Dilahirkan jadi anak tunggal. Alhamdulillah. Tapi pandangan orang pasti langsung mengarah pada kata “MANJA”. Apakah semuanya?
Enak memang jadi anak tunggal, tapi nggak selamanya enak kali L. Kecuali yang orangtuanya kaya tujuh turunan. Ah, nggak juga sih. Nggak jamin!
“Kan enak, minta ini itu diturutin, kasih sayangnya cuma buat kamu, apa-apa kamu yang didahulukan, ini kamu, itu kamu, bla bla bla.” kata orang.
“Oya?? Bagaimana kalau pas orangtua berantem, ada masalah enak nggak? Orangtua sakit (naudzubillah)? Mau cerita sama siapa? Saudara lain? Ya kalau peduli, kalau tidak? Siapa yang mau diajak berbagi? Nggak ada!”
***
Di atas hanya sebuah celoteh amburadul dari anak tunggal semacam saya ini. Pandangan sebagai “anak manja” akan melekat bagi anak tunggal di manapun mereka berada. Sekalipun telah membuktikan dengan tindakan nyata, tapi label “anak manja” tidak akan luntur begitu saja. Setidaknya kalau memang tidak diakui masyarakat, akui saja sendiri. Hihihihi.
Ini adalah cerita saya, kejadian di awal mula saya menyandang status sebagai mahasiswa baru pada tahun 2010. Ada yang masih ingat ramadan pada tahun 2010 jatuh pada tanggal berapa? Tepatnya 11 Agustus.
Kala itu saya sedang mengikuti SAPAMABA di kampus. Acara ini semacam OSPEK gitu. Selama 3 hari (10, 11, dan 12 Agustus 2010) acara ini berlangsung, tidak sampai ada ‘pembantaian’ yang bisa buat mahasiswa kelaperan apalagi dehidrasi kok, karena mahasiswa hanya duduk mendengarkan ceramah dan berada di ruang (Aula Majid, adem~) yang cukup nyaman, tapi boring L.
Saya memang tak pernah membayangkan menikmati sepenggal ramadan jauh dari orangtua. Semua harus sendiri, memang selama ini ibu selalu mengajarkan hidup mandiri pada saya, tetap saja ramadan kali itu ada yang beda. Mau anak sulung, anak tengah, anak mami, ataupun anak bontot pasti juga merasakan hal yang sama seperti saya ketika ramadan di rantau. Saya ini sudah mahasiswa, seperti itulah ketika rasa rindu mendera. Harus dewasa!
Helo! It’s show time. Nggak mungkin juga gara-gara jauh dari orangtua terus nggak puasa, lagian saya juga tidak sendiri. Ya, saya bersama teman-teman kos saya. Hoaaamm...semua serba baru, teman baru, kamar baru, dan pastinya lingkungan baru.
Kala itu, sebagai mahasiswa baru saya memutuskan untuk kos, meskipun jarak rumah sampai kampus sebenarnya tak terlalu jauh, hanya 1 jam tempuh. Kos yang saya tempati ini juga termasuk gedung baru. Jadi masih sangat ‘perawan’, dan kelompotan saya ini termasuk angkatan pertama juga.
Kali Pertama Sahur
Yuvoria malam pertama tarawih bersama teman-teman (Ber-10 orang) sungguh menghibur hati saya. Setidaknya dapat melupakan sejenak rasa tak ingin jauh dari orangtua. Berbincang-bincang di teras kamar salah satu teman, berbagi cerita kegiatan siang itu sampai akhirnya membahas tentang menu sahur nanti.
Dari kiri (Saya, Lensa, Nia, Mitha, dan Ulya) Jalan-jalan pagi setelah jamaah sholat subuh. Yang lain? Molor di kos :D |
“Mas, ini nanti sahurnya bagaimana?” tanya saya kepada Mas David (penjaga kos ter-care yang pernah saya temui) yang ikut nimbrung dalam obrolan saya dan teman-teman.
“Pokoknya gampang lah.” jawab Mas David.
Perbincangan mengenai menu sahur mulai ramai, ada yang usul lauk ini, ingin itu, akhirnya bisa juga mengerucut sampai pada siapa yang mau keluar kos pukul 03.00 WIB untuk membeli menu sahur.
“Ichaaaa.....”
Nama saya yang disebut. Mau bagaimana lagi, kala itu yang membawa motor hanya saya dan Mitha (teman sekamar saya). Akhirnya saya dan Mitha meminta teman-teman untuk iuran saat itu juga, namun sebelumnya kami memutuskan menu apa yang akan kita pilih. Karena di awal masih terjadi perdebatan. Masalah nasinya? Ada salah satu teman yang menyumbang beras dan magic com mini. Okelah sip. Akhirnya per kepala iuran Rp 3.000 untuk urusan sayur dan lauknya.
Tepat pukul 03.00 WIB saya membuka gerbang kos dan siap berburu menu sahur bersama Mitha dan Mas David. Alamak, brbrbrbrrrr..... dingin sekali. Tapi demi misi perburuan menu sahur bersama, dinginnya pagi buta tak terhiraukan. Perjalanan 10 menit ternyata cukup untuk sampai di warung. Padahal kalau pagi nggak mungkin deh, bisa 2 x lipatnya malah.
Sesampainya di kos, teman-teman yang lain sudah siap dengan piringnya masing-masing. Bagai anak panti (*ups). Berkumpul jadi satu di kamar no 2 (Kamar Nia dan Lensa). Acara makan sahur pun segera dimulai. Tapi apa yang terjadi? Nasi yang saya masak kurang air alias belum tanak. Maafkan, jujur saja itu kali pertama saya masak pakai magic com. Jadi maklum ya teman-teman. Batin saya. Salah siapa juga yang nyuruh milih saya? (Jahatnya saya)
Kekecewaan tidak berhenti sampai di situ, ternyata sayur yang saya beli (sayur pindang) rasanya juga kurang mak nyuss. Tampang teman-teman sungguh tak berselera untuk makan sahur, terlebih saya. Sudah tidak selera, malah ditambah sudah mengecewakan teman-teman. Sahur pertama GATOT (Gagal Total)
Selesai sahur, kami menunggu waktu sholat subuh terlebih dahulu. Kami berencana untuk jamaah di masjid Darul Ilmi yang berada di dalam kampus. Kos kami berada tak jauh dari kampus, hanya di depannya.
Adzan subuh pun berkumandang. Kami bergegas menuju masjid. Sampai di depan kampus ternyata gerbangnya digembok. Ada rantai yang terkait di sana. Tak kurang akal, kami pun meloncat untuk melewati gerbang kampus. Baru juga turun sebagian rombongan kami, suara ikomah pertanda sholat akan dimulai pun terdengar. Tergopoh-gopoh kami berlari. Ah~ justru bising karena semua pada teriak saling berebut untuk sampai masjid terlebih dahulu.
Saling bersalaman, senyum sana senyum sini seperti orang gila. Ya begitulah kami. Tangga masjidpun kami turuni, saatnya kembali ke kos. Namun, ketika sampai di depan gerbang dan siap dengan antrian bagaikan peloncat indah dengan media gerbang kampus, pak satpam berjalan ke arah kami dan berkata, “Mbak, nggak usah loncat, gerbangnya tidak digembok ko. Coba saja dibuka.” kata pak satpam.
Mendengar ucapannya kami hanya saling memandang. Malu juga, karena tadi pas meloncat gerbang pak satpam kan lihat. Kenapa tidak diberitahu? Ah, rese.
Sahur Indah
Tepat di hari terakhir kami berada di kos kala pagi itu (12 Agustus), tepatnya sahur ke dua, saya tidak ingin mengecewakan teman-teman lagi. Seperti biasa malam setelah tarawih saya keliling kamar bagaikan rentenir narik uang iuran. Ah~demi mereka.
Seperti sahur pertama, dengan berkalung sarungnya Mas David mengantar kami untuk membeli menu sahur. Saya pilih tumis kangkung, sayur bening, dan tempe goreng. Kok kayaknya enak benar pas baru diangkat dari kompor si mbak penjualnya. Ya pastinya dengan harapan kalau teman-teman nggak manyun lagi dengan menu sahur yang pertama. Dan harus berhasil!
Sesampainya di kos, menu yang saya beli pun ditata dalam mangkuk dan piring. Setelah berdoa bersama, kami pun makan sahur sambil berbincang-bincang.
“Lah kok, entek kabeh (habis semua)?” teriak Mas David yang hendak nambah lauk.
“Hahahahahaha....”
“Dasar wong ndeso, wingi ditukoke sayur daging ra dimaem, iki jangane wong ndeso kok yo langsung entek. (Dasar orang desa, kemarin dibelikan sayur daging tidak dimakan, sekarang sayur ala orang desa langsung habis)”
“Hahahahaha...” sahut kami berbarengan.
Inilah sepenggal cerita saya kala itu, selalu ngangenin. Apalagi teman-teman selalu bilang, “Kapan bisa sahur bareng Mak Icha?”. Sayangnya sekarang saya sudah tidak kos lagi di sana. Dan semenjak saya dan Mitha keluar dari kos tersebut, saya kehiangan kabar Mas David. Beliau sudah saya anggap sebagai kakak sendiri. Terakhir dengar kabar tentangnya sudah bekerja di tempat orang pintar. Semoga semuanya baik-baik saja dan selalu dalam lindungan-Nya.
Yang pasti, saya bisa tertawa sambil berkata, “Woy...saya juga bisa kok tidak manja!”
Buat anak tunggal di manapun Anda berada, Anda pasti bisa keluar dari zona manja, ya secepatnya! Tunjukkan kalau Anda bisa. Bisa mandiri tanpa embel-embel 'anak manja.' Kalau anak mami? Ya bolehlah, masak anak tetangga?
0 komentar:
Posting Komentar