Selasa, 05 Maret 2013

Air Mata Ibu: Aku Cinta Dia, Ternyata . .

Dari google nih gambar :(



Basi memang ketika aku harus bercerita tentang cerita cintaku yang berawal dari sebuah jejaring sosial. Tapi tahukah kamu? Ada beban tersendiri di pundakku ketika aku teringat kenyataan bahwa laki-laki yang selalu ku damba selama ini, dulunya tertarik dengan teman SMA ku. Teman sekelasku malah.
Aku malu ketika ditanya awal cerita bertemu dengan dia. Ditanya teman. Yaa setidaknya ini mengisahkan kalau aku ini mungkin adalah pelarian dia yang terlantar karena perempuan yang dia pilih sudah mempunyai pasangan. Sudahlah lupakan saja cerita itu. Karena kini aku tidak mempermasalahkannya. Belajar cuek dan mempercayai bahwa ini bagian dari cerita yang sudah di ukir Sang Khalik untukku.

***
Aku berbaring di samping ibuku. Sudah biasa. Karena aku sangat dekat dengannya. Alasan tepatnya karena aku adalah putri semata wayangnya. Kedekatan kami sering kali membuat orang lain iri. Terutama keluarga besarku sendiri. Ya, inilah kami. Tidak pernah dibuat-buat. Natural saja. Senatural tangisan ibu yang seringkali membuatku kelimpungan.


Siang ini, “Ibu tidak pernah rela anak ibu dipermainkan oleh laki-laki seperti dia. Mulai sekarang cobalah membuka diri untuk laki-laki lain! Dua tahun itu bukan waktu yang sebentar. Kalau  dia memang serius denganmu, pasti dia akan menepati janjinya. Tidak seperti ini!” suara ibu mengeras. Tapi aku tahu, ibu menahan airmatanya yang mengintip di ujung mata. Ibu. . . .
“Kalaupun materi yang menjadi masalah, itu bukan masalah! Tapi akan menjadi masalah vital ketika berbicara sebuah rumah tangga. Bukankah dia masih menjadi tanggungjawab orangtuanya. Jadi kalau masalah melamarmu, itu urusan orangtuanya. Kalaupun dia ingin menggunakan uangnya sendiri, sampai kapan? Dia kerja saja saat ini belum punya. Sudah sekali dia mengingkari janjinya. Sekarang?” Ibu kembali meledak-ledak bak petasan di malam pergantian tahun baru. Tapi ini? Melebihi semua itu. Dadaku terasa sesak. Aku tak sanggup menahan rasaku. Betapa bodonya aku. Kenapa aku dibodohkan perasaan yang berasal dari hambamu, Ya Allah. Astagfirullah..... aku hanya diam. Sesekali menjawab pertanyaan ibu. Bukan membela dia, tapi menyadari betapa aku ini teralu lugu dengan masalah cinta seperti ini.
Dia. Bukan hanya dia saja yang kini berhasil merapuhkan jiwaku. Dulu, dulu dan dulu aku juga sering kali merasakan hal yang sama. Tersakiti oleh laki-laki lain. Apa karena aku terlalu setia? Tapi ini lebih.
Aku berusia 20 tahun. 21 tahun 2013 ini. Di luar sana teman-temanku sudah menggendong buah cintanya, bahkan ada yang kini justru aku yang menjadi guru dari anak-anak mereka.
Bukankah aku berhak juga menikah? Tapi tidak sekarang juga aku ingin menikah. Egoiskah aku seperti Bara pada cerita film Radio Galau FM? Selama ini aku sudah berusaha setia. Bahkan ibu bilang aku terlalu setia dan terlalu menutup diri bagi laki-laki yang ingin mendekat. Oh Gusti, aku sungguh tak sanggup. Sebegitukah aku?
Dari google juga, pas banget!

Ku pandangi layar HP ku. Tidak berbeda. Sejak tadi siang, dia tidak SMS lagi. Yaa, biasanya juga seperti itu, kerja di bengkel las. Apalagi saat ini aku ingin dia tidak hubungi aku lagi sebelum ada kepastian kapan dia akan datang ke rumah membawa kedua orangtuanya. Terlalu egoiskah aku? Terlalu jahatkah aku?
Menikah. Mimpiku? Aku sudah pernah membicarakan ini dengannya. Banyak rencana. Dan dia menyetujuinya. Meskipun sebenarnya aku pun masih merasa kalau aku terjebak dengan usia dia. Ya, dia sekarang sudah 30 tahun. Aku pernah berpikir kalau aku tidak akan bisa bergerak bebas dengan usia dia.  Ah...ku serahkan semua dengan-Nya. Oke, calm down, aku tidak ingin menikah sekarang!
Tapi kini masalahnya adalah, aku hanya ingin dia konsisten dengan apa yang dia ucapkan. Kutelaah mendalam lagi, dia memang terlalu banyak perhitungan. Sangat. Apalagi dengan urusan janji dia ingin melamarku. Selalu itu. Selalu itu yang menjadi topik pertengkaran. Bukan, bukan, ini bukan pertengkaran. Karena hanya aku yang selalu tidak nyaman setiap kali kita membicarakan pernikahan ataupun lamaran. Karena selalu ada perbedaan prinsip diantara kita.

***

Pagi tadi (02-03-2013), nama dia muncul di layar HP ku. Kelap-kelip.
“Assalamualaikum...”
Aku mendengar balasan salam darinya. Renyah.  Sepertinya dia sangat bahagia pagi ini. Begitu juga aku. Tapi dia memang selalu bahagia ketika menyapaku lewat telepon (mungkin ini positifnya dia). Bergulir pembicaraan kearah acara lamaran, mulai muncul keegoisan masing-masing. Huh!
Hingga akhirnya telepon putus karena aku harus berangkat mengajar. Berada di tengah anak-anak adalah kegiatan yang sangat menyenangkan bagiku. Tapi entah kenapa pagi ini aku merasa tidak sedang berada di lingkaran anak-anak. Pikiranku hanya penuh dengan dia. Sampai-sampai aku tidak sadar ketika aku hampir saja lepas kontrol menangis di depan anak-anak. Ya Allah...kuasailah hatiku. Aku mohon.....
Aku mencintai dia. Tapi kenapa dia sampai membuat ibuku menangis? Ya Allah...sudah salahkah hubunganku ini? Sudah benarkah jalan yang aku ambil? Ku beri dia kesempatan untuk berpikir apakah dia akan menepati janjinya atau tidak.
“Kalau sampai Agustus dia tidak datang sesuai jadwal yang dia ucapkan. Ini sudah menjadi jawaban bahwa dia memang tidak serius denganmu.” kata ibu. Kata itu yang sampai detik ini begitu membuatku berteriak sekeras-kerasnya.  Meluluhlantahkan akal sehatku. Sebegitu dahsyatnya rasa yang dimiliki ibu sampai kata-kata itu kelaur dari mulut ibuku, ibu yang selalu mencintaiku. Padahal selama ini dia yang selalu mendukungku bersama dia.
Aku memang belum pernah menjadi seorang ibu. Tapi aku tahu dari air mata yang ibu tumpahkan itu. Memilukan. Ibu tersakiti ketika tahu dia seakan mempermainkan anak semata mayang ini bu, maafkan aku.
Bu, aku akan menuruti semua kata-kata ibu kalau sampai memang nantinya yang terjadi tidak sesuai dengan komitmen antara aku dengan dia. Yang penting aku tidak ingin ibu menangis lagi karena melihat anakmu dipermainkan oleh laki-laki yang menjadi pilihan hatinya.
Tuntun hamba Ya Allah.....
IKLAN 3

0 komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog