TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA - Perubahan kurikulum berdasar kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2013 bukan saja berdampak bagi guru. Akan tetapi, kepada murid yang sekarang mengikuti pembelajaran merujuk Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.
"Ini jelas akan membingungkan ketika tiba-tiba ada perubahan kurikulum. Maka peserta didik akan menjadi korban. Merek a menjadi kelinci percobaan dan korban kebijakan pendidikan yang tak bijak," ujar Fahriza di ICW, Jakarta, Minggu (25/11/2012).
Menurut Fahriza, Kemendikbud mendasarkan proses perubahan kurikulum tanpa melibatkan guru, dan murid. Dalam artian, pendapat murid sebagai peserta didik tidak dilihat lewat penelitian, misalnya. Karena, pendapat anak bisa menjadi masukan berarti.
"Jika belum dilakukan, perubahan kurikulum yang dilakukan Kemendikbud telah melanggar prinsip-prinsip dasar Konveksi Hak-hak Ananak sebagaimana tertuang dalam UU Perlindungan Anak untuk menghargai pendapatnya," terangnya.
Aktifis Serikat Guru Indonesia Kota Medan yang tergabung dalam Federasi Serikat Guru Indonesia ini menambahkan, jika Kemendikbud sudah menunaikan prinsip itu, seharusnya berkewajiban memublikasikan hasil kajian penelitian dari pendapat murid.
Sekjen FSGI Retno Listiyarti menambahkan, sejauh ini KTSP sudah cukup bagus. Yang menjadi persoalan, Pemerintah dalam hal ini Kemendikbud tidak pernah memberikan model dan aturan yang jelas bagaimana guru menyusun KTSP yang baik, sesuai dengan otonomi sekolah.
Implementasi KTSP dilakukan pada 2006, kemudian tak lama muncul KTSP berkarakter. Namun, ketika implementasi KTSP belum sepenuhnya dipahami oleh guru-guru, utamanya di pelosok, muncul perubahan kurikulum yang datang secara tiba-tiba.
Wajar, jika banyak guru mempertanyakan bagaimana kesiapan guru untuk perubahan kurikulum, mengingat kasus umum yang terjadi, KTSP antarsekolah yang harusnya berbeda, tapi masih banyak ditemukan kurikulum satu sekolah dengan sekolah lainnya sama.
Retno mencontohkan, lewat KTSP seharusnya sekolah memasukkan muatan yang khas daerahnya. Seperti sekolah yang berada di pesisir, maka bisa memasukkan soal bahari. Sekolah yang berada di daerah pegunungan, bisa memasukkan soal bencana merapi.
"Karena itu KTSP jauh lebih baik. Dan pemerintah mestinya membangun kapasitas guru bagaimana menulis, menyusun kurikulum, tapi tak pernah dilakukan. Kemendikbud mengecilkan arti kurikulum dengan metode," terang Retno.
"Pengertian kurikulum itu luas dan dalam, tapi dikecilkan maknanya dan menyamakan dengan mata pelajaran dan metode. Maka harus dilihat kurikulum diubah apakah berdasar standar isi, standar proses, atau standar evaluasi, atau merubah semua," tukas Retno yang menilai Kemendikbud justru tak paham soal ini.
"Ini jelas akan membingungkan ketika tiba-tiba ada perubahan kurikulum. Maka peserta didik akan menjadi korban. Merek a menjadi kelinci percobaan dan korban kebijakan pendidikan yang tak bijak," ujar Fahriza di ICW, Jakarta, Minggu (25/11/2012).
Menurut Fahriza, Kemendikbud mendasarkan proses perubahan kurikulum tanpa melibatkan guru, dan murid. Dalam artian, pendapat murid sebagai peserta didik tidak dilihat lewat penelitian, misalnya. Karena, pendapat anak bisa menjadi masukan berarti.
"Jika belum dilakukan, perubahan kurikulum yang dilakukan Kemendikbud telah melanggar prinsip-prinsip dasar Konveksi Hak-hak Ananak sebagaimana tertuang dalam UU Perlindungan Anak untuk menghargai pendapatnya," terangnya.
Aktifis Serikat Guru Indonesia Kota Medan yang tergabung dalam Federasi Serikat Guru Indonesia ini menambahkan, jika Kemendikbud sudah menunaikan prinsip itu, seharusnya berkewajiban memublikasikan hasil kajian penelitian dari pendapat murid.
Sekjen FSGI Retno Listiyarti menambahkan, sejauh ini KTSP sudah cukup bagus. Yang menjadi persoalan, Pemerintah dalam hal ini Kemendikbud tidak pernah memberikan model dan aturan yang jelas bagaimana guru menyusun KTSP yang baik, sesuai dengan otonomi sekolah.
Implementasi KTSP dilakukan pada 2006, kemudian tak lama muncul KTSP berkarakter. Namun, ketika implementasi KTSP belum sepenuhnya dipahami oleh guru-guru, utamanya di pelosok, muncul perubahan kurikulum yang datang secara tiba-tiba.
Wajar, jika banyak guru mempertanyakan bagaimana kesiapan guru untuk perubahan kurikulum, mengingat kasus umum yang terjadi, KTSP antarsekolah yang harusnya berbeda, tapi masih banyak ditemukan kurikulum satu sekolah dengan sekolah lainnya sama.
Retno mencontohkan, lewat KTSP seharusnya sekolah memasukkan muatan yang khas daerahnya. Seperti sekolah yang berada di pesisir, maka bisa memasukkan soal bahari. Sekolah yang berada di daerah pegunungan, bisa memasukkan soal bencana merapi.
"Karena itu KTSP jauh lebih baik. Dan pemerintah mestinya membangun kapasitas guru bagaimana menulis, menyusun kurikulum, tapi tak pernah dilakukan. Kemendikbud mengecilkan arti kurikulum dengan metode," terang Retno.
"Pengertian kurikulum itu luas dan dalam, tapi dikecilkan maknanya dan menyamakan dengan mata pelajaran dan metode. Maka harus dilihat kurikulum diubah apakah berdasar standar isi, standar proses, atau standar evaluasi, atau merubah semua," tukas Retno yang menilai Kemendikbud justru tak paham soal ini.
0 komentar:
Posting Komentar