Rabu, 05 September 2012

14 Praktek Hikmah Dalam Berdakwah

Hikmah adalah tepat dalam perkataan, perbuatan dan keyakinan, serta meletakkan sesuatu pada tempatnya
yang sesuai, dan hal itu tidak akan tercapai melainkan dengan membangunnya di atas pilar-pilarnya, dan pilar yang paling utama -selain bijaksana dan tidak tergesa-gesa- adalah ilmu yang dilandaskan di atas Al Qur’an dan hadits dengan pemahaman generasi terbaik umat ini dan para ulama yang setia meniti jalan mereka. Maka seseorang tidak akan bisa bersikap hikmah dalam berdakwah melainkan jika dia melandaskan sikap-sikapnya di atas dalil-dalil dari kitab dan sunnah serta pemahaman salafush shalih.


Contoh pertama, yaitu senantiasa berusaha untuk berakhlak mulia disamping berusaha untuk beraqidah dengan aqidah yang benar.

Contoh kedua, yaitu senantiasa berusaha bermuka manis dan menebarkan salam juga menunaikan hak-hak kaum muslimin, termasuk mereka yang memiliki penyimpangan –selama tidak disyari’atkan padanya hajr (boikot)-.

Contoh ketiga, yaitu mengenal masyarakat yang akan kita dakwahi dan mempelajari medan dakwah yang akan kita arungi sebelum terjun ke dalamnya.

Contoh keempat, yaitu bertahap dalam berdakwah dengan memulai dari yang paling penting yaitu tauhid, lalu melangkah kepada syari’at-syari’at Islam lainnya.

Contoh kelima, yaitu hendaknya para da’i setelah menyampaikan dalil-dalil dari kitab dan sunnah, sebaiknya mereka berusaha memperbanyak nukilan perkataan ulama Ahlus Sunnah yang memiliki kedudukan di hati masyarakat umum, misalnya: Imam Syafi’i, Bukhari, Muslim dll, serta menghindari penyebutan nama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim dan Muhammad bin Abdul Wahhab di komunitas yang phobi dengan nama-nama tersebut.

Contoh keenam, yaitu hendaknya kita berusaha untuk menyampaikan dakwah yang penuh berkah ini kepada umat serta beramar ma’ruf nahi mungkar dengan lemah lembut.

Contoh ketujuh, yaitu berusaha memprioritaskan dan memperhatikan dakwah dan penarikan hati orang-orang yang memiliki kedudukan di masyarakat, entah itu yang diulamakan atau penguasa. 

Contoh kedelapan, yaitu memperhatikan dakwah generasi muda dan anak-anak kecil, tanpa mengesampingkan orang-orang yang sudah lanjut usia.

Contoh kesembilan, yaitu menerapkan skala prioritas dalam mengingkari kemungkaran, dimulai dari yang paling berat lalu yang lebih ringan.

Contoh kesepuluh, yaitu ketika membantah ahlul bid’ah, seharusnya kita menghiasi bantahan tersebut dengan ilmu dan dalil-dalil, sehingga umat merasa yakin akan benarnya hal yang disampaikan, serta merasa mantap ketika menerimanya.

Contoh kesebelas, yaitu di saat mentahdzir(mengingatkan umat dari penyimpangan) ahlul bid’ah –baik mereka berbentuk kelompok maupun individu- seorang da’i ahlus sunnah tidak harus menyebutkan secara terang-terangan nama-nama kelompok dan individu tersebut, jika memang hal tersebut tidak dibutuhkan.

Contoh kedua belas, yaitu ketika seorang da’i ahlus sunnah diundang untuk berdakwah di masjid ahlul bid’ah atau tempat mereka -dan hal tersebut tidak menimbulkan fitnah bagi masyarakat serta diharapkan menghasilkan maslahat- maka hendaknya dia memenuhi undangan tersebut dan memanfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya untuk menyampaikan al-haq dengan penuh hikmah, nasehat dan diskusi yang baik.

Contoh ketiga belas, yaitu mengamalkan hal-hal yang biasa dikerjakan di masyarakat selama hal-hal itu masih diperbolehkan oleh agama, dengan tujuan untuk menarik hati masyarakat dan menjadikan mereka tidak phobi dengan dakwah kita, meskipun terkadang hal-hal tersebut tidak sesuai dengan yang lebih afdhal. Bahkan terkadang disyari’atkan untuk meninggalkan beberapa amalan yang hukumnya sunnah, untuk menghindari fitnah (keributan atau huru-hara) atau untuk menarik hati masyarakat.

Contoh keempat belas, yaitu senantiasa berusaha untuk bersabar dan tidak tergesa-gesa untuk segera memetik buah dari dakwah yang sedang kita rintis




________________
Ust Abdullah Zain, Lc
IKLAN 3

0 komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog