Minggu, 24 Februari 2013

Menyoal tentang UN Oleh: Dedi supriadi, MPd

Pendahuluan



"Anjing menggonggong kafila tetap berlalu" pribahasa ini mungkin yang

tepat untuk menggambarkan penyelenggaraan UN yang masih

dibayang-bayangi oleh perbedaan pendapat antara yang pro dan kontra

sejak diberlakukanya Ujian Nasional, tetapi Pemerintah dalam hal ini

pihak kementrian pendidikan nasional dan BNSP tetap "keukeuh"

melaksanaan UN, bahkan sebagai dasar hukum pemerintah melalui Badan

Standar Nasional Pendidikan sudah menerbitkan Peraturan Menteri

Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 45 Tahun 2010 tentang

Kriteria Kelulusan dan Permendiknas Nomor 46 tentang Pelaksanaan Ujian

Nasional disebutkan bahwa pelaksanaan UN Tahun Pelajaran 2010/2011

jenjang sekolah menengah atas/ madrasah aliyah/sekolah menengah

kejuruan (SMA/MA/SMK) akan digelar pada 18-21 April 2011.

Adapun pelaksanaan UN sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah

(SMP/MTs) akan digelar pada 25-28 April 2011. Pemerintah mengabaikan

kritik masyarakat yang menunjuk UN tidak sesuai prinsip-prinsip

pedagogis, bahkan bertentangan dengan UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003,

UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan dosen. buktinya UN untuk siswa

tetap dilaksanakan, padahal dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2003

tentang system pendidikan nasional memberikan dasar hukum untuk

membangun pendidikan nasional dengan menerapkan prinsip demokrasi,

disentralisasi, otonomi, keadilan dan menjungjung tinggi hak azasi

manusia., lalu ada apa dengan UN???



a.Pelaksanaan UN di Mata Hukum

Pelaksanaan UN tahun lalu pernah mendapatkan kritikan dari berbagai

elemen masyarakat bahkan gemuruh suara penolakan datang dari

mahasiswa, guru, aktivis, hingga DPR seperti disampaikan oleh Zulfadli

anggota komisi X DPRRI mengatakan bahwa pada Pasal 58 UU Sisdiknas No.

20 Tahun 2003 menyatakan, "evaluasi siswa dilakukan oleh pendidik"….

Dalam hal ini adalah sekolah dan gurunya, berarti penentu kelulusan

peserta didik bukan hasil UN maka untuk menjawab pesoalan diatas maka

pemerintah melibatkan pihak sekolah dalam menentukan kelulusan, dengan

menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor

45 Tahun 2010 tentang Kriteria Kelulusan, sebagai solusi bahwa

sekarang formula kelulusan 60 persen UN ditambah 40 persen nilai

sekolah, dengan Rumus yang ditawarkan pemerintah untuk nilai gabungan

= (0,6 x nilai UN) + (0,4 x nilai sekolah). Nilai sekolah dihitung

dari nilai rata-rata ujian sekolah dan dari nilai rapor semester 3-5

untuk tiap mata pelajaran UN. Tetap saja pelaksanaan UN Tahun

Pelajaran 2010/2011 mulai dari jenjang sekolah (SMA/MA/SMK) yang

digelar pada 18-21 April 2011, kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan

UN sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah (SMP/MTs) akan digelar

pada 25-28 April 2011, namun tetap saj pelaksanaanya dinilai cacat

hukum, terkait dengan dikeluarkannya putusan Mahkamah Agung (MA) yang

melarang pelaksanaan tersebut.

Maka dalam hal ini Edi berpendapat " bahwa pemerintah telah melakukan

pembangkangan hukum yakni tidak mematuhi isi putusan pengadilan. Isi

putusan itu telah menolak kasasi yang diajukan pemerintah. Di

PengadilanTinggi menguatkan isi Pengadilan Negeri. Yang harus

dilakukan adalah mematuhi putusan MA itu," tegas Edi Gurning, aktivis

LBH Jakarta yang tergabung dalam aliansi KOBAR, saat jumpa pers di

Kantor Komnas HAM, Jakarta.

Aliansi KOBAR merupakan gabungan 17 organisasi, diantaranya, Pimpinan

Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Pergerakan Mahasiswa Islam

Indonesia (PMII), LBH Jakarta, LBH Pendidikan, Ikatan Guru Indonesia

(IGI) dan Serikat Perempuan Indonesia.Para penolak UN mengutip putusan

PN Jakpus bernomor 228/ Pdt.G/2005/PN.Jkt.Pst, yang diketok 4 tahun

lalu. Pengadilan memerintahkan kepada tergugat yaitu (pemerintah) agar

meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah,

akses informasi yang lengkap di seluruh daerah di Indonesia sebelum

mengeluarkan kebijakan pelaksanaan UN. Kalau belum meningkatkan

kualitas guru, kelengkapan sarana dan akses informasi yang lengkap,

jangan dulu ada UN. (Surat Kabar Radar Bogor)





b.UN bukan Alat Ukur satu-satunya

Ujian nasional bertujuan yaitu untuk meningkatkan standar Pendidikan

ditanah Air. Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh

pendidik untuk mengetahui dan memantau proses, kemajuan, dan perbaikan

hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan melalui UN yang

merupakan salah satu "alat ukur" untuk mengetahui sejauhmana

peningkatan standar pendidikan, akan tetapi perlu digaris bawahi

setahun yang lalu Presiden SBY menegaskan agar " kebijakan tentang

Ujian Nasional (UN) harus ditetapkan dengan tepat dan benar. SBY

mengintruksikan UN tidak dijadikan satu-satunya alat ukur dalam

pendidikan. "Saya berpendapat sebaiknya UN tidak satu-satunya alat

ukur yang bisa kita tentukan. Pilih dengan paduan aspek lain," ujar

SBY saat membuka rapat terbatas masalah pendidikan dan kesehatan di

Kantor Presiden, Jl Veteran, Jakarta, Kamis (7/1/2010). Bahkan

kritikan pedas pernah dilontarkan oleh Edi Gurning, aktivis LBH

Jakarta Sangat tidak masuk akal, pendidikan di Papua diukur dengan

alat ukur yang sama dengan pendidikan Jakarta," jelas Gurning.

, Dan dalam Raker Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) dengan

Komisi X DPR RI, dengan agenda "Formulasi dan Pelaksanaan UN 2011″,

Menteri Pendidikan Nasional menyampaikan manfaat hasil ujian nasional.

Hasil UN digunakan untuk memetakan mutu program satuan pendidikan

secara nasional; pintu masuk untuk pembinaan dan perbaikan mutu

pendidikan, baik di tingkat satuan pendidikan maupun naional;

mendorong motivasi belajar siswa; dan mendorong penigkatan mutu proses

belajar megajar.

Tetapi apa yang dirasakan Masyarakat secara umum, bahwa masyarakat

merasa pelaksanaan Ujian Nasional dalam teknis pelaksanaannya sifatnya

belum berkeadilan terhadap kepentingan masa depan anak bangsa, karena

mereka mengingat pelaksanaan Ujian Nasional hampir sama dengan tahun

sebelumnya yaitu nilai UN menjadi salah satu penentu kelulusan peserta

didik yaitu menggunakan formula kelulusanya agak sedikit berbeda yaitu

dengan memberikan kewenangan 40% kepada pihak sekolah dan 60% dari

hasil Nilai UN. Sehingga wajar bila masyarakat merasa takut dan cemas

kalau anaknya nanti tidak lulus dari sekolah. Masyarakat berpandangan

kalau teknis pelaksanaan Ujian Nasional dilaksanakan secara menyeluruh

di semua satuan pendidikan maka perlu ada pembenahan komponen

pendidikan secara merata di seluruhIndonesia. tetapi kalau komponen

pendidikan tersebut belum merata secara nasional maka Ujian nasional

tidak perlu dilaksanakan. Hal ini sesuai dengan kutipan keputusan PN

Jakpus bernomor 228/ Pdt.G/2005/PN.Jkt.Pst, yang diketok 4 tahun lalu.

Pengadilan memerintahkan kepada tergugat (pemerintah) meningkatkan

kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, akses

informasi yang lengkap di seluruh daerah di Indonesia.

c.Fakta dilapangan

Berdasarkan fakta yang ada di lapangan peserta didik pada satuan

pendidikan masih banyak yang belum memiliki sarana prasarana yang

memadai disetiap sekolah bahkan terkesan kurang adil suatu contoh

Pemerintah Daerah atau Pusat lebih memperhatikan sekolah yang berlebel

RSBI atau SSN daripada sekolah negeri maupun sekolah swasta yang tak

berlebel, sehingga motivasi belajar peserta didik sangat rendah untuk

mempersiapkan diri dalam menghadapi ujian nasional, maka wajar

motivasi belajar siswa RSBI/SSN berbanding terbalik dengan sekolah

yang tak berlebel. Ironisnya hal ini dperparah dengan Tingkat

Kesukaran Soal (bobot soal) yang sama untuk seluruh sekolah tanpa

memandang Status. Pertanyaanya sederhana jadi apa beda dan

keistimewaannya RSBI/SSN dengan sekolah biasa bila soal UN sama???

Kesimpulan



Biaya pelaksanaan UN tidak sedikit yaitu diperkirakan menyedot dana

sebesar Rp.580 Milyar. Lebih jauh menurut Mendiknas menjelaskan

besaran biaya tersebut dipergunakan antara lain untuk mencetak soal,

biaya pengawasan, biaya pengkoreksian, dan operasional lainnya yang

masih berhubungan dengan ujian nasional. Mendiknas juga menjamin dana

tersebut bisa dipertanggungjawabkan karena sudah melalui pembahasan

dan pengawasan ketat. Kemudian dengan harapan ada peningkatkatan mutu

pendidikan di Indonesia. Tetapi sangat disayangkan Pemerintah hanya

ingin memetik hasil dengan jalan pintas tanpa peduli proses untuk

mendapatkan sebuah hasil. Padahal masih banyak siswa dari keluarga

miskin tidak mempunyai akses dalam menyiapkan diri menghadapi UN.

Tidak bisa dinilai bahwa sekolah lebih bermutu bila berlebel RSBI/SSN

daripada yang tidak berlebel karena Para siswa RSBI/SSN sebagian besar

mengalami kelimpahan fasilitas dan akses informasi lebih maju daripada

siswa biasa yang tidak berlebel. Lalu bagaimana nasib anak-anak

pinggiran atau masyarakat miskin kota dan bagaimana siswa serta guru

yang berada diwilayah Kalimantan dan Papua yang serba terbatas baik

Faktor kecukupan gizi, persediaan perangkat belajar, serta kondisi

keluarga dasar penentu menjadi prestasi.

Jadi daripada uang negara dihamburkan untuk hajatan ujian nasional

alangkah baiknya bila digunakan dulu untuk memperbaiki fasilitas dan

layanan pendidikan seluruh anak di negeri ini sehingga bisa merasakan

keadilan yang merata, bukan merata dalam keadilan.

Kembalikan kewenangan mengevaluasi kepada guru dan sekolah sebagai

amanat dari sebuah Undang-undang, karena saat ini Guru mampu

menempatkan posisinya yang lebih bermartabat "berani mengatakan Qullil

Haq Wallau Kana Muuron".



Penulis adalah :

Direktur CEC "Care Educational Community"

Masyarakat Peduli Pendidikan
IKLAN 3

0 komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog