(Sebelum kecewa setelah membaca tulisan ini sampai selesai, mendingan tidak usah dibaca. Ini hanya curhatan seorang pengangguran kok.)
Usiaku 21 tahun, di mata orang sekampungku usia segitu sudah termasuk uzur. Ya, kawanku di masa SD saja kini anaknya menjadi muridku di TK tempatku mengajar. Bisa dibayangin nggak? Selain itu, ada pula yang sudah sibuk menjadi buruh pabrik yang hidup dipenuhi dengan shift kerja yang tak menentu. Uangnya banyak pasti?
Aku hidup di dalam kerumunan warga, jadi kalau ada warga sekitar yang seringkali membanding-bandingkan, kalau kamu ini kan gini, kalau kamu gitu kan gini. Wajar kah? Kemudian apa yang ku rasakan? Biasa saja, terlebih aku masih menuntut ilmu. Pikirku dulu.
‘Masih bertahankah aku dengan prinsip itu?’
5 jari tanganku tersisa untuk menghitung datangnya lebaran tahun ini. Ada perasaan yang berbeda. Ramadan kali ini banyak sekali jejalan-jejalan masalah financial yang menghampiri keluargaku. Termasuk di dalamnya adalah pembayaran kuliahku. Aku tahu ibu tak pernah bermaksud untuk menyalahkanku atas biaya kuliahku, tapi rasa-rasanya aku begitu tersiksa dengan perasaanku sendiri. Keadaan inilah yang merobohkan prinsipku.
‘Andaikan aku tidak kuliah dan bekerja seperti mereka, ibu pasti bahagia. Ibu pasti bisa merasakan ramadan dengan hikmat. Tak ada pikiran ini dan itu. Tak harus berhutang sana-sini demi membayar uang kuliahku. Mau ini bisa, mau beli itu bisa. Bla bla bla...’
Selalu pikiran itu yang muncul. Memang, rejeki itu sudah ada yang mengatur. Seperti kala itu, HP datang, paketan buku datang, paket minuman isotonik dan uang 150.000, kaos, dan teh, roti dan beberapa hadiah lainnya yang aku dapatkan dari ikutan kuis di radio maupun sosial media lainnya. Siapa yang nyangka? Tapi bukan manusia namanya kalau semua itu sudah cukup bagiku.
‘Itu tak membuat ibu bahagia,’ pikirku.
Terlebih lagi, kini adik keponakanku sudah bekerja di pabrik dan ibu bercerita kalau dia mendapatkan gaji Rp 900.000, bisa beli baju baru, ini dan itu. Aku tahu maksud ibu hanya bercerita saja, tapi sebagai pengangguran merasa ada yang mendesak hatiku, ‘Kenapa aku harus kuliah? Kenapa dulu nggak kerja juga. Kan kalau ramadan seperti ini aku bisa beliin ibu baju, bapak juga.’ Selalu seperti itu. Toh, semenjak SMA aku tak pernah mengenal baju baru di hari lebaran, so what? Harusnya aku tidak meradang. Harusnya...
Apa sih yang bisa aku lakukan? Menjadi penulis lepas pun aku belum jenak. Terlebih biaya untuk modem saja sampai saat ini aku suka mengakali dengan paket ala kelelawar, kalau nemu yang murah beli kartu perdana yang kadaluarsa seharga seribu untuk 100MB.
‘Ah, aku banyak alasan.’ pikirku lagi.
Ditambah lagi, ramadan kali ini aku merasa menambah beban ibu. Apa? Munjung mertua. Ya, ngantar bingkisan ke mertua. Memang, secara lazimnya itu tanggungjawab orangtuaku, tapi lagi-lagi aku terlalu berperasaan. Pekewuh sama ibu. Belum beruang saja sudah ngrepotin mlulu.
‘Kapan aku beruang?’, pikirku lagi.
Ah, kemarin ada yang kirim inbox, mbak tulisannya sudah dimuat. Silahkan cek rekening. Rp 100.000. Horeee!!! lumayan. Allah memang tak pernah tidur. Cukup nggak cukup uang itu ku berikan pada ibu. Paling tidak bisa buat ganti uang ibu yang dipakai membeli bingkisan ke mertua.
‘Alhamdulillah... agak lega’, pikirku lagi.
Kemarin lusa, ada tetangga juga yang main ke rumah. Aku dengar ibu bincang-bincang. “Wah Mbak Umi ya lebaran beneran ya, tabungannya banyak, anaknya pada gajian, suaminya pulang.” kata ibu.
Aku di dalam kamar hanya menahan desakan dalam hati.
‘Maaf bu...’, pikirku lagi.
Memang, lebaran itu tidak harus identik dengan baju baru, jajanan mewah yang tersaji di atas meja, opor ayam, apalagi rendang. Tapi inilah lebaran yang ada pada masyarakat. Aku dan keluargaku hidup di tengah-tengahnya, mau tidak mau secara umum mengikuti arus di dalamnya. Tapi tak terlampau jauh masuk di dalam garis orbitnya.
Ramadan, kemudian lebaran. Biarkanlah ku artikan kebahagiaan ibu pada masa ini dengan uang. Aku paham betul bahagia itu tidak selalu identik dengan uang, tapi ini keinginanku.
‘Maafkan adik membeli bahagia ibu dengan uang. Tapi ini caraku’, pikirku lagi.
‘Ah, ini curhatan apa ya?’, pikirku lagi.
“Ibu, maafkan adik kalau ramadan ini adik belum bisa membahagiakan ibu dengan cara adik. Biarkan mereka menikmati bahagianya sekarang. Ibu boleh iri. Sangat boleh. Ingatlah bu, suatu hari ibu juga akan merasakan itu. Disaat adik sudah menggapai mimpi adik, atau jika Allah mengijinkan adik jadi PNS. Suatu hari buk. Pasti, suatu hari. Bahagia ibu pun tidak hanya di bulan ramadan, tapi di bulan-bulan lainnya bu, 11 bulan yang lainnya. Adik janji bu.”
“Ya Allah.....pertemukan kami di ramadan tahun depan, agar hamba bisa melihat bahagia ibu di masa seperti masa ini. Ijinkan Ya Allah...”
0 komentar:
Posting Komentar