Kamis, 13 November 2014

Bermodal Speaker untuk Pelajaran SBK

Waktu itu, Kamis, setelah melewati tes wawancara dengan kepala sekolah dan beberapa guru di tempat saya mengajar (saat ini), saya pun dipersilahkan untuk mengisi kelas III. Tepat di jam terakhir, setelah perkenalan singkat dengan anak-anak, saya bertanya pada mereka, “Pelajaran selanjutnya apa, Anak-anak?”

“SBK, Buu...” mereka menjawab serempak. Saya masih clingukan mencari jadwal pelajaran yang tidak saya temukan di setiap sudut kelas.

Nggambar, Bu. nggambar, Buuu...” teriak seorang anak yang sekarang sering saya panggil dengan nama Tegar.

“Baiklah. Bu guru akan memberikan contoh di papan tulis ya, kalian buat di buku gambar.” Segera saya mengambil spidol dan menggambar kartun anak laki-laki dan perempuan dengan kombinasi bentuk bangun datar, seperti lingkaran dan persegi.

Kurang lebih seperti ini gambar yang saya buat di papan tulis.
Sumber DI SINI
"Untung saja, tadi malam saat menemani keponakan belajar, saya mendownload gambar dari Google", pikir saya saat itu.

Pada kesempatan lain tapi masih pada minggu yang sama, anak-anak ada pelajaran SBK. Lagi dan lagi, anak-anak merajuk pada saya, “Nggambar Buu...”

Duh, kalau setiap kali pelajaran SBK menggambar terus anak-anak tidak akan berkembang. Meskipun mereka senang. Tapi apakah cukup dengan rasa senang? Harus cari cara lain.

Sepulangnya anak-anak, saya mencoba ndudah almari peninggalan guru kelas yang dulu. Saya temukan beberapa buku pegangan untuk guru. Gerakan saya terhenti pada buku SBK. Saya perhatikan sub tema di dalamnya, ada kegiatan lain selain menggambar. Tidak harus menggambar. Mereka berhak mendapatkannya.

Bertemu Sumber Api
Namanya juga guru baru, di mana-mana jadi topik pembicaraan. Tak terkecuali bagi anak-anak kelas 6 yang saat itu jadi petugas upacara.

"Nyanyinya yang bagus ya?" sapa saya pada petugas paduan suara yang tiba-tiba diam saat saya melewatinya.

"Iya Buu.."

Upacara pun di mulai. Sebagai mantan siswa yang pernah menjadi bagian dari petugas upacara inti tingkat kecamatan (hehehehe...), saya penasaran dengan petugas upacara di sekolah saya ini. Terutama paduan suaranya.

Ternyata, kekhawatiran saya terjadi. Banyak nada-nada yang tidak pas, bahkan ada lirik yang kurang tepat. Apakah ini karena setiap pelajaran SBK mereka hanya menggambar? Iya, mayoritas seperti itu. Di kelas lain juga.

Usut punya usut dengan berlandaskan kearifan lokal sekolah, menggambar jadi fokus utama pelajaran SBK. Memang, setiap tahunnya sekolah kami selalu menyabet juara untuk lomba menggambar, utamanya kaligrafi. Tapi apakah anak-anak tidak boleh mengenyam kegiatan selain menggambar? Atau mungkin gurunya yang kurang 'gerak'? Menyebutkan berbagai alasan untuk meng-aku-kan kalau tugas guru itu banyak. 

Eksekusi
Pernah saya menulis status di facebook seperti ini,


Berani menulis berani membuktikan. Pun saya wujudkan kalimat tersebut. Pagi-pagi saya menemui guru kelas 6.

"Pak kemarin saya lihat panjenengan bawa speaker. Speaker sekolah?"

"Oh, punya saya sendiri. Pinjam? Itu di almari."

Segera setelah mendapatkan speaker tersebut, saya bawa menuju kelas saya. Baru juga meletakkan speaker di atas meja, ada anak yang membuat mata saya melotot, "Bu, nyetel lagu eh bu? Sakitnya Tuh Di Sini, Buu...apik."

"Bu guru punya lagu yang lebih bagus dari itu." sambil mengeluarkan netbook dan bergumam, 'lagu ini lebih pantas untukmu, Nak.'

Saya sedang menyiapkan netbook dan speaker
Namanya juga anak-anak, gagal fokus kalau difoto
Semakin banyak anak-anak yang mengerumuni saya. Mereka pasti penasaran melihat barang 'aneh' ini. Saya pun menggiring anak-anak untuk baris terlebih dahulu sebelum masuk kelas.

Anak-anak berebutan ingin melihat video lagu "Naik Delman" yang saya download dari youtube

"Bu, mau nyanyi ya, Bu?" tanya Fatta.

"Hhmmm..." jawab saya sambil senyum. Fatta langsung bisik-bisik dengan teman di belakangnya.

Setelah berbaris dan anak-anak masuk kelas saya menyampaikan tujuan belajar SBK hari itu.

"Mulai hari ini, setiap pelajaran SBK anak-anak akan belajar menyanyi. Jadi, kalau dalam satu minggu ada 3x pelajaran SBK, 2x untuk menggambar dan 1x untuk menyanyi. Bagaimana?"

"Iya Buuu..."

"Bu, nyanyi apa to, Bu?" tanya Tegar.

"Tegar duduk dulu, nanti bu guru beri tahu." Tegar berlari ke tempat duduknya.

"Siapa yang pernah makan bakso? Rasanya bagaimana? Nah, hari ini kita akan belajar menyanyi dengan lagu yang berjudul Tukang Bakso."

Kemudian saya menuliskan lirik lagu Tukang Bakso di papan tulis dan anak-anak menyalinnya di buku mereka. Sambil menunggu anak-anak menulis, saya menyiapkan senjata saya. Bermodal speaker pinjaman, saya yakin anak-anak akan tertarik dengan pelajaran SBK kali ini.

"Bu, sampun, ayooo, Bu!"

Saya pun memberikan contoh menyanyikan lagu tersebut. Kemudian anak-anak bernyanyi bersama saya.

"Bu pakai itu, Bu..." salah satu anak menunjuk meja saya.

Siap! Lagu Tukang Bakso pun saya putar. Anak-anak pun bernyanyi dengan sendirinya mengikuti irama tanpa saya beri komando. Meskipun kadang salah-salah.

Setelah lagu tersebut saya putar dua kali, anak-anak justru menantang saya. "Bu, maju satu-satu, Buu..maju Buu..."

"Begini saja, majunya satu kelompok. Ayooo coba, kelompok siapa yang berani maju pertama kali??" Tak disangka mereka berebut untuk maju. Saya pun tak menyia-nyiakan momen tersebut.


Inilah nikmatnya jadi guru, kita melakukan sesuatu dan kita pun bisa langsung merasakan perubahannya. Seperti anak yang ada dalam video tersebut, sebelah kanan. Munib, namanya. Dia adalah anak yang paling malu di kelas saya. Tapi apa? Setelah saya eksplor dengan modal lagu yang saya download dari Google dan netbook plus speaker pinjaman bisa mengubahnya sebagai anak yang percaya diri bahkan lupa kalau ibunya sedang menunggu di luar kelas.

Kepolosan mereka pun tampak, saat ada temannya yang salah lirik yang lainnya berusaha untuk men-diamkannya. Ini semua belum tentu akan kita temukan saat mereka menyanyikan lagu yang 'tak layak' dengan usia mereka.

Anak-anak menyanyikan lagu "Kereta Api" di lain kesempatan
Satu hal yang pasti, semenjak ada pelajaran SBK-menyanyi sampai sekarang (2 bulanan) jarang sekali saya mendengar anak-anak menyanyikan lagu yang 'tak layak' dengan usia mereka. Tukang Bakso, Naik Delman, Kereta Api, Ibu Pertiwi, Mengheningkan Cipta jadi favorit mereka.

Kearifan lokal masih jalan, kegiatan lain pun tetap ada. Inilah harapan saya. Anak-anak senang, mereka mendapatkan hak mereka, dan satu hal yang penting lagi adalah kepercayaan diri mereka pun meningkat.

Selamat belajar, Anak-anak.


Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Guru Blogger Inspiratif 2014.


IKLAN 3

0 komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog