Sumber: Klik gambar |
Komunikasi antara guru dan orangtua siswa memang perlu dilakukan. Tak harus yang berbau formal seperti membicarakan kemajuan belajar siswa, hal yang sepele juga bisa. Seperti halnya yang saya alami. Berlagak menjadi guru, hihihi.... saya menghampiri seorang bapak yang duduk di depan ruang kelas 5.
“Bapak ini mau jemput anaknya.” batin saya.
Usianya di atas 50 tahun. Hal itu saya ketahui setelah lama mengobrol dengan beliau yang mengaku pensiunan dari salah satu kantor instansi pemerintah yang cukup mentereng.
Lama sekali ngobrol sana-sini (saya nggak ngajar, dapat jatah piket), pembicaraan mengerucut tentang Papua. Ah! Saya selalu semangat deh kalau membicarakan daerah Timur Indonesia ini.
Menurut beliau yang sebenarnya berdarah Madiun itu, hidup di Jawa itu sangat berbeda dengan di sana (Sorong, Papua).
“Bedanya apa Pak?” tanya saya penasaran.
Hidup di perumahan lah yang menjadi sorotan pembicaraan bapak tersebut.
“Di sini (Jawa) itu individualnya terlalu Mbak. Saya kan baru 2 tahun ini di sini, selama itu pula saya itu bingung. Orang sini kalau nggak ditegur (baca: menyapa) nggak mau negur duluan Mbak.”
Saya manggut-manggut.
“Tidak tahu juga kenapa. Kalau di Sorong sana tidak seperti itu. Di sana itu saya juga hidup di kompleks perumahan Mbak. Orangnya ramah semua. Meskipun dalam satu kompleks itu berbeda-beda suku Mbak. Jadi kalau di sana itu tiap blok beda suku, tapi kalau ketemu ya saling nyapa. Beda dengan di sini. Setiap sekali sebulan juga ada kumpul-kumpul gitu Mbak, jadi untuk tiap suku ada kepala sukunya. Jadi ya kayak keluarga semua.”
Saya manggut-manggut lagi.
“Ini nanti kalau istri saya pensiun (istrinya juga pegawai instansi negara yang mentereng), saya ada rencana mau pindah ke Sorong lagi Mbak. Saya di sini kan hanya kontrak Mbak. Semuanya ada di Sorong sana.”
“Ternyata seperti itu ya Pak...”
“Iya Mbak, padahal kita kan terkenal sebagai negara yang ramah ya?”
Saya diam saja mendengarkan.
“Ada lagi Mbak bedanya di sini dengan di sana, gaji saya berbeda Mbak.”
Saya mendelik. “Oya?”
“Iya Mbak, kalau di sana bisa 25 juta, di sini tinggal 23 juta Mbak.”
Saya tambah mendelik. Itu uang kayak apa ya bentuknya? Tiap bulan dapat gaji segitu, hu~ bisa naik hajiin ibuk. Batin saya.
“Yah...ayoo...” suara anak bapak itu sudah keluar kelas dan mengajak pulang. Ternyata anak tersebut siswa kelas 3 yang selalu dapat nilai 100 untuk pelajaran bahasa Inggrisnya.
Bapak itu berpamitan dengan bahasanya yang masih kental dengan logat Papua. Saya nyengir nggak paham.
Benarkah berbeda kehidupan di Sorong dan di Jawa? Padahal daerah Timur Indonesia selama ini terkenal dengan label ‘keras’. Hum~ Ada yang memiliki pendapat lain?
0 komentar:
Posting Komentar