Assalamualaikum.
Karena Dia Terlalu Mencintai Saya.
“Seperti tumbu bertemu tutupnya.”
Pernyataan itu sangat cocok bagi saya dan suami. Saya yang keras kepala berjodoh dengan laki-laki yang berhati lembut dan penyabar. Saya yang cerewet berjodoh dengan laki-laki yang cukup berbicara dan pintar nyrateni ucapan saya. Saya yang boros berjodoh dengan laki-laki yang hemat dan telaten. Dialah suami saya.
Setiap hari, semenjak empat bulan lalu kami menikah (masih hangat-hangat tai ayam), saya selalu terkaget-kaget dengan sikap suami. Bagaimana tidak? Empat tahun bersamanya, meski jarang bertemu, komunikasi hanya lewat HP, saya kira saya cukup mengenalnya. Ternyata tidak!
Laki-laki di samping saya inilah yang terlalu mencintai saya |
Uh...Saya sering dibuatnya emosi. Sepele sih maslahnya, namanya juga perempuan *pembelaan*. Baju kotor diletakkan sembarangan. Paling ogah cuci tangan. Sering kelupaan gosok gigi tiap kali mau tidur. Buang sampah sembarangan. Dan satu lagi, kalau tidur dia mendesis. Seperti ular. Atau jangan-jangan suami saya ini siluman ular? Amit-amit! *cium suami
Saya tentu mengomel! Tahu apa reaksinya?
“Maklum sayang, dulu kan hidup sendiri di rantau....”
“Maklum sayang, dulu kalau makan sering telat, jadi tanpa cuci tangan langsung makan. Lapar.”
“Maklum sayang, dulu sering kecapekan jadi sering ketiduran nggak gosok gigi.”
“Maaf sayang...”
“Masak sih ngorok? Apa mungkin kecapekan ya?”
Batin saya, alasannya dulu, dulu, dan dulu. Ah, apa yang keluar dari mulutnya selalu membuat saya luluh. Kasihan? Atau karena cinta. Yang pasti, saya tahu bagaimana perjuangannya, dulu.
Sebalnya lagi, saya baru tahu kalau dia itu alergi debu. Terkena debu sedikit saja, dia pasti langsung bersin seharian. Dia juga anti es, sekali tenggak segaaaar, setelah itu batuk dan pilek langsung menyerang. Tentu itu sangat mengganggu, apalagi kalau hendak tidur. Saya jadi susah tidur pula.
Dibalik itu semua.
Saat waktu tidur tiba, tentu setelah dia menggosok giginya, hehehe. Menyediakan minum untuk saya. Mematikan lampu. Dia juga tak pernah lupa mengecup pipi kanan kiri saya, kening, dan mengucapkan “Selamat tidur sayang...” Saya hanya diam. Tak pernah membalasnya.
Setiap kali hari Sabtu, saat dia mendapat gaji mingguannya, dia selalu mengeluarkan bungkusan plastik berwarna hitam dari bagasi motornya. Tahu apa isinya? Buah kesukaan saya, buah pir. Dasar mulut saya yang cerewet, saat pertama kali dia pulang membawa buah pir, saya sempat menyemprotnya, “Pasti abi nggak milih, nih ujungnya udah agak busuk! Kan sayang...” Dia hanya menjawab, “Maaf sayang...”
Setiap pagi hari, saat saya mulai hectic karena akan ke sekolah, tahu apa yang dilakukannya? Memanasi motor saya, mengecek mesin dan isi bagasi saya sudah ada jas hujan atau belum. Satu lagi, dengan sangat telaten dia menyiapkan nasi untuk saya. Termasuk bekal untuk siangnya. Kadang dia malah menawarkan diri untuk menyuapi saya. Sesekali saya terima.
Saat malam berteman sepi tiba, saya sering menghitung dan menimba apa yang selama ini sudah saya lakukan ke dia. Mengenang semua apa yang dilakukannya. Mengoreksi diri sendiri. Yang selalu terngiang hanyalah cintanya. Tapi apa yang saya lakukan? Mulut saya terlalu cerewet. Saya terlalu besar gengsi. Tak pernah membalas kecupannya setiap hendak tidur.
“Ah...istriku yang cantiikkk sekaliii....(memeluk saya). Abi beruntung memiliki istri seperti, Ummi.” Seperti itulah tiap kali selesai jamaah sholat maghrib. Saya malu-malu menolaknya.
Bukankah saya ini istri yang tak tahu diri? Dia begitu mencintai saya. Dia begitu sabar menghadapi saya. Dan dia baik, baik, bahkan baik sekali. Bukan dia yang beruntung mendapatkan saya, justru saya-lah yang beruntung memiliki suami seperti dia. Karena dia terlalu mencintai saya.
“Ya Allah, ijinkanlah saya mencintainya lebih dari ini. Selalu jaga dia. Maafkan saya jika lupa mensyukuri betapa beruntungnya saya memiliki suami sepertinya.”
0 komentar:
Posting Komentar