Pikiran Karim terngiang pada kenangan beberapa tahun silam. Ketika itu, Karim berdebat. Dengan seorang teman. Perdebatan tentang hakekat cinta sejati. Adakah?
Sebuah pertanyaan klasik. Barangkali pertanyaan ini akan dianggap terlalu idealis. Tapi, kita memang tak bisa berkelit darinya. Pikiran kita pasti akan mengandaikannya.
Karim sempat mengandaikannya. Andaikan cinta sejati betul-betul ada, lantas, kepada siapakah kita menghambakan diri? Kepada istri yang cantik jelita? Kepada suami yang rupawan? Kepada anak-anak? Kepada harta dunia? Atau, kepada pangkat? Waktu itu, Karim belum menemukan jawaban.
Lewat pengembaraan maya dalam berbagai pertemuan dialogis, Karim mendapati seberkas cahaya. Karim temukan harapan. Harapan untuk sebuah jawaban. Sewaktu menelusuri jejak-jejak kehidupan Nabi Ibrahim, pintu hati ini langsung terketuk. Saya tertegun sewaktu baca buku Jerald F. Dirks, Ibrahim Sang Kekasih Tuhan (2007). Rupanya, sejarahnya telah mengajari kita mengenal "cinta sejati."
Di tengah hiruk-pikuk kaumnya di kota Ur, yang memuja-muja Sin (Dewi Bulan), ia tetap tak bergeming. Ibrahim memang sempat mengamati bulan purnama yang elok (Qs. Al-An’am: 76). Malam yang bening membuat bulan terasa angkuh sendirian di langit. Planet Venus (Ishtar) pun diamatinya (Qs. Al-An’am: 77). Ibrahim juga menemukan satu planet cantik yang amat genit ini setiap kali senja menjelang. Matahari begitu mempesona (Qs. Al-An’am: 78). Shamash, Dewa Matahari, sempat membuatnya kagum. Tapi, ia bersikukuh tak akan jatuh cinta kepada mereka. Sebab, bulan itu bisa redup. Bintang juga sirna. Matahari pun tenggelam. Ia tak ingin cintanya redup. Juga tak menghendaki cintanya sirna, apalagi tenggelam.
lain halnya dengan Cinta sejati Ibrahim bukan kepada istrinya, Sarah, yang terkenal cantik lagi jelita. Cintanya juga bukan kepada anak-anaknya, Ismail dan Ishaq. Apalagi cinta terhadap harta bendanya yang konon berlimpah-ruah. Cinta sejatinya hanya kepada Allah (lillah), Dzat yang telah menciptakan dirinya (Al-Khaliq).
Karena cinta, Ibrahim rela diusir oleh kaumnya. Karena cinta, dirinya rela tidak diakui sebagai anak oleh ayahnya. Karena cinta, ia harus rela menerima hukuman dibakar oleh kaumnya. Itu semua hanya untuk mempertahankan cinta sejatinya—hanya cita kepada Allah.
Seberapa besar kadar cinta seseorang, hanya pengorbanan yang bisa membuktikannya. Ketulusan cinta sejati Ibrahim kepada Allah pun masih diuji dengan perintah supaya mengorbankan anak kesayangannya, Isma’il, sewaktu usianya masih belia (Qs. Ash-Shaffat: 102).
Isma’il adalah anak pertama Ibrahim. Ia memperoleh karunia seorang anak saleh ini dari istri keduanya, Hajar. Perempuan ini merupakan hamba sahaya hadiah dari salah seorang raja Mesir (Amaliq Hexos: Amaliqah Al-Heksus). Darinya, lahir keturunan Ibrahim yang kemudian menetap di lembah Bakkah.
Ketulusan hati Ibrahim mengorbankan Isma’il telah membuktikan kualitas cintanya kepada tuhannya. Cinta kepada Allah di atas segala-galanya. Bahkan, sampai terhadap anak kesayangannya rela dikorbankan. Itu hanya untuk memenuhi tuntutan dari Kekasih Agungnya.
Ya.., cinta memang butuh pengorbanan, seberapa besar cinta seseorang akan terlihat sebesar apa pengorbanannya. Walau harus berkorban menerima takdir dan melepas orang yang dicintai demi kebahagiaan masa depanya. Allah swt adalah pemilik cinta sejati..hanya kepadaNya cinta ini tak pernah padam. I Love YOU ALLAH.
0 komentar:
Posting Komentar