Minggu, 03 November 2013

Amplop Pink


First Salary? Aku artikan sebagai penghasilan pertama. Karena sesungguhnya saya memang belum bekerja di sebuah instansi tertentu. 5 tahun lalu, ketika saya masih duduk di bangku SMA, saya berkesempatan untuk berbagi ilmu dengan salah satu teman di sekolah untuk mengajarinya belajar mata pelajaran Matematika.

Awalnya ragu, apakah saya bisa? Tapi karena teman saya memaksa, saya iya-kan juga. Tidak setiap hari saya mengajari dia, melainkan dua kali setiap satu minggunya. Itupun kalau dia sedang mood on. Tapi lebih sering sayalah yang memaksa dia untuk belajar. Hal itu saya lakukan karena sebenarnya dia itu cerdas tapi terbawa rasa malas.

Suatu hari, tepatnya 25 hari setelah saya membantu dia belajar, dia menyodorkan sebuah amplop berwarna pink. Apa iya gara-gara sering belajar bersama dia jatuh cinta dengan saya? Jujur saja semenjak kelas X, ada rasa berbeda yang terselip di dalam hati saya. Tapi apa iya? Dengan pipi merona (dulu nggak tahu kata merona, hahaha) saya terima amplop tersebut.

Sesampainya di rumah, layaknya anak ABG, dag-dig-dug pastinya nih jantung. "Baa.." Apa yang saya dapatkan? Bukan surat cinta, melainkan selembar uang 50.000. Agak kesal, saya SMS dia.

"Buat beli pulsa, terimakasih ya? Kalau kamu menolak besok lagi aku nggak mau belajar sama kamu."

Itulah jawaban SMS dia ketika saya tanya maksud dari isi amplop pink tersebut. Dasar. Punguk kok merindukan bulan.

Nah, itu cerita pertama kalinya saya mendapat penghasilan, ya meskipun harus berawal dari ke-GR-an saya. Kemudian kalau ditanya untuk apa uangnya? Berikut jawabannya,

Ibu dan wajan yang usianya sudah 5 tahun

Ya, untuk membelikan wajan ibu. Kebetulan ketika saya menerima amplop tersebut bertepatan dengan peringatan Hari Ibu. Pas banget. Untuk kali pertamanya, wajan inilah yang menjadi hadiah yang berwujud benda dari saya untuk ibu. Karena biasanya paling mentok saya memberikan hadiah coklat atau jajan untuk ibu.

Satu kebanggan yang muncul dan bahkan memacu jantung motivasi saya. Ketika hendak membeli wajan tersebut, saya memang sengaja mengajak ibu agar memilih wajannya sendiri (saya nggak paham wajan yang baik itu seperti apa). Dan dengan bangganya, ketika ibu ditanya oleh tetangga,
"Tumbas wajan Mbak?"
(Beli wajan Mbak?)
"Heeh, iki lho ditumbaske anakku wedok Mbak, Hari Ibu kok."
(Iya, ini lho dibelikan anak perempuanku Mbak, Hari Ibu kok.)

Ah, hidung saya kembang kempis. Ya, saya ke-GR-an lagi. Paling tidak, saya tahu, wajan yang harganya hanya Rp 29.000 saja bisa membuat ibu begitu bangga dengan saya. Ah, suatu hari semoga bisa memberikan sesuatu yang berharga lagi buat ibu. Pikir saya sejak hari itu. Sekarang? Saya masih menjadi guru les privat, tapi mengenai penghasilannya alhamdulillah telah berlipat ganda dari penghasilan saya di atas. Kesuksesan saya sekarang juga berawal dari komentar dari dia, bahwa saya memang cocok untuk menjadi seorang guru.

IKLAN 3

0 komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog