Rabu, 20 Mei 2015

Nasib Guru Tidak Tetap (GTT)

(Kamu Tak Sendirian Kok)

Assalamualaikum.

Pernahkah merasa bahwa hidup Anda begitu menyedihkan? Merasa tak pernah beruntung dibandingkan orang lain? Merasa kalau Anda-lah yang selalu bermasalah? Muncul pertanyaan yang selalu memenuhi relung pikiran Anda, “Kok gini ya? Kenapa harus saya? Si itu beruntung banget bisa gini-gitu-gono.”

Saya pernah mengalaminya. Hal itu karena status saya sebagai Guru Tidak Tetap di sekolah negeri tempat saya mengajar saat ini. Jujur, tak ada maksud untuk mengeluh karena status saya tersebut. Hanya saja, selama hampir 1 tahun menjadi guru SD dengan gaji sejak Januari 2015 lalu hanya Rp 300.000/bulan merasa sangat kurang. Rasa itu semakin muncul ketika mendapati kenyataan status saya di SD tersebut belum tercatat di pusat. Sudah capek-capek ngajar, bayaran tak seberapa, eh ini status kepegawaian masih dipertanyakan.

Semakin terpuruk ketika kenyataan Allah mengatakan saya tidak lolos tes CPNS tahun lalu. Perasaan tak beruntung semakin menjadi. Kerja hanya kerja. Berusaha untuk menikmati, bersenang-senang dengan anak-anak, mengingat tujuan menjadi guru, mengingat perjuangan menemukan cita-cita ini akan tetapi masih ada sesuatu yang mengganjal. Kelihatan jelas kalau saya tidak ikhlas dan setengah-setengah menjalankan profesi saya ini.

Sering saya mengeluh kepada-Nya, beginikah nasib guru tidak tetap? Hingga bertemulah saya dengan teman-teman kuliah saya. Kenyataan hidup yang saya sesalkan selama ini ternyata hanyalah secuil kisah yang harusnya saya syukuri.

Tepatnya, awal Mei lalu saat saya datang ke pernikahan teman kuliah. Tentu di sana menjadi ajang pamer “cerita masa kini”. Guru tidak tetap menjadi topik utama dong ya dalam pembicaraan kami. Secara kami lulusan dari Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD), meskipun ada juga sih teman yang nglanjutin kuliah S2, kerja di bank atau perusahaan swasta.

Narsis bareng teman-teman kuliah
Pembicaraan itu dimulai oleh teman saya, sebut saja Anik namanya.

"Cha, kamu sudah dapat kelas?" tanya Anik pada saya.

"Sudah, Nik. Lah kamu gimana?"

"Aku kan guru tambahan, Cha. Aku cuma ngajar di kelas 6 untuk pelajaran PKn dan IPS." tambah Anik.

"Loh?? Masak sih? Tapi enak dong kamu bisa nyambi kerja di luar."

"Iihhh...kata siapa? Lha KS (kepala sekolah) minta aku berangkat tiap hari."

"Terus kalau kamu nggak ngajar, kamu ngapain dong?" tanya saya penasaran.

"Ya kalau pagi aku buat teh, Cha. Aku aja pengen nggak berangkat terus bantu ibuku jualan di pasar. Daripada aku nggak ada kerjaan di sekolah. Oya, kamu sudah dimasukin laporan bulanan belum? (laporan ke tingkat UPTD-kecamatan) Aku kok belum ya? Belum dimasukin ke pusat juga. Kalau gitu gimana sih?" cerita panjang lebar dari Anik.

Beda lagi dengan cerita teman saya, Lia.

"Eh aku juga belum dimasukin laporan bulan lho." serobot Lia.

"Kok bisa sih? Kalian nggak minta ke KS kalian? Tunggu dulu, jangan-jangan SK (surat keputusan) mengajar pun kalian belum punya?"

Apa jawaban mereka?

Belum punya.

Oh tidaak! Apa yang saya lakukan selama ini? Mengeluh dan mengeluh. Terlalu mendongak ke atas.

Bukankah betapa beruntungnya saya dibandingkan mereka. Saya sudah punya SK Mengajar, dimasukkan dalam laporan bulan, dan sekarang sudah dimasukkan ke data pusat. Nah, mereka?

Memang benar, saat mata hati kita sudah ditutup dengan rasa tak pernah bersyukur, tak pernah puas, maka kebahagiaan yang seharusnya besar jadi tak kita rasakan.

Dibandingkan mereka, saya lebih beruntung. Selain menjadi guru tidak tetap, saya masih bisa mendapat penghasilan dari nguli-jadi guru privat, bisa dapat pemasukan pula llewat job review di blog, ditambah lagi gaji suami. Kalau ngomongin materi memang tidak akan ada habisnya.

Banyak sedikit materi yang dimiliki setiap orang akan terasa cukup atau tidak cukup tergantung dari diri masing-masing ya. Ada tuh tetangga, yang kerja hanya suaminya saja, gajinya juga tak seberapa, tapi anak-anaknya tumbuh menjadi anak yang sehat dan gendut banget tubuhnya, istrinya juga tidak pernah mengeluhkan kalau keadaan ekonomi keluarganya.

Bersyukur...bersyukur...dan bersyukur. Jangan sampai ditinggalkan!

Masak iya sih, cita-cita mulia menjadi guru harus dikesampingkan hanya karena status guru tidak tetap-dengan embel-embel gaji yang tak seberapa? Kalau bisa jangan mau kalah-lah dengan yang lain!

Tinggalkan kata-kata, "Ah...hanya guru tidak tetap kok!"
IKLAN 3

0 komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog