Tempo hari, saya pergi ke pasar dengan suami. Tujuan kami membeli gelas keramik yang saat ini sudah cukup sulit ditemukan kecuali di supermarket besar yang letaknya di kota. Akan tetapi, jurus ‘siapa tahu ada’ saya gunakan saat itu.
Berkelilinglah saya dengan suami di pasar semi modern yang letaknya 15 menit dari rumah. Setelah memarkirkan motor di penitipan motor, kami datangi satu per satu lapak penjual aksesoris dan berbagai kado. Sudah 5 lapak kami datangi dan hasilnya nihil. Saya mulai putus asa.
“Bi, ke supermarket depan situ yuk. Nggak ada nih. Capek.”
“Ya, coba nanya sekali lagi di situ.” suami menunjuk lapak di pojok pasar.
Kami pun mendekati lapak tersebut. Tampak si penjual sedang mengobrol dengan perempuan gendut yang berambut keriting ikal.
“Mbak, punya gelas yang seperti ini?” tanya saya sambil menunjukkan gelas yang sedikit pecah di salah satu sudutnya.
“Nggak ada, Mbak.” kata penjual sambil tersenyum ramah.
“Ya, kalau nyari yang sama plek ya tidak ada!” sambar perempuan gendut.
“Tidak harus sama Mbak yang penting model keramik.” jelas saya mulai gemes.
“Ganti punya orang ya, Mbak?” tanya penjual tadi.
“Iya.”
“Punya tetangga pasti?!” sambar perempuan gendut itu lagi.
“Iya.”
“Masak sama tetangga suruh ganti!! Nemen banget!!” ucapan perempuan gendut itu membuat saya geram.
Tanpa ba-bi-bu, emosi saya tersulut, “Mbaak....tetangga saya tidak minta ganti! Hanya saja kami masih memiliki perasaan ‘tidak enak’! Jadi, kami berinisiatif untuk menggantinya! Tidak lebih.”
Tanpa menunggu jawaban dari perempuan gendut tadi saya mohon pamit kepada mereka, penjual dan perempuan gendut. Suami yang tahu saya sudah mulai emosi hanya berkata, “Istighfar...” sambil menggandeng tangan saya untuk berlalu.
Gemes banget. Kok ya ada orang seperti itu.
Saya samapai mikir, inikah manusia? Diberikan akal dan pikiran akan tetapi digunakan untuk yang tidak-tidak. Atau mungkin kurang bersyukur ya? Lebih tepatnya setiap orang hendaknya memanfaatkan apa yang dimiliki untuk kebaikan.
Tidak sekali dua kali saya bertemu dengan orang seperti perempuan gendut itu. Saya penasaran, hati mereka terbuat dari apa? Atau bahkan saya juga sering berburuk sangka sehingga dipertemukan dengan mereka yang sama?
Hidup ini akan terasa hampa jika kita senang sekali berburuk sangka. Apa sih yang didapat? Saya yakin apabila hati dan pikiran ini sudah terbiasa berburuk sangka, buruk sangka akan menjadi makanan rutin setiap hari bahkan setiap detik. Semoga kita tidak termasuk orang yang hobi berburuk sangka dan selalu dihindarkan dari yang namanya 'berburuk sangka'. Aamiin.
0 komentar:
Posting Komentar