Kamis, 26 Maret 2015

Hadits Palsu Tentang Larangan Melihat Kemaluan Suami/Istri

Oleh :
Ustadz Abdullâh bin Taslim al-Buthoni MA

رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: إِذَا جَامَعَ أَحَدُكُمْ زَوْجَتَهُ أَوْ جَارِيَتَهُ فَلَا يَنْظُرُ إِلَى فَرْجِهَا فَإِنَّ ذَلِكَ يُوْرِثُ الْعَمَى

Diriwayatkan dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi 
wasallam bersabda, “Jika salah seorang darimu (suami) mengumpuli istri atau budaknya, maka janganlah dia melihat kemaluannya, karena hal itu akan menyebabkan kebutaan”.

Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ibnu Hibbân rahimahullah dalam al-Majrûhîn I/202, Ibnu ‘Adi dalam al-Kâmil fi adh-Dhu’afâ II/75 dan Ibnul Jauzi rahimahullah dalam al-Maudhû’ât II/271 dari jalur Hisyam bin Khalid, dari Baqiyyah bin al-Walîd, dari Ibnu Juraij, dari ‘Athâ’, dari ‘Abdullâh bin ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma, dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Hadits ini dihukumi oleh para ulama Ahli hadits sebagai hadits palsu, karena dalam sanadnya ada rawi yang bernama Baqiyyah bin al-Walid, dia banyak mentadlis (menyamarkan) riwayat dari rawi-rawi yang lemah[1] , dan hadits ini termasuk di antaranya.

Imam Ibnu Hibbân rahimahullah berkata, “Baqiyyah (ini) biasa meriwayatkan hadits dari para pendusta maupun perawi-perawi yang terpercaya, kemudian dia mentadlis (menyamarkan)nya…Hadits ini didengarnya dari perawi yang lemah, dari Ibnu Juraij, kemudian dia menyamarkannya”[2] .

Imam Abu Hâtim ar-Râzi rahimahullah menghukumi hadits ini sebagai hadits yang palsu dan tidak ada asalnya. Demikian pula Ibnu Hibbân, Ibnu ‘Adi rahimahullah , Ibnul Jauzi rahimahullah, adz-Dzahabi rahimahullah dan al-Albâni rahimahullah dan para ulama Ahli hadits lainnya[3] .

Sebagian ulama ada yang menshahihkan hadits ini, karena melihat di jalur sanad yang lain ada riwayat yang tidak terdapat tadlis padanya, tapi ini adalah kekeliruan dari para rawi yang meriwayatkan dari Baqiyyah, sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam Abu Hâtim ar-Râzi dan dibenarkan oleh Imam adz-Dzahabi rahimahullah dan al-Albâni rahimahullah[4] .

Kesimpulannya, hadits ini adalah hadits palsu dan tidak ada asalnya.

Hadits yang semakna juga diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dikeluarkan oleh Imam Ibnul Jauzi dalam al-Maudhû’ât II/271.
Hadits ini juga sangat lemah atau bahkan palsu, dalam sanadnya ada perawi yang bernama Muhammad bin ‘Abdur Rahmân al-Qusyairi. Imam Ibnu ‘Adi rahimahullah berkata tentangnya, “Haditsnya munkar (sangat lemah)”. Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata, “Dia tertuduh (memalsukan hadits) dan tidak terpercaya”[5] .

Hadits riwayat Abu Hurairah ini juga dihukumi sebagai hadits palsu oleh Imam Ibnul Jauzi rahimahullah dan Syaikh al-Albâni [6] .

Makna hadits di atas juga diriwayatkan dari ucapan istri Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ‘Aisyah Radhiyallahu anhauma, beliau berkata, “Aku sama sekali tidak pernah melihat aurat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”.

Hadits ini dikeluarkan oleh Imam ath-Thabrâni dalam al-Mu’jamul Ausath II/349 dan al-Mu’jamush Shaghîr I/100, dan al-Khathîb al-Baghdâdi rahimahullah dalam Târîkh Baghdâd IV/225.

Hadits ini adalah hadits palsu, karena dalam sanadnya ada rawi yang bernama Barakah bin Muhammad al-Hubulli, Imam ad-Dâraquthni dan al-Hâkim mengatakan bahwa dia selalu memalsukan hadits [7].

Al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah menghukumi hadits ini sebagai hadits palsu yang diriwayatkan oleh perawi ini, demikian pula Syaikh al-Albâni rahimahullah [8] .

Hadits ini juga diriwayatkan dari dua jalur lain, tapi jalur yang pertama lemah dan jalur yang kedua palsu[9] .

Ada hadits lain yang semakna dengan hadits di atas, tentang larangan berhubungan intim dalam keadaan bertelanjang, dari ‘Utbah bin ‘Abdin as-Sulami dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dengan lafazh, “Jika salah seorang darimu (suami) mengumpuli istrinya, maka hendaknya dia memakai (kain) penutup dan janganlah keduanya bertelanjang seperti telanjangnya keledai liar”.

Hadits ini diriwayatkan dari beberapa jalur, semuanya lemah dan tidak bisa dijadikan sebagai sandaran. Dihukumi sebagai hadits lemah dan munkar oleh Imam an-Nasâ’i rahimahullah , al-Baihâqi rahimahullah , al-‘Irâqi trahimahullah, al-Bushiri raimahullah dan Syaikh al-Albâni rahimahullah[10] .

Kesimpulannya, hadits di atas adalah hadits palsu dan tidak ada asalnya, demikian juga hadits yang semakna dengannya, semua lemah dan palsu. 

Maka hadits ini sama sekali tidak bisa dijadikan sebagai sandaran hukum untuk melarang suami atau istri melihat aurat atau kemaluan pasangannya. Bahkan larangan ini sangat bertentangan dengan pemahaman fikih yang benar.

Syaikh al-Albâni rahimahullah berkata, “Pandangan (pemahaman) yang benar menunjukkan batil (rusak)nya (makna) hadits ini, karena larangan melihat (aurat/kemaluan) ketika bersenggama berarti larangan terhadap pengantar (untuk melakukan senggama). Jika Allâh Azza wa Jalla telah menghalalkan bagi seorang suami untuk mengumpuli istrinya, maka apakah masuk akal kalau Dia Azza wa Jalla melarang suami tersebut untuk melihat kemaluan istrinya?”[11] .

Kemudian larangan dalam hadits palsu di atas bertentangan dengan hadist shahîh riwayat ‘Aisyah Radhiyallahu ahna , istri Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , bahwa dia dan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mandi bersama dari satu bejana[2] .

Imam Ibnu Hajar ketika menjelaskan kandungan hadits shahîh ini, beliau berkata: “(Imam) ad-Dâwûdi rahimahullah berargumentasi dengan hadits ini tentang bolehnya seorang suami melihat aurat istrinya, demikian pula sebaliknya. Kebolehan ini dikuatkan dengan riwayat Imam Ibnu Hibbân dari jalur Sulaimân bin Mûsâ bahwa dia pernah ditanya tentang (hukum) seorang suami melihat kemaluan istrinya?. Maka, Sulaimân bin Mûsâ berkata, “Aku pernah bertanya kepada ‘Athâ (tentang hal ini) dan dia berkata, ‘Aku pernah bertanya kepada ‘Aisyah Radhiyallahu anha (istri Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam) tentang hal ini, maka ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma menyebutkan hadits ini”. Dengan demikian, hadits ini merupakan dalil yang jelas tentang kebolehan perkara ini”[13] .

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XVI/1434H/2013M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]


[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XVI/1434H/2013M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
________
Footnote
[1]. Lihat Taqrîbut Tahdzîb hlm 126.
[2]. Dinukil oleh Imam Ibnul Jauzi dalam al-Maudhû’ât II/271.
[3]. Lihat Ilalul Hadîts II/295, al-Kâmil II/75, al-Maudhû’ât II/271, Mîzânul I’tidâl I/333 dan adh-Dha’îfah I/351, no. 195.
[4]. Lihat Ilalul Hadîts II/295 dan adh-Dha’îfah I/352.
[5]. Lihat Mîzânul I’tidâl III/623-624.
[6]. Lihat al-Maudhû’ât II/271-272 dan adh-Dha’îfah I/352, no. 196.
[7]. Dinukil oleh Imam Ibnu Hajar dalam kitab Lisânul Mîzân II/8.
[8]. Lihat Lisânul Mîzân II/8 dan Âdâbuz Zifâf hlm. 37 pada catatan kaki.
[9]. Lihat Âdâbuz Zifâf hlm. 37 pada catatan kaki.
[10]. Semua dinukil oleh Syaikh al-Albâni dalam Âdâbuz Zifâf hlm. 37-38 pada catatan kaki.
[11]. Silsilatul Ahâdîtsi adh-Dha’îfah wa al-Maudhû’âh” (1/353).
[12]. HSR. al-Bukhâri no. 258 dan Muslim no. 319.
[13]. Fathul Bâri I/290.
IKLAN 3

0 komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog