Assalamu'alaikum rekan-rekan guru ! Selamat pagi, salam sejahtera dan semoga kesuksesan selalu untuk kita semua. Kisah derita guru honorer dengan bertaruh nyawa dan gaji masih jauh dari UMP akan menemani pagi bapak/ibu sekalian.
Kehidupan tenaga pengajar berstatus honorer di Provinsi Kalimantan Utara, provinsi baru Indonesia, sungguh memprihantikan.
Di provinsi yang berbatasan langsung dengan Negara Bagian Serawak dan Sabah, Malaysia tersebut, guru tinggal di pengungsian dan digaji jauh di bawah upah minimum.
Enawati M Dahlan, guru honorer untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia pada SMP Negeri 1 Sei Menggaris, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, mau menceritakan penderitaannya tersebut.
Pada 21 September 2013, kebakaran menghanguskan asrama guru sekolah tersebut.
Sebanyak 17 guru pada SMP tersebut dari 11 keluarga diungsikan ke gelanggang olahraga, bangunan yang dianggap layak dihuni sementara.
Setelah dihuni, gelanggang olahraga berubah menjadi tak layak huni.
Gempa melanda Nunukan, 20 Desember 2015, dua tahun dan dua bulan setelah kebakaran, membuat bangunan gelanggang olahraga retak.
“Sekarang, sudah hampir roboh,” kata Enawati, alumnus Universitas Negeri Makassar, pekan lalu.
Guru sekaligus pegungsi pun berinisiatif ngontrak atau membangun hunian sementara demi menyelamatkan nyawa dari ancaman bangunan roboh.
Namun, jadi masalah adalah tidak adanya lahan untuk membangun.
“Mau bangun rumah tapi tidak bisa karena tidak ada tanah. Tanah di sini hampir semua sudah dijual ke perusahaan. Perusahaan bangun rumah tapi hanya untuk karyawannya,” tutur perantau asal Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan itu.
Untuk mendapatkan rumah kontrakan juga dirasakan sangat sulit.
Guru honorer harus menyisihkan gajinya Rp 500 ribu per bulan.
Gaji “pahlawan tanpa tanda jasa” tersebut jauh di bawah upah minimum provinsi itu senilai Rp 2.175.340.
Pada Desember 2015, guru sempat mengadukan nasibnya kepada dinas pendidikan setempat.
Ketika itu, ada kunjungan pejabat dinas pendidikan ke tempat pengungsian guru.
Guru memperlihatkan, selain bangunan pengungsian nyaris roboh, fasilitas pendukung kurang menunjang.
“WC hanya tiga dan kamar tidur juga tiga, sedangkan penghuninya 30 orang. Kalau hujan, kamar jadi basah,” ujar Enawati menceritakan.
Lebih lanjut, ujar Enawati, mendengar aduan guru dan melihat kondisi realitas, pejabat dinas pendidikan malah menyebut mereka tidak bersyukur atas fasilitas dipinjamkan.
Setelah kunjungan pejabat dinas pendidikan, sejak Kamis (31/12/2015), guru dipindahkan mengungsi ke bangunan kelas di sekolah sembari menunggu asrama dibangun kembali.
Di provinsi yang berbatasan langsung dengan Negara Bagian Serawak dan Sabah, Malaysia tersebut, guru tinggal di pengungsian dan digaji jauh di bawah upah minimum.
Enawati M Dahlan, guru honorer untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia pada SMP Negeri 1 Sei Menggaris, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, mau menceritakan penderitaannya tersebut.
Pada 21 September 2013, kebakaran menghanguskan asrama guru sekolah tersebut.
Sebanyak 17 guru pada SMP tersebut dari 11 keluarga diungsikan ke gelanggang olahraga, bangunan yang dianggap layak dihuni sementara.
Setelah dihuni, gelanggang olahraga berubah menjadi tak layak huni.
Gempa melanda Nunukan, 20 Desember 2015, dua tahun dan dua bulan setelah kebakaran, membuat bangunan gelanggang olahraga retak.
“Sekarang, sudah hampir roboh,” kata Enawati, alumnus Universitas Negeri Makassar, pekan lalu.
Guru sekaligus pegungsi pun berinisiatif ngontrak atau membangun hunian sementara demi menyelamatkan nyawa dari ancaman bangunan roboh.
Namun, jadi masalah adalah tidak adanya lahan untuk membangun.
“Mau bangun rumah tapi tidak bisa karena tidak ada tanah. Tanah di sini hampir semua sudah dijual ke perusahaan. Perusahaan bangun rumah tapi hanya untuk karyawannya,” tutur perantau asal Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan itu.
Untuk mendapatkan rumah kontrakan juga dirasakan sangat sulit.
Guru honorer harus menyisihkan gajinya Rp 500 ribu per bulan.
Gaji “pahlawan tanpa tanda jasa” tersebut jauh di bawah upah minimum provinsi itu senilai Rp 2.175.340.
Pada Desember 2015, guru sempat mengadukan nasibnya kepada dinas pendidikan setempat.
Ketika itu, ada kunjungan pejabat dinas pendidikan ke tempat pengungsian guru.
Guru memperlihatkan, selain bangunan pengungsian nyaris roboh, fasilitas pendukung kurang menunjang.
“WC hanya tiga dan kamar tidur juga tiga, sedangkan penghuninya 30 orang. Kalau hujan, kamar jadi basah,” ujar Enawati menceritakan.
Lebih lanjut, ujar Enawati, mendengar aduan guru dan melihat kondisi realitas, pejabat dinas pendidikan malah menyebut mereka tidak bersyukur atas fasilitas dipinjamkan.
Setelah kunjungan pejabat dinas pendidikan, sejak Kamis (31/12/2015), guru dipindahkan mengungsi ke bangunan kelas di sekolah sembari menunggu asrama dibangun kembali.
Sumber : tribunnews.com
Demikian kami memberitakan informasi derita guru honrer dengan gaji jauh dibawah UMP dan dengan mempertaruhkan nyawa untuk mengajar.
Terima kasih atas kunjungan bapak/ibu semua, mudah-mudahan bermanfaat !
0 komentar:
Posting Komentar