Orang bilang saya itu cerdas. Bukan, saya hanya tekun. IQ saya juga hanya memenuhi angka rata-rata orang Indonesia pada umumnya. Masih jauh kalau disebut cerdas apalagi melampaui Albert Einstein. Hihihi.
Orang juga bilang saya ini memiliki motivasi diri yang sangat besar. Nah, kalau ini saya setuju. Namun, ada satu hal yang tidak orang tahu tentang saya. Introvet. Saya adalah seorang introvet yang suka bermimpi. Akankah mimpi saya terwujud begitu saja?
Hidup. Saya sebut hidup ini adalah pilihan. Bahkan seringkali tidak ada pilihan. Mau tak mau harus menjalani yang ada.
Setahun ini, seringkali rasa iri menghampiri hati saya. Iri dengan mereka yang saat ini bisa menyalurkan ilmunya kepada orang lain. Dalam hal ini, mendidik anak bangsa.
Awalnya saya tidak ingin menjadi seorang guru. Dulu, saya ingin menjadi seorang psikolog. Sayang, restu orangtua tak sanggup saya kantongi, mau jadi apa saya nanti. Mana ada psikolog yang masuk kampung? Begitulah pikir kedua orang tua saya.
Dengan berat hati saya pun mengikuti keinginan bapak dan ibu. Pergi merantau untuk kuliah mengambil program studi S1 PGSD. Selama satu semester kuliah, saya belum merasakan apa-apa meskipun saya memperoleh IPK di atas rata-rata.
Tak pernah hidup jauh dari orangtua, membuat saya semakin kurus dari hari ke hari. Salah satunya karena tidak cocok dengan masakan orang Kudus. Kenapa? Di lidah rasanya manis, sedangkan kalau orang Demak itu identik dengan masakannya yang asin. Hihihi...Indonesia.
Saya pun mencoba menikmati hidup saya, itung-itung latihan mandiri. Tapi, ada satu hal yang tidak saya suka saat hidup jauh dari orangtua, yaitu ibu selalu merahasiakan beberapa hal dari saya, terlebih soal keuangan keluarga. Saya tahu, bapak dan ibu menguliahkan saya dengan modal nekat. Mereka berkeinginan, saya-anaknya bisa sekolah lebih tinggi dibandingkan mereka yang hanya lulusan SD dan SMP.
Mereka rela jauh-jauh ke Ungaran-Semarang untuk nebas (membeli secara borongan) ketela pohon dan dijual kembali di pasar sekitar rumah. Jangan dibayangkan untungnya banyak, cara membawanya saja hanya menggunakan sepeda motor dan ibu duduk di atas ketela yang tersusun tinggi di atas keranjang bapak. Ya Allah, jika saat musim hujan datang, saya sering menangis perih membayangkan bapak dan ibu saat pulang dari memanen ketela itu. Inilah Indonesia, tak semua tanahnya subur untuk ditanami ketela dengan hasil yang bagus dan pulen saat dimasak. Karena untuk mendapatkan ketela yang bagus harus naik gunung terlebih dahulu. Butuh perjuangan tapi harga jual sangat murah.
Kala ketela tak lagi musim, bapak beralih profesi sebagai penjual pisang buah, pengumpul rosok, penggarap hutan, dan ibu beralih peran sebagai penjual tanaman di rumah. Serabutan, memanfaatkan apapun yang bisa dijual dan menghasilkan uang.
Semua dilakukan untuk saya, anak semata wayangnya. Durhaka sekali jika saya tak mewujudkan mimpi bapak dan ibu. Pikir saya dan saya rasa itu sudah sedikit terlambat. Perjuangan bapak dan ibu membuat hati saya luluh. Saya bukan anak orang punya. Sudah beruntung bisa kuliah. Saya harus menjadi guru!!
Saya jalani sisa masa kuliah saya dengan sungguh-sungguh. Saya pun memutuskan untuk tidak kos, pilih pergi-pulang selama satu jam untuk bisa sampai kampus. Bapak ibu berjuang maka saya pun juga harus berjuang untuk meminimalisir pengeluaran keuangan keluarga yang semakin memprihatinkan. Jalanan yang tak semulus tol menjadi tantangan saya setiap hari. Ah, itu tak ada apa-apanya dengan perjuangan bapak dan ibu.
Allah memberikan jalan lain karena suatu tujuan. Menjadi mahasiswa yang nglajo (pergi pulang), saya lebih sering menggunakan waktu jeda sebelum kuliah selanjutnya dimulai dengan membaca buku atau koran di masjid. Yang dulunya saat jadi anak kos lebih sering menggunakan waktu luang untuk tidur atau berbincang-bincang dengan teman, kali itu saya menemui dunia baru.
Pasang Surut Mimpi Saya
Buku pertama yang menemani saya di kala senggang adalah Indonesia Mengajar. Sebenanya buku tersebut sudah lama saya miliki tapi tak katam-katam juga. Tapi, kala itu, lembaran demi lembaran saya nikmati, maknai, dan saya resapi.
Menjadi guru adalah mimpi bapak, tapi melalui saya beliau ingin mewujudkannya. Demi bakti kepada bapak dan ibu saya mengukuhkan mimpi baru saya, menjadi seorang guru. Pucuk dicinta ulam pun tiba, tawaran ngajar di sekolah pun datang meskipun di TK bukan di SD, saat itu saya masih kuliah semester 5. Saya pun tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut.
Kelonggaran kepala sekolah membuat saya nyaman dengan kegiatan ngajar dan kuliah. Saya diberi izin untuk tetap kuliah dan ngajar di hari di mana saya libur kuliah atau berangkat kuliah di atas pukul 11.00 WIB. Ketika hati tulus, pekerjaan seberat, sepadat, dan semurah apapun semua akan terasa menyenangkan. Itulah yang saya alami.
Bonus terindah yang belum pernah saya dapatkan selama saya hidup adalah ternyata kehadiran saya dinantikan oleh anak-anak. Bahagia lagi saat ada orangtua murid yang mengapresiasi saya. Ya Allah, sungguh bahagia. Sehari, seminggu ngajar, kemana pun saya pergi, setiap orang menyapa saya, "Bu Ika..."
Ya Allah, hati saya tersanjung. Tapi, bapak selalu bilang, "Bukan itu yang kamu butuhkan. Kamu hanya butuh tempat berbagi ilmu."
Tawaran ngajar di tempat lain pun datang. Saya menolaknya dengan alasan saya harus memenuhi mata kuliah PPL selama dua bulan. Artinya tak akan ada waktu libur untuk ke TK.
Sayang, itu tak lagi terjadi satu tahun ini. Saya sudah tidak mengajar di TK lagi. Saya pun tinggal menunggu wisuda. Tawaran demi tawaran mengajar yang dulu datang kini seakan pergi menjauh. Idealisme saya akan tingginya IPK, keterampilan, dan pengalaman mengajar seakan membuat saya luluh lantah.
"Ya Allah, saat saya ingin mengabdikan diri secara totalitas untuk negara ini, justru jalannya terasa sulit. Apa rencana-Mu?"
Tak hilang akal, saya pun mengutarakan niat kepada bapak dan ibu untuk mencoba peruntungan untuk menjadi Pengajar Muda (seperti dalam buku Indonesia Mengajar) yang dikirim ke berbagai pelosok negeri untuk mengabdi di sana. Tapi apa yang saya dapatkan?
"Berbagi ilmu itu tidak harus pergi jauh ke pelosok negeri. Kamu bisa berbagi mulai dari sekitar. Seperti untuk anak-anak kampung sini."
Dunia mimpi saya seakan menjadi gelap seketika. Indonesia Mengajar tak dapat tiket, apalagi SM3T? Namun, ada benarnya pula kata bapak. Untuk berbagi saya tidak harus pergi jauh. Saya pun mulai mencari lowongan menjadi guru honorer di SD. Banyak tanya sana-sini, mencari info begini sampai begitu, hasilnya?
Harus punya orang dalam. Yah, wajar, ini juga yang saya takutkan selama ini. Apalagi saya tinggal di pusat kecamatan. Sekalipun memiliki kompetensi yang unggul kalau tidak memiliki orang dalam siapa yang akan 'membawa'. Lagi-lagi saya hanya diam. Setiap berdoa, saya hanya bertanya pada diri sendiri, "Tidakkah saya memiliki kesempatan untuk berbagi?"
Saya tak menyerah begitu saja. Saya tetap berusaha, tapi belum ada lampu terang. Saya seperti manusia lainnya, memiliki titik jenuh dan memilih untuk membakar mimpi saya. Bukan untuk tumbuh menggelora, melainkan menjadikannya abu dan membiarkannya terbang bersama udara.
Menguapnya Mimpi Saya
Hingga suatu hari, karena tikus saya membuka kembali buku Indonesia Mengajar yang saya ceritakan di atas. Ada rasa kelu dalam hati. Rasa-rasanya hati saya begitu miris jika saya harus mengubur mimpi bapak, sekaligus mimpi saya. Saya baca ulang buku tersebut, saya berhenti pada lembar yang menceritakan sepasang suami istri dari Jawa yang rela merantau ke pelosok negeri untuk mendirikan sekolah mulai dari nol. Door to door. Mendatangi anak-anak dan orangtuanya untuk diajarkan tata tulis dan baca. Ya Allah, mulia sekali mereka. Indonesia masih memiliki orang baik macam mereka.
Saya? Apa yang saya sudah lakukan? Segini saja perjuangan saya? Kuliah selama empat tahun tak akan ada guna kalau saya hanya duduk diam menunggu waktu ada lowongan untuk menjadi guru.
Orang juga bilang saya ini memiliki motivasi diri yang sangat besar. Nah, kalau ini saya setuju. Namun, ada satu hal yang tidak orang tahu tentang saya. Introvet. Saya adalah seorang introvet yang suka bermimpi. Akankah mimpi saya terwujud begitu saja?
Hidup. Saya sebut hidup ini adalah pilihan. Bahkan seringkali tidak ada pilihan. Mau tak mau harus menjalani yang ada.
Setahun ini, seringkali rasa iri menghampiri hati saya. Iri dengan mereka yang saat ini bisa menyalurkan ilmunya kepada orang lain. Dalam hal ini, mendidik anak bangsa.
Proses PTK saya untuk menempuh S1 PGSD |
***
Jalan Mimpi SayaAwalnya saya tidak ingin menjadi seorang guru. Dulu, saya ingin menjadi seorang psikolog. Sayang, restu orangtua tak sanggup saya kantongi, mau jadi apa saya nanti. Mana ada psikolog yang masuk kampung? Begitulah pikir kedua orang tua saya.
Dengan berat hati saya pun mengikuti keinginan bapak dan ibu. Pergi merantau untuk kuliah mengambil program studi S1 PGSD. Selama satu semester kuliah, saya belum merasakan apa-apa meskipun saya memperoleh IPK di atas rata-rata.
Tak pernah hidup jauh dari orangtua, membuat saya semakin kurus dari hari ke hari. Salah satunya karena tidak cocok dengan masakan orang Kudus. Kenapa? Di lidah rasanya manis, sedangkan kalau orang Demak itu identik dengan masakannya yang asin. Hihihi...Indonesia.
Saya pun mencoba menikmati hidup saya, itung-itung latihan mandiri. Tapi, ada satu hal yang tidak saya suka saat hidup jauh dari orangtua, yaitu ibu selalu merahasiakan beberapa hal dari saya, terlebih soal keuangan keluarga. Saya tahu, bapak dan ibu menguliahkan saya dengan modal nekat. Mereka berkeinginan, saya-anaknya bisa sekolah lebih tinggi dibandingkan mereka yang hanya lulusan SD dan SMP.
Mereka rela jauh-jauh ke Ungaran-Semarang untuk nebas (membeli secara borongan) ketela pohon dan dijual kembali di pasar sekitar rumah. Jangan dibayangkan untungnya banyak, cara membawanya saja hanya menggunakan sepeda motor dan ibu duduk di atas ketela yang tersusun tinggi di atas keranjang bapak. Ya Allah, jika saat musim hujan datang, saya sering menangis perih membayangkan bapak dan ibu saat pulang dari memanen ketela itu. Inilah Indonesia, tak semua tanahnya subur untuk ditanami ketela dengan hasil yang bagus dan pulen saat dimasak. Karena untuk mendapatkan ketela yang bagus harus naik gunung terlebih dahulu. Butuh perjuangan tapi harga jual sangat murah.
Jaguar bapak :D |
Kala ketela tak lagi musim, bapak beralih profesi sebagai penjual pisang buah, pengumpul rosok, penggarap hutan, dan ibu beralih peran sebagai penjual tanaman di rumah. Serabutan, memanfaatkan apapun yang bisa dijual dan menghasilkan uang.
Semua dilakukan untuk saya, anak semata wayangnya. Durhaka sekali jika saya tak mewujudkan mimpi bapak dan ibu. Pikir saya dan saya rasa itu sudah sedikit terlambat. Perjuangan bapak dan ibu membuat hati saya luluh. Saya bukan anak orang punya. Sudah beruntung bisa kuliah. Saya harus menjadi guru!!
Saya jalani sisa masa kuliah saya dengan sungguh-sungguh. Saya pun memutuskan untuk tidak kos, pilih pergi-pulang selama satu jam untuk bisa sampai kampus. Bapak ibu berjuang maka saya pun juga harus berjuang untuk meminimalisir pengeluaran keuangan keluarga yang semakin memprihatinkan. Jalanan yang tak semulus tol menjadi tantangan saya setiap hari. Ah, itu tak ada apa-apanya dengan perjuangan bapak dan ibu.
Allah memberikan jalan lain karena suatu tujuan. Menjadi mahasiswa yang nglajo (pergi pulang), saya lebih sering menggunakan waktu jeda sebelum kuliah selanjutnya dimulai dengan membaca buku atau koran di masjid. Yang dulunya saat jadi anak kos lebih sering menggunakan waktu luang untuk tidur atau berbincang-bincang dengan teman, kali itu saya menemui dunia baru.
Pasang Surut Mimpi Saya
Buku pertama yang menemani saya di kala senggang adalah Indonesia Mengajar. Sebenanya buku tersebut sudah lama saya miliki tapi tak katam-katam juga. Tapi, kala itu, lembaran demi lembaran saya nikmati, maknai, dan saya resapi.
“...Salah satunya Ismail. Anak yang duduk di bangku kelas 5 SD ini mampu ’menyulap’ dinamo mobil mainan menjadi sebuah mesin potong rumput mini, memperbaiki korek api gas yang batu apinya sudah habis, dan membuat miniatur gitar dari potongan kayu. Ada bakat engineering dan seni dalam diri anak yang ternyata belum lancar membaca ini.” (Indonesia Mengajar-166)Pas pada momennya. Pas juga jenis buku yang saya baca. Dan kenapa? Kenapa dari dulu saya tak ingin menjadi guru? Bukankah menjadi guru itu sungguh mulia. Saya yakin di luar sana banyak sekali Ismail-Ismail yang butuh tangan saya. Ismail yang akan meneruskan cita-cita negara kita, Indonesia.
Menjadi guru adalah mimpi bapak, tapi melalui saya beliau ingin mewujudkannya. Demi bakti kepada bapak dan ibu saya mengukuhkan mimpi baru saya, menjadi seorang guru. Pucuk dicinta ulam pun tiba, tawaran ngajar di sekolah pun datang meskipun di TK bukan di SD, saat itu saya masih kuliah semester 5. Saya pun tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut.
Kesempatan ngajar di TK |
Bonus terindah yang belum pernah saya dapatkan selama saya hidup adalah ternyata kehadiran saya dinantikan oleh anak-anak. Bahagia lagi saat ada orangtua murid yang mengapresiasi saya. Ya Allah, sungguh bahagia. Sehari, seminggu ngajar, kemana pun saya pergi, setiap orang menyapa saya, "Bu Ika..."
Ya Allah, hati saya tersanjung. Tapi, bapak selalu bilang, "Bukan itu yang kamu butuhkan. Kamu hanya butuh tempat berbagi ilmu."
Tawaran ngajar di tempat lain pun datang. Saya menolaknya dengan alasan saya harus memenuhi mata kuliah PPL selama dua bulan. Artinya tak akan ada waktu libur untuk ke TK.
***
Sayang, itu tak lagi terjadi satu tahun ini. Saya sudah tidak mengajar di TK lagi. Saya pun tinggal menunggu wisuda. Tawaran demi tawaran mengajar yang dulu datang kini seakan pergi menjauh. Idealisme saya akan tingginya IPK, keterampilan, dan pengalaman mengajar seakan membuat saya luluh lantah.
Volunteer Pendongeng untuk anak PAUD |
Tak hilang akal, saya pun mengutarakan niat kepada bapak dan ibu untuk mencoba peruntungan untuk menjadi Pengajar Muda (seperti dalam buku Indonesia Mengajar) yang dikirim ke berbagai pelosok negeri untuk mengabdi di sana. Tapi apa yang saya dapatkan?
"Berbagi ilmu itu tidak harus pergi jauh ke pelosok negeri. Kamu bisa berbagi mulai dari sekitar. Seperti untuk anak-anak kampung sini."
Anak-anak Sekolah Malam yang saya dirikan |
Harus punya orang dalam. Yah, wajar, ini juga yang saya takutkan selama ini. Apalagi saya tinggal di pusat kecamatan. Sekalipun memiliki kompetensi yang unggul kalau tidak memiliki orang dalam siapa yang akan 'membawa'. Lagi-lagi saya hanya diam. Setiap berdoa, saya hanya bertanya pada diri sendiri, "Tidakkah saya memiliki kesempatan untuk berbagi?"
Saya tak menyerah begitu saja. Saya tetap berusaha, tapi belum ada lampu terang. Saya seperti manusia lainnya, memiliki titik jenuh dan memilih untuk membakar mimpi saya. Bukan untuk tumbuh menggelora, melainkan menjadikannya abu dan membiarkannya terbang bersama udara.
Menguapnya Mimpi Saya
Hingga suatu hari, karena tikus saya membuka kembali buku Indonesia Mengajar yang saya ceritakan di atas. Ada rasa kelu dalam hati. Rasa-rasanya hati saya begitu miris jika saya harus mengubur mimpi bapak, sekaligus mimpi saya. Saya baca ulang buku tersebut, saya berhenti pada lembar yang menceritakan sepasang suami istri dari Jawa yang rela merantau ke pelosok negeri untuk mendirikan sekolah mulai dari nol. Door to door. Mendatangi anak-anak dan orangtuanya untuk diajarkan tata tulis dan baca. Ya Allah, mulia sekali mereka. Indonesia masih memiliki orang baik macam mereka.
Saya? Apa yang saya sudah lakukan? Segini saja perjuangan saya? Kuliah selama empat tahun tak akan ada guna kalau saya hanya duduk diam menunggu waktu ada lowongan untuk menjadi guru.
Berkali-kali saya putar lagu tersebut, berkali-kali pula saya mengutuki diri saya sendiri. Buat apa selama kuliah saya selalu menggebu-gebu menjelaskan hasil PISA dan TIMSS anak negeri yang semakin melorot? Buat apa saya selalu mengagung-agungkan peran guru sebagai tombak pendidikan? Bagaimana saya mempertanggungjawabkan semua yang saya katakan? Tidak kah ada jalan lain untuk membantu negara membayar hutang untuk mencerdaskan anak bangsa?
Mimpi saya sebagai guru menguap. Menguap melalui buku. Tertulis jelas di Saya di Koran Kudus, saya ingin mencerdaskan anak bangsa ini lewat buku. Buku yang sekaligus ingin saya persembahkan untuk almamater saya. Buku yang bertemakan tentang keterampilan membuat sebuah karya dari barang bekas untuk anak-anak. Sejak dua bulan lalu saya mengamati, membaca, melihat sekitar, buku ini akan dibutuhkan di sekolah. Pernah saya memposting artikel Karya Siswa Sendiri ini sebagai bukti temuan saya sekaligus bahwa buku yang akan saya susun ini benar-benar dibutuhkan.
Butuh perjuangan, bahkan butuh tenaga untuk melakukan riset dan uji coba untuk membuat buku tersebut. Tapi, atas izin Allah, mimpi saya yang menguap ini akan terealisasikan. Banyak cara untuk mencerdaskan anak bangsa, salah satunya lewat sebuah buku. Semoga, suatu hari nanti.
0 komentar:
Posting Komentar