU Pendidikan Tinggi, yaitu Pasal 15 ayat (2) dan (3), Pasal 58 ayat (2) dan (4), pasal 59 ayat (3). Pasal 77 ayat(1), (2), (3), (4), (5), dan (6), Pasal 80 ayat (1) dan (2), Pasal 90 ayat (2) huruf c, ayat (3), (4), (5), dan (6), Pasal 91 ayat (1) dan (2),Pasal 107 ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6), Pasal 111 ayat (1) huruf c dan ayat (2), Pasal 114 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5). Perubahan tersebut bisa dilakukan dengan penghapusan atau penggantian substansi dengan mengedepankan semangat pendidikan untuk rakyat dan hak rakyat atas pendidikan tinggi.
Kedua, melakukan penundaan pembahasan RUU Pendidikan Tinggi agar kajian dan masukan masyarakat bisa diterima secara lebih serius. Penundaan ini penting untuk dilakukan agar pengesahan tidak dilakukan secara tergesa-gesa oleh DPR selaku pemangku kepentingan rakyat.
RUU Pendidikan Tinggi adalah payung hukum paling penting guna mewujudkan masa depan yang lebih baik. Perancangan UU secara sembrono hanya akan menghasilkan generasi masa depan yang liberal, tanpa etika dan nilai-nilai Pancasila.
Universitas Gadjah Mada mengemban peran sejarah sebagai kampus kerakyatan. Untuk itu, BEM KM UGM sebagai generasi muda Universitas Gadjah Mada akan tetap setia mempertahankan nilai-nilai kerakyatan sebagaimana termaktub dalam Statuta UGM 1950 yang telah secara gamblang menjelaskan cita-cita filosofis pendidikan tinggi.
Oleh sebab itu, BEM KM UGM menyerukan kepada segenap elemen mahasiswa: Tolak Unsur Liberalisasi Pendidikan dalam RUU Pendidikan Tinggi. Maka, mari bersama-sama mengkritisi Draft RUU PT yang diberikan oleh Komisi X DPR-RI.
0 komentar:
Posting Komentar