Sabtu, 08 Februari 2014

Jiwa Peminta-minta

“Gawat, alamat telat nih!” aku segera meluncur dari teras rumah yang posisinya lebih tinggi dari jalanan depan rumah.

Syuurr...

Benar saja, saat ku lirik jam tanganku, jarumnya menunjukkan pukul 15.30 WIB. Ku pancal porsneleng motor dan segera meninggalkan rumah.

“Huh, jangan buru-buru! Nicho nggak akan pindah rumah kok.” Hiburku pada diri sendiri. Baru 100 meter dari gang masuk rumah, ku dapati barisan truk dan tronton yang berjalan sedikit lamban.

“Ada apa sih kok macet? Kecelakaan ya?” Ceracauku sambil membenahi selempang tas yang sedikit melorot.

Untung saja, aku cukup mahir kalau urusan selap-selip. Agak melipir-melipir, tapi berhasil juga melewati kendaraan bertubuh gendut itu. Tentu bersaing dengan pengendara sepeda motor lainnya.

Tepat di depan kantor pemerintahan yang tempo hari baru diresmikan, ku temukan sebuah jawaban. Tampak ada dua laki-laki yang ku taksir usianya sama denganku sedang memegang ‘bakul plastik’ dan berdiri di tengah jalan. Posisi mereka saling memunggungi. Bisa menebak apa yang mereka lakukan? Ada dua laki-laki lainnya sedang mengangkat batu berwarna kuning (kalau kena air langsung hancur dan becek) untuk menguruk beberapa lubang yang ada di dekat laki-laki pembawa ‘bakul plastik’ tadi.

Meminta sumbangan pada pengendara kendaraan yang melintasi jalan tersebut atas jasa yang mereka lakukan. Itulah yang mereka lakukan. Memang, semenjak Kudus (jalur pantura) dilanda banjir, jalur tengah Semarang-Purwodadi menjadi jalur alternatif bagi kendaraan berat yang akan menuju atau meninggalkan Surabaya dan daerah lainnya. Guyuran hujan akhir-akhir ini berhasil menggerus beberapa ruas jalan yang masih beraspal. Ditimpa beban berat dan terus-terusan digerus oleh air, kasihan sekali aspal itu. Ya, salah satunya yang aku ceritakan. Lubang yang terbentuk cukup dalam dan jaraknya pun cukup dekat antara lubang satu dengan lubang yang lainnya. Hal itu memaksa para pengendara untuk melambatkan laju kendaraannya.

Kembali pada dua laki-laki itu. Menambah kemacetan, itu pikirku saat melihat mereka ‘meminta-minta’ pada pengendara yang lewat atas jasa yang mereka lakukan. Memang, kepedulian mereka atas jalan yang rusak sangat baik, toh aku pun belum tentu bisa melakukan hal tersebut. Akan tetapi, ‘meminta-mintanya’ itu lho tak sebanding dengan apa yang mereka lakukan. Ruas jalan yang ditambal dengan batu ala kadarnya pun tak seberapa, dan apakah mereka tak memiliki rasa malu dari ‘meminta-minta’ itu. Ujungnya, uang hasil ‘meminta-minta’ itu akan dibakar pula (membeli rokok) atau untuk membeli pulsa.

‘Meminta-minta’ seakan-akan kini menjadi hal yang lumrah bahkan bukan menjadi sesuatu yang tabu lagi. Berita yang pernah marak, si kaya dari hasil ‘meminta-minta’ ini menunjukkan bahwa mental mereka ya mental ‘meminta-minta’. Tidak ingatkah dengan nasihat lama, bahwa tangan di atas itu lebih mulia dibandingkan tangan di bawah? Seginikah harga diri manusia saat ini? Apa yang salah?

Ah, meminta-minta seakan kini menjadi sebuah kultur.

Aku kutip dari http://majalahqalam.wordpress.com, ada seorang Psikolog Koentjoro dari Universitas Gajahmada (UGM) pernah meneliti kehidupan pengemis (aku sebut peminta-minta) di Desa Karangrejek dan Mojolegi, Yogyakarta. Apa yang mereka temukan? Koentjro menemukan fakta, peminta-minta asal kedua desa itu memang miskin. Bukan karena mereka malas bekerja. Tapi sayangnya, kebiasaan penduduk dua desa untuk ‘meminta-minta’ sudah menjadi kultur di balik kemiskinan yang mendera mereka. Sehingga di sana ada pemeo, “Mengemis pekerjaan halal, tidak melanggar ajaran agama dan peraturan pemerintah.”

Ada lagi, aku menemukan sebuah keluarga muda yang berprofesi sebagai ‘peminta-minta’di Kota Semarang. Mereka menggunakan anaknya sebagai umpan belas kasihan para ‘pemberi’. Sedihnya, dari anaknya yang pertama sampai yang ketiga, semua diajak ‘meminta-minta’. Bukan sekaligus, melainkan mereka digunakan sebagai alat saat mereka masih kecil. Ketika sudah usia sekolah, mereka memproduksi anak lagi, begitu seterusnya, dan seakan-akan sudah terjadwal. Ironis memang. Tapi ini kenyataan.

Kemudian, apa komentar kamu tentang foto ini?

Dok.  Pribadi

Foto ini aku ambil bulan Nopember tahun 2013 sekitar pukul 14.00 WIB. Ini terjadi di desa yang selalu aku lewati setiap pulang-pergi kampus. Tampak anak-anak sedang melakukan hal yang sama dengan dua laki-laki yang aku ceritakan di atas. Bedanya mereka hanya menjaga pintu buka tutup (perbaikan jalan) yang jarak tempuhnya tak lebih dari 100 meter. Jadi, tanpa mereka orang pun akan tahu ada kendaraan yang lewat.

Ini anak kecil lho ya, umur mereka rata-rata masih SD. Bukankah jam segitu harusnya mereka sedang menuntut ilmu di madrasah? Jawaban yang keluar dari mulut mereka, "Aku gak mangkat kok, Mbak. Ngene enak." (Aku nggak berangkat, Mbak. Begini (meminta-minta) enak kok).

Analisis terburukku mengenai apa yang anak-anak ini lalukan adalah dari MENIRU orang-orang dewasa yang sebelumnya juga melakukan hal yang sama saat awal jalanan tersebut diperbaiki. Meniru, inilah karakteristik yang identik pada diri anak-anak. Akankah mereka juga akan menganggap 'meminta-minta' juga sebagai hal yang lumrah di kemudian hari?

Astagfirullah, jangan sampai ini tertanam dalam diri mereka sampai dewasa nanti. Kalau iya, maukah negara ini mendapat julukan negara yang penuh akan jiwa 'peminta-minta'? Move on! Now!

Mari, kita mulai dari diri kita sendiri, mandiri OK!
Semoga Allah selalu melimpahkan rezeki bagi kita semua dengan jalan yang selayaknya. Yakinkan pada diri kita kalau Allah menebar rezekinya di mana saja dan kapan saja. Tergantung kita, peka apa tidak?

IKLAN 3

0 komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog