TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terkait wacana kebijakan Kemendikbud yang akan menambah jam belajar siswa, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) melakukan kajian dan mencoba memaparkan bahwa penerapan wacana tersebut akan lebih banyak mendatangkan kerugian dibanding manfaat.
"Niat baik Kemendikbud melalui kebijakannya untuk mencegah tawuran, narkoba malah akan membuat siswa stress akibat kurungan terlalu lama di sekolah akan melampiaskan emosinya dengan tawuran dan mengkonsumsi narkoba dengan skala yang lebih besar," ujar Presidium FSGI, Guntur Ismail dalam keterangan pers yang diterima Tribunnews.com, Selasa(16/10/2012).
Lebih lanjut, Guntur menguraikan bahwa menurut pengamatannya paling tidak ada empat kerugian yang akan ditimbulkan dari penerapa penambahan jam belajar siswa.
Kerugian pertama, menruut Guntur, kebijakan penambahan jam belajar siswa akan menutup kesempatan siswa untuk mengembangkan diri melalui belajar tambahan. Menurut Guntur, dari pengamatan FSGI siswa yang unggul dalam pembelajaran adalah siswa yang aktif dan memiliki hobi membaca.
Kelebihan seperti ini tidak muncul begitu saja melainkan karena ketersediaan waktu yang dikelola oleh siswa dengan kerjasama berbagai pihak (stakeholder).
FSGI, lanjut Guntur, menyimpulkan bahwa menambah jam belajar siswa adalah upaya kurungan, pengekangan terhadap emosi siswa yang pada suatu waktu nanti akan terjadi ledakan emosi yang luar biasa.
"Dan yang lebih mengagetkan kita adalah sebanyak 100 persen dari responden pelajar menyatakan tidak setuju penambahan jam belajar siswa tersebut," kata Guntur.
Selain itu, kebijakan penambahan jam belajar siswa akan mengurangi kesempatan kepada siswa untuk mengerjakan tugas PR. Pemahaman masyarakat khususnya orang tua peserta didik tentang pentingnya siswa mengerjakan PR adalah untuk mendorong siswa agar mau belajar, dan bahkan PR merupakan sarana orang tua untuk memotivasi anaknya untuk belajar.
Lebih jauh Guntur menambahkan, orangtua yang peduli akan mendampingi dan membimbing anaknya untuk mengerjakan PR. PR dapat berfungsi sebagai acuan bagi orang tua tentang bisa tidaknya anaknya mengikuti pembelajaran di sekolah.
"Jadi, melalui PR orangtua dapat mengontrol kemajuan belajar anaknya setiap hari, bisa dibayangkan kalau kebijakan ini berjalan pasti akan ada penolakan, protes dan kritik dari orangtua," ujarnya.
Kerugian lain dari penerapan penambahan jam belajar bagi siswa adalah Jakarta akan menjadi lebih macet. Dengan penetapan penambahan waktu belajar siswa maka tidak terhindarkan lagi jam pulang sekolah akan bersamaan dengan jam pulang kerja, dan keadaan ini akan menjadi penyumbang kemacetan terbesar.
"Kami prediksi dengan adanya kemacetan ini siswa akan tiba di rumah antara pukul 19.00-20.00 WIB, siswa akan berada di luar rumah antara 11-14 jam, berangkat subuh pulang malam, tidak ada lagi waktu interaksi dan bimbingan orangtua kepada anaknya dan hal ini berpotensi menjadikan anak sulit dikendalikan," kata Guntur.
Selanjutnya akan sulit dibedakan pelaku tawuran pelajar sungguhan dan preman bayaran yang menyamar sebagai pelajar. Dengan penambahan jam belajar, besar kemungkinan waktu tawuran akan bergeser menjadi malam hari. Jika ini terjadi maka pelaku tawuran akan sulit dikenali dan mudah disusupi oleh preman bayaran yang menyamar sebagai pelajar.
"Jadi dapat disimpulkan bahwa penambahan jam belajar siswa bukan mencegah tawuran tapi malah berpeluang meningkatkan jumlah tawuran," tutup Guntur.
0 komentar:
Posting Komentar