Senin, 07 Januari 2013

Dilema Penjurusan Siswa di SMA pada Kurikulum 2013


oleh: Mr.Urip
Soal penjurusan siswa SMA pada rencana kurikulum 2013 sebagai hasil perubahan yang sedang dilakukan pemerintah (via kemdikbud) tentu akan membuahkan perdebatan. Hal ini jelas bukan barang baru, dulu masalah ini pernah mengemuka. Mengemukanya juga ketika beralih dari kurikulum ke kurikulum berikutnya. Banyak sekali pertimbangan dengan argumennya masing-masing. Penjurusan selalu menjadi komoditas untuk diperdebatkan, yang tentu saja pemerintah adalah pemenangnya karena ia menjadi pengambil keputusan.

Untuk kurikulum yang rencananya akan diubah dan akan diterapkan di awal tahun pelajaran 2013/2014 alias mulai bulan Juli 2013 itu, di depan wapres beberapa hari lalu ada beberapa alternatif dan pertimbangan.

Menyimak dari alternatif yang tiga itu sepertinya alternatif terakhir tidak akan diambil, karena kompleksitas dari pelaksanaan pembelajarannya nanti, belum lagi terbatasnya sarana dan juga masalah pemerataannya. Sementara alternatif lain bukan berarti bebas masalah. Keyakinan saya apapun argumennya pemerintah dipastikan tidak mau ambil resiko dengan mengubah apa yang sedang berjalan sekarang ini. Lagi pula esensi perubahan kurikulum itu sendiri juga tidak jelas dan menimbulkan berbagai kecaman oleh berbagai pihak termasuk pesimisme guru.

Kalau saya sendiri sebagai guru kimia, lebih menyukai bahwa penjurusan siswa SMA sebaiknya dilakukan sejak awal, mengingat banyak siswa yang kemampuan matematika dan logika serta bahasanya lemah. Padahal semua itu dipersyaratkan untuk belajar kimia atau mata pelajaran IPA lainnya dan matematika tentunya. Saya melihat banyak sekali siswa tersiksa dengan pelajaran yang memang mempersayaratkan kemampuan matematika dan logika itu. Apapun upaya yang dilakukan guru jika syarat kemampuan awal tidak terpenuhi makai tugas berat menanti guru fisika, kimia, dan matematika Mengingat pula ketersediaan guru-guru MIPA di hampir semua sma kini hampir bisa dikatakan memadai. Saya tidak punya data tapi secara sekilas di kabupaten tempat saya bertugas ini bahkan bisa dikatakan berlebih.

Kembali kepada berbagai alternatif itu tentu saja juga berkiblat dari negara lain, bukan asli dari pola pikir mendalam atau dari hasil penelitian atau pengkajian yang valid. Semua itu menurut dugaan saya adalah berdasarkan pola pikir para pemikir pendidikan yang tentu saja akan berusaha menyenangkan pihak kemdikbud sendiri. Hal kecil seperti ini tentu saja tidak luput dari kepentingan pihak tertentu, guru-guru pun bisa menduga akan hal itu, walaupun dugaan itu belum terbukti tapi guru sudah terbiasa dengan tayangan-tayangan dan lagunya pemerintah selama ini.

Lalu dilemanya di mana? Kemauan siswa dan orang tua, kemampuan prasyarat siswa yang lemah (walau dinyatakan lulus ujian nasional) itu pun tidak bisa dijadikan jaminan. Mengingat hampir semua guru (pelaku pendidikan) tahu apa yang terjadi dibalik UN selama ini. Nampak jelas bahwa kesiapan pemerintah dengan berbagai konsekwensinya harus disiapkan, kalau tidak itu hanya jadi dilema saja, serba salah. Bahkan ada kajian dalam bentuk disertasi mengenai penjurusan ini sudah sepatutnya untuk dapat dijadikan rekomendasi karena sudah dilakukan pengkajian mendalam.

Meskipun pola pikir manusia seumuran anak SMA masih sangat labil, namun menimbang potensi dan peluang keberhasilannya tentu akan lebih baik jika siswa terarah sejak dini. Harapannya tentu memberikan keputusan yang tepat dengan tidak mengkebiri "ambisi" anak dan orang tua tetapi sesuai modal-bekal-kemampuan awal.

Seperti di negara tentangga (Singapore) ada dua jalur penjurusan level-O untuk siswa kemampuan di atas rata-rata, dan level-N untuk siswa dengan kemampuan rata-rata. Sedangkan mereka yang di SMK memang tidak diorientsikan ke universitas, tetapi hanya boleh ke akademi atau politeknik saja, meskipun semua itu akan jadi dilema lagi dan lagi. Namun belakangan pemerintah sudah akan "memaksa" siswa yang kemampuannya di bawah rata-rata bisa diarahkan ke SMK karena jumlah SMK di setiap daerah jumlah ditambah terus hingga target 50% SMA dan 50% SMK. Ini langkah bagus asal tidak bermental proyek saja .

Mari tunggu keputusan soal penjurusan ini. Apakah akan tetap jurusan IPA, IPS, dan Bahasa?

Penulis adalah Guru Kimia dan IT di Kalimantan Tengah
IKLAN 3

0 komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog